Kamis, 19 Desember 2013

Ironi Anak Orang Kaya

Alkisah ada seorang pemuda. Wajahnya tidak ganteng, tapi tidak juga jelek. Badannya tinggi tegap, pembawaannya ramah dan simpatik. Jika berbicara dengan orang lain, ia nampak antusias bahkan walaupun ia tidak terlalu dekat dengan lawan bicaranya. A decent guy.

Pemuda ini bukan pemuda kebanyakan. Ia anak tunggal yang terlahir dari keluarga menak, alias kaya raya, alias tajir. Keluarganya memiliki banyak harta dan bisnis yang setiap saat siap diwariskan untuk sang pemuda.

Sang pemuda dididik dengan benar. Sekolahnya baik, prestasinya baik, kelakuannya baik. Ia juga sangat nurut dan patuh pada orang tuanya, pada kakek dan neneknya. Ia seperti sudah berkali-kali diberi penegasan bahwa ialah pewaris tunggal kerajaan kecil dari keluarga besarnya, untuk itulah ia harus memiliki sifat-sifat yang dipandang perlu. Jadilah ia dibentuk untuk menjadi anak baik, penurut, sopan, pandai, lurus dan tidak macam-macam. Ia juga tidak sembarang berteman dengan orang. Anda pemabuk? Maaf, lingkaran pergaulan tertutup untuknya.

Sepertinya sudah terlalu banyak cerita picisan semacam ini, dan Anda pasti sudah terlalu bosan mendengarnya. Namun bukan rangkaian cerita tentang nasib si pemuda yang ingin saya sampaikan di sini.

Saya kasihan dengan si pemuda.

Ia memang tidak kekurangan harta, tidak pula kekurangan kasih sayang. Bahkan berlebih. Orang tua dan kakek-neneknya sangat menyayanginya, sangat membanggakannya. Si pemuda telah tumbuh sebagai anak idaman keluarga.  Namun dibalik semua itu, saya melihat hidupnya bagaikan robot. Robot  yang tinggal digerakkan dengan remote kemanapun maunya mereka.

Pemuda ini tidak pernah pulang larut malam bersama teman-temannya. Kegiatannya selalu dipantau, tidak pernah menonton konser hingga menjelang pagi, tidak pernah main Playstation di rumah atau kos-kosan teman sampai pagi, tidak pernah jalan-jalan ke luar negeri bersama teman-teman lalu memajang foto dengan sembrono di instagram dan path. Ia tidak berbicara sembarangan, tidak membuang-buang waktu. Hidupnya datar bagaikan musik... (ah sudahlah).

Satu lagi yang membuat saya kasihan adalah menyangkut perempuan. Sebagai pemuda normal, tentu saja ia mendambakan perempuan untuk menjadi pasangan hidupnya. Cuma ya itu, tidak sembarang perempuan yang diperbolehkan untuk memasuki kerajaan kecil milik keluarga besarnya. Perempuan itu harus cantik, kaya, baik hatinya, baik pergaulannya, sehat, seiman dan satu suku. Perempuan sempurna (di mata keluarga).

Inilah yang saat ini mengganggu pikiran si pemuda. Ia baru saja putus dengan pacarnya, yang sayangnya memang hanya memiliki satu-dua kriteria dari belasan kriteria wajib yang ditetapkan oleh keluarga besar pemilik kerajaan kecil.

Dari lahir, ia sudah dibentuk untuk menuruti kata-kata orang tua dan keluarganya. Iapun tidak sampai hati untuk membangkang. Ia selalu ingat bahwa ia adalah seorang anak baik. Anak patuh dan penurut, kalo gak nurut nanti kualat. Ia seperti sudah di program untuk melakukan hal A, B dan C saja meskipun dunia menawarkan cerita A sampai Z.

Ia seperti mobil ferrari yang dipaksa berkendara sepelan bajaj. Ia bagaikan anak posh yang gagal nonton konser DWP gara-gara terjebak macet, padahal konser itu adalah penanda status gaulnya. Ia seperti kucing ras yang penurut, patuh dan tidak bisa berkelahi sehebat kucing garong. Ia memiliki pensil warna lengkap dengan 320 warna namun hanya boleh menggunakan 16 warna saja dalam menggambar. Ia adalah smartphone mahal yang digunakan oleh Om-om ganjen tapi gaptek. Ia bagaikan drummer metal yang dipaksa memainkan lagu pop!


Boleh saja keluarganya merasa senang dengan apa yang telah dipertontonkan si pemuda. Tapi bagi si pemuda, ia hanyalah menjalankan peran dan belajar untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Masa mudanya berlalu begitu saja tanpa kesan. Ia tidak pernah menikmati jadi robot, namun ia sendiri tidak kuasa untuk mempertanyakan program yang telah ditanamkan pada sistemnya.

Ironis!

Selasa, 26 November 2013

Brendon Grimshaw: Petualang, Pelestari Lingkungan

Brendon Grimshaw. Photo by Theflyingtortoise.blogspot.com

Nama Brendon Grimshaw mungkin asing bagi Anda. Ia bukanlah ahli agama, bukan atlet ternama, bukan aktor terkenal, bukan ilmuan terpandang, bukan sosialita yang banyak berseliweran di pesta-pesta terkemuka, bukan selebtweet yang penuh pencitraan, bukan pula politisi yang pandai bersilat lidah. Ia hanyalah seorang pria sederhana berasal dari Yorkshire, Inggris dengan keinginan yang sederhana yaitu melestarikan alam dengan caranya.

Tahun 60an, takdir membawa Grimshaw bertugas di negara gugusan pulau kecil di timur Afrika, Seychelles. Seychelles adalah negara kecil berpenduduk hanya 85.000 orang dengan banyak pantai-pantai indah belum terjamah, yang juga dalam sejarahnya merupakan tempat persembunyian para perompak, termasuk harta karunnya. Saat bekerja sebagai editor di surat kabar negeri itulah ia mengumpulkan uang dalam jumlah sangat besar saat itu, yaitu 8.000 pound untuk membeli sebuah pulau kecil kosong seluas 0,089 km bernama Moyenne.

Moyenne hanya berjarak 1 jam dari pulau Mahe, pulau utama Seychelles tempat ibukota Victoria berada. Tahun 1973, atau satu dekade setelah membeli pulau ini, Grimshaw memutuskan untuk pindah permanen. Moyenne, yang semula tidak memiliki apapun dan hanya berupa daratan kecil di tengah samudera Hindia, diubah secara drastis oleh Grimshaw bersama dengan orang yang ia pekerjakan yaitu pria lokal bernama Rene Antoine Lafortune.

Jika miliuner-miliuner Rusia dan Arab membeli pulau tropis sekitar wilayah ini untuk dijadikannya tempat peristirahatan sunyi dan mewah, maka Grimshaw tidaklah demikian. Ia dan Lafortune menanam 16.000 pohon, termasuk 700 pohon mahoni. Mereka juga membangun penangkaran bagi burung-burung, juga memelihara 120 ekor kura-kura raksasa yang terancam punah.

Lokasi Moyenne Island. Photo by Dailymail


Kerja keras terus dilakukan Grimshaw dalam mentransformasi pulau ini. Ia tidak menikah, sesuatu yang kelak disesalinya meskipun paham sepenuhnya bahwa dalam realitanya kisah cinta tidaklah seindah ending film produksi hollywood. Tidak akan ada wanita manapun yang sudi menemaninya untuk hidup di sebuah pulau kosong terpencil tanpa adanya mal dan pusat hiburan. Grimshaw sudah hidup dengan realita tersebut, dan berdamai dengannya. Grimshaw sudah cukup puas karena ayahnya, Raymond, sempat menghabiskan waktu bersamanya di pulau itu hingga meninggal. Adiknya juga kini tinggal di pulau Mahe bersama suaminya.

Grimshaw jelas tidak melakukan semua ini untuk uang. Sudah beberapa kali miliuner menawar pulau ini berpuluh-puluh kali lipat dari harga belinya, namun ia selalu menolak. Ia tidak ingin surga yang telah ia bangun ini diubah menjadi resor-resor mewah komersial. Ia memilih menghabiskan masa tuanya sebagai petualang, sebagai sahabat para binatang dan alam di pulau kecilnya, ketimbang menghadiahi sendiri dengan mansion mewah di negerinya yang dapat diperolehnya hasil penjualan pulau Moyenne yang telah ia bangun.

Upaya Grimshaw melindungi pulau ini berhasil. Setelah dua puluh tahun lebih, pemerintah Seychelles menjadikan Moyenne sebagai taman nasional. Dengan demikian, pulau tempat pelestarian kura-kura raksasa, burung-burung dan tanaman-tanaman tropis akan terbebas dari ancaman privatisasi. “Ia adalah Robinson Crusoe modern” ujar Joel Morgan, Menteri Lingkungan Hidup Seychelles, menyamakan Grimshaw dengan seorang petualang terkenal yang mampu bertahan hidup sendiri di sebuah pulau.

Juli 2012 lalu, Grimshaw telah wafat pada usia 87 tahun. Ia dimakamkan di liang lahat yang telah ia persiapkan semasa hidupnya, bersebelahan dengan makam ayahnya di pulau Moyenne. Ia menyusul Lafortune, koleganya yang telah pergi lima tahun sebelumnya.

Kisah inspiratif Grimshaw adalah kisah penuh pengorbanan, kesederhanaan, pengabdian dan kebesaran hati seorang yang begitu besar perhatiannya pada kelestarian lingkungan. Ia tidak banyak bicara, hanya berbuat. Boleh jadi, ia sempat berharap untuk menemukan harta karun bajak laut terkenal Oliver Levasseur. Namun seperti yang dikemukakan oleh Simon Reeve dalam artikelnya, Grimshaw sudah dari dulu menerima tawaran para miliuner yang tertarik pada pulaunya, jika memang uang menjadi tujuan.



Trouble In Paradise

Thilafushi: Photo from Dailymail

Apakah yang Anda ketahui dari Maladewa? Pantai-pantai berpasir putih? Air laut berwarna biru muda yang sangat cocok dipakai untuk kegiatan snorkling? Penginapan mewah yang hanya bisa dibayar untuk Anda yang punya uang berlebih? Pemandangan yang sangat keren untuk dipampang pada akun social media? Gambaran surga dunia?

Bagaimanapun Anda memandang Maladewa, atau Maldives, Anda mungkin perlu mencari tahu tentang daerah di sana bernama Thilafushi. Googling, maka Anda akan temukan. Rasanya begitulah pemeo umum yang berlaku pada era digital modern saat dunia telah memilih untuk mengungkap seluruh rahasianya.

Saya yang telah lebih dulu melihat tayangan dokumenternya di sebuah saluran televisi berbayar kebetulan telah mengakses berbagai berita dan artikel yang memuat salah satu pulau yang terdapat dalam gugusan pulau di selatan India ini.

Kencangnya promosi pariwisata, menjamurnya tiket murah, dan berbagai pengalaman seru yang dituangkan oleh para penulis perjalanan telah mengubah wajah banyak tempat di dunia. Kini  banyak tempat yang semula damai, terkucil dan tidak banyak yang memperhatikan berubah menjadi tempat komersil yang penuh dengan manusia-manusia haus liburan, yang telah menabung sepanjang tahun untuk menuju tempat-tempat ini dengan berbagai macam tujuan. Sesuatu yang sayangnya kebanyakan berdampak negatif pada kelestarian lingkungan, meskipun menghasilkan perputaran devisa pariwisata secara masif yang tentu saja akan didukung oleh yurisdiksi manapun.

Kembali ke Thilafushi, okelah saya jelaskan sedikit meskipun Anda sudah melakukan googling. Thilafushi adalah salah satu pulau kecil buatan seluas 7 km yang dibangun pada tahun awal 90an. Thilafushi ‘dikorbankan’ untuk menjadi tempat penampungan sampah raksasa bagi negara liliput ini. Kini, seperti yang teruang dalam Wikipedia, Thilafushi sudah menjadi ‘pulau gunung sampah’ yang ‘didatangi’ 330 ton sampah per hari. Sebagai informasi, seorang turis yang berkunjung ke Maladewa meninggalkan 3,5 kg sampah setiap harinya.

Gunung sampah di "surga". Picture from Wikipedia

Persoalan limbah pariwisata memang sejatinya adalah masalah klasik yang sepertinya hingga kini belum terselesaikan. Pemerintah Maladewa nyatanya memang memilih untuk melakukan lokalisasi pada sampah-sampah ini dengan cara mengorbankan sebuah pulau untuk dijadikan tempat pembuangan sampah akhir. Namun setelah sampah menggunung di pulau ini, mereka seolah tidak mengetahui bagaimana penanganan selanjutnya.

Lokalisasi sampah semacam ini bagaikan menaruh sedikit demi sedikit barang tidak terpakai di gudang rumah kita secara terus menerus, tanpa pernah kita membuang barang-barang lama untuk menggantikan barang-barang yang baru kita tempatkan.


Bukannya bermaksud untuk nyinyir dan menghakimi para turis, namun jika kita mengetahui hal buruk jarang terlihat dan terekspos semacam ini, setidaknya kita dapat memikirkan sesuatu untuk diperbuat, meskipun hanya sekadar membuat tulisan di ruang publik dunia maya seperti yang saya sedang lakukan.

Jumat, 25 Oktober 2013

Sekali Bantai, Dua Spesies Besar Terancam Punah

Saya bukanlah seorang science enthusiast. Walaupun di SMA dulu menghuni kelas 3 IPA, tapi itu hanyalah siasat agar pemilihan jurusan saat kuliah nantinya bisa lebih fleksibel. Anyway, bukan itu yang hendak saya bicarakan.

Secuek-cueknya pelajar pun pasti mengetahui apakah itu rantai makanan. Tuhan telah menciptakannya sedari dulu, bahkan sebelum manusia diciptakan. Dengan berjalannya rantai makanan, maka berjalan pula keseimbangan alam, dan berlanjut pula kehidupan.

Namun manusia memang terkadang terlalu kreatif, rakus, egois dan tidak berhati nurani. Kehadiran manusia memang menjadi salah satu alasan terbesar mengapa alam semakin rusak. Di negara manapun juga seperti itu, meskipun sudah banyak negara-negara yang lebih beradab.

Salah satu kekayaan alam yang paling banyak dirusak manusia adalah kekayaan laut. Sudah sering dicemari dengan sampah, terumbu karang di bom, ikan-ikan juga ditangkapi seenaknya.

Eh ntar dulu, saya juga bukan aktivis pecinta lingkungan yang sedang berkampanye. Memang tidak ada yang salah dari menangkap ikan. Mungkin saja aktivitas ini telah dilakukan sejak jaman manusia purba bernama latin yang sulit diingat itu. Ikan untuk makanan manusia juga sangat berlimpah ruah, dan tidak ada yang salah dari penangkapan ikan yang memang untuk tujuan dikonsumsi oleh manusia.

Namun akan menjadi masalah jika ikan yang ditangkapi adalah ikan yang berjumlah lebih sedikit daripada jumlah ikan yang ditangkapi untuk dikonsumsi, misalnya ikan hiu dan ikan lumba-lumba. Mungkin terlalu besar penghayatan mereka pada pemeo “Masih banyak ikan di laut” hingga mereka berpikir sebanyak apapun ikan mereka tangkap, ketersediaan ikan tetap akan terjaga. Apalagi mereka yang berpikir “Ah gue hanya nangkap 10 ekor kok, sementara jumlah ikan ada jutaan bahkan ratusan juta ekor.”

Yaelah bro, jika pemikiran lo ditiru 1000 orang dan pekerjaan itu lo lakukan selama 20 tahun, coba tuh hitung berapa banyak ikan yang bakal ludes?

Sayangnya, kerusakan ini memang telah berlangsung lama. Indonesia bersama India telah ditahbiskan sebagai negara dengan jumlah penangkapan hiu terbesar di dunia. Kekayaan biota laut yang dimiliki Indonesia memang menyimpan miliaran pesona yang seakan tiada habis, sirip hiu yang berharga mahal untuk dikonsumsi sebagai obat juga sayang untuk dilewatkan para manusia yang lapar dan tamak namun tidak peduli pada lingkungan.

Hiu adalah hewan yang berada pada ujung rantai makanan, sebelum pengurai. Berkurangnya populasi hiu secara drastis akan otomatis mengurangi jumlah pemangsa ikan-ikan besar yang merupakan pemangsa ikan-ikan yang dapat dikonsumsi manusia. Pendek kata, populasi hiu yang berkurang akan merusak rantai makanan, dan akan mempengaruhi ketersediaan makanan bagi manusia juga. Sekarang sih belum seberapa terasa efeknya, tapi bagaimana 50 tahun lagi?

Namun ini baru permulaan. Cerita memilukan selanjutnya datang dari perairan Lampung, dimana banyak nelayan yang turut membunuh ikan lumba-lumba untuk dijadikannya umpan dalam menangkap ikan hiu. Satu aktivitas, dua spesies besar terancam punah.

Jadi, masih doyan sup sirip hiu?

Jumat, 20 September 2013

Galau Sehat

Di tahun 90an, bahkan 2000an, kosakata ‘galau’ jarang digunakan. Kata tersebut baru muncul dua tahun kebelakang setelah banyak anak-anak muda menggunakannya. Remaja galau adalah potret anak muda masa kini. Percepatan pendewasaan yang mereka dapati dari tayangan televisi yang menyajikan acara-acara percintaan dewasa dan lagu-lagu yang juga bertemakan cinta memang membuat adik-adik kita ini cepat terserang virus galau.

Galau itu manusiawi, karena manusia memang mudah sekali merasa tidak nyaman jika terjebak pada situasi yang tidak diinginkan. Bedanya, sekarang lagi musimnya galau itu diekspresikan dengan sebebas-bebasnya. Tapi gak ada salahnya jika kegalauan hati disalurkan untuk menciptakan hal positif. Contoh galau paling keren yang pernah saya dengar adalah kegalauan Dave Mustaine. Pentolan band metal Megadeth ini sempat menjadi anggota band metal lainnya, Metallica. Mustaine didepak karena masalah kecanduan alkohol, hal yang sangat memukulnya.

"Too bad they couldn't see this lethal energy
and now the final scene, a global darkening" 

Begitulah potongan lirik lagu Set World Afire dalam album So Far, So Good.... So What! yang ditulis Mustaine pada hari ia dipecat. "No warning, no second chance."  Demikian dia menggambarkannya.
Mustaine boleh jadi galau, tapi apa yang ia lakukan? Ia membentuk Megadeth. Sama-sama keras, metal dan brutal. Banyak pengamat bilang jika dari musikalitas, Megadeth jelas diatas Metallica meski secara penjualan album dan ketenaran, Metallica masih di atas Megadeth. Tapi tetap saja hal itu menunjukkan bahwa Mustaine telah melalui fase negatif dalam hidupnya dengan sukses. Ia membuktikan diri bahwa ia mampu melangkah maju dengan kemauan keras.


Nah, Dave Mustaine galau menghasilkan Megadeth, kalo lo menghasilkan apa? :)

Senin, 09 September 2013

The Thirteen Blues

Kecelakaan lalu lintas adalah salah satu pembunuh manusia yang paling kejam. Ia tidak pilih-pilih korban, tidak mengenal waktu. Ia bisa membunuh, membuat cacat atau sekadar melukai. Datangnya juga tidak diduga. Kapan dan dimana saja. Bisa tengah malam, bisa pula pagi-pagi buta, di jalan tol atau di gang dekat rumah. Benar-benar predator lengkap.

Dari Vivanews, Polri mengklaim jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas sepanjang tahun 2012 mencapai 25 ribu orang. Sementara saat mudik lebaran, jumlah korban meninggal dunia mencapai lebih dari 500 jiwa. Itupun yang tercatat.

Saya tidak pernah tertarik menyaksikan berita kecelakaan, atau mengerubungi korban kecelakaan di jalan hanya untuk memotretnya (bukannya membantu) lalu membuat macet jalan. Namun berita kecelakaan yang dialami Dul, anak bungsu Ahmad Dhani yang kini menjadi isu nasional ini beda cerita.

Sebagai pengguna jalan yang juga sering menyetir kendaraan, saya tidak mau ikut-ikutan arus pem-bully-an dan penghujatan massal. Serahkan saja pada ahlinya lah. Toh hal ini bisa terjadi pada siapapun. Tidak hanya anak berusia 13 tahun saja yang bisa mengalaminya, seorang yang telah berpuluh-puluh tahun mengemudi saja bisa celaka. Mau analoginya dibalik juga bisa, tapi tetap sama saja. Dengan kata lain, saya lebih melihatnya sebagai musibah.

Namun yang menjadi pelajaran adalah Dul yang notabene baru berusia 13 tahun sudah dibolehkan mengemudi. Dan tragisnya lagi, kecelakaan yang menimpanya merenggut nyawa 6 orang yang kesemuanya adalah pekerja dan tulang punggung keluarga. Tapi kembali lagi, tujuan saya menuliskan ini bukan untuk menghujat. Saya juga punya anak laki yang masih kecil, yang bukan tidak mungkin 12 tahun kemudian ia punya pacar dan merengek minta dibelikan mobil.

Di era berikutnya nanti, entah di umur berapa seorang anak merasa butuh untuk punya pacar. Sebagai perbandingan, di usia 13 tahun dulu, yang saya pikirkan sehari-hari adalah sepak bola dan (sedikit) pelajaran di sekolah. Tidak ada gejolak berlebih memikirkan wanita, tidak pula berkeinginan untuk mengemudikan mobil.

Memang tidak bisa dibandingkan anak-anak era dua dekade lalu dengan anak-anak sekarang. Anak-anak sekarang sepertinya terlalu cepat dewasa. Mereka mengunyah banyak hal sebelum waktunya. Kebanyakan makan junk food? Kebanyakan nonton sinetron? Kebanyakan nongkrong di minimarket? Kebanyakan dengerin lagu mellow? You tell me.

Kasus Dul ini cocok dijadikan potret kelam generasi muda. Meski tidak semua anak memiliki fasilitas seperti Dul, namun saya sudah berkali-kali mendengar kisah pilu terjadinya kecelakaan akibat perilaku anak dibawah umur yang ugal-ugalan. Saya tidak ingat persis, tapi rasanya pernah ada kejadian serupa, yang karena kebetulan pelakunya bukan pesohor saja maka cepat dilupakan.

Jelas bukan tanpa alasan mengapa polisi baru mengeluarkan SIM untuk anak berusia diatas 17. Hal ini semestinya benar-benar dijalankan dengan penuh kesadaran, bukan sekadar slogan. Orang tua tentu harus mengawasi dengan baik perilaku anak-anaknya, jangan biarkan mereka menyetir kendaraan, entah mobil atau motor.

Thirteen blues ini memang saya gunakan untuk menggambarkan secara umum gejolak usia pra-dewasa. Usia seperti ini memang rawan dan sedang ingin-inginnya mencoba banyak hal. Dan kebanyakan teman yang saya kenal, sekali mereka mencoba (misalnya rokok) pada usia ini, maka akan berkembang menjadi kebiasaan. Yah, yang namanya udah kebiasaan, transformasi selanjutnya adalah pembenaran. Meski kita sudah tahu hal itu salah, tapi kalau dilakukan berulang-ulang toh akan menjadi kebenaran.


Semoga kita selalu bisa mendampingi anak di usia krusial mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan so called pacar. Dan semoga anak-anak kita tumbuh sebagai anak penurut dan tidak macam-macam. Yang sudah terjadi ya sudahlah. Semoga cepat sembuh dan cepat ngeband lagi, Dul. Dan semoga keluarga korban mendapat santunan yang pantas.

Minggu, 01 September 2013

Pledoi Generasi Nunduk

Dear para Om dan para Tante yang kami hormati,

Kami tahu kalian sering mencela generasi kami. Generasi nunduk, alias generasi yang sering menundukkan kepala kearah layar sentuh ponsel sejak dini. Ya, mau bagaimana lagi? Kami memang sejak SD sudah memiliki ponsel cerdas karena benda ini tidak ubahnya gamewatch atau tamagotchi di era kalian. Semua teman kami punya benda itu.

Bukan salah kami kalau lebih senang menghabiskan waktu didepan layar ponsel ketimbang memainkan permainan tradisional seperti kelereng, congklak atau dampu. Bukannya tidak ingin, tapi memang sudah tidak ada lagi yang memainkannya. Masa iya harus bermain sendiri? Mau dibilang apa?

Kalian mencela kami yang kecil-kecil sudah menyanyikan lagu cinta-cintaan, padahal kami tidak mengerti apa itu cinta, toh tidur sendirian saja kami masih tidak berani. Mau bagaimana lagi? Zaman om dan tante kecil, acara khusus anak-anak di televisi sangat banyak. Begitu pula lagu anak-anak dengan lirik yang juga. anak-anak seperti 'si lumba-lumba' atau 'si nyamuk nakal'. Dulu ada om Papa T. Bob, sekarang tidak ada lagi yang mau membuatkan lagu anak-anak lagi buat kami sepertinya. Sekarang, kami disuguhi acara musik pagi dengan gerakan nasional cuci jemur. Ah rasanya semua pihak inginnya kami lebih cepat dewasa, jadilah kami dijejali soal cinta-cintaan sejak kecil. Apakah itu juga salah kami?

Tidak ketinggalan, kalian juga mencela pilihan klub sepakbola favorit kami. Apakah salah jika kami begitu mengidolai Lionel Messi dan Barcelona atau Cristiano Ronaldo dan Real Madrid dan bukannya Johan Cruyff atau Zico? Iya, hanya dua klub itu yang kami tahu di liga Spanyol, sisanya kami hanya menonton liga Inggris. Apakah salah kami jika menyukai Manchester biru, bukannya yang merah? Tolong diingat, kami masih belajar membaca ketika Ole Gunnar Solksjaer yang katanya bermuka bayi itu mencetak gol kemenangan di final tak terlupakan itu. Sekarang, media banyak mengenalkan kami pada Chelsea dan Mancheser City, apakah ini juga salah kami?

Kami sadar jika kami tidak menonton Mtv dengan VJ mereka yang keren, tidak familiar dengan musik grunge dan alternative yang asik itu. Yang kami tahu hanyalah musik-musik seragam itu-itu saja. Studio band sudah sulit kami temui untuk berlatih, pada akhirnya kami berpikir buat apa capek-capek menguasai alat musik padahal dengan modal joget dan lipsync udah banyak yang suka, produser kami juga suka. Alasannya 'mengikuti pasar'. Kami heran juga sih, media kan punya pengaruh besar. Mereka seharusnya bisa membentuk pasar dong, tidak hanya mengikutinya demi rating semata.

Kami juga tidak menyukai era ini, om dan tante. Semakin konsumtif dan tidak terkendali, semakin ngawur dalam ekspresi. Kami krisis identitas, dan makin sulit mencari panutan. Tapi mau bagaimana lagi? Banyak acara yang makin tidak mendidik, akses informasi juga makin tak terbatas, malah jadinya kebablasan. Om dan tante boleh bilang kami diuntungkan dengan adanya internet dan mbah gugel, tapi ya om dan tante tau sendiri kan, membuka internet itu bisa saja membuka kotak pandora jika kami tidak mampu menyaring informasi. Dan orang tua kami tidak bisa lagi mengawasi karena akses tersebut ada di tangan kami, yaitu smartphone itu tadi.

Kami juga seperti om dan tante, bermain social media. Kami bingung. Berkespresi penuh layaknya remaja, kami dibilang alay. Tapi mau coba ngomongin hal berat, dibilang sok tua. Memang kami kadang berlebihan, segala hal kami tumpahkan di socmed. Kami suka lupa kalau kami berteman dengan om dan tante kami, yang dengan kata lain, mereka ikut mengawasi kami. EYD juga kami abaikan, huruf dan angka kami gabungkan dalam satu kalimat. Maafkan kami yang telah merusak tata bahasa. Duh. Sulit bagi kami menentukan siapa yang harus kami follow di twitter. Seperti ada dua kubu besar dan mereka saling serang. Kami harus pilih yang mana? Pengetahuan kami hanya sebatas buku pelajaran, jangan samakan dengan om dan tante yang sudah makan asam garam kehidupan. Akhirnya kami cuma bisa ngetwit "folbek dong kaka".

Maafkan kami ya om dan tante, sepertinya kami butuh bantuan tapi terlalu gengsi ngomongnya. Di pergaulan kami, cuma ada istilah 'woles' atau 'move on' atas segala persoalan, padahal ternyata gak sesederhana itu.

Harapan kami sih semoga tontonan televisi makin berkualitas sehingga kami bisa pintar seperti om dan tante. Bisa punya cerita menarik seperti om-om dan tante-tante yang besar di era 90an. Kami juga tidak mau terlalu cepat dewasa karena masa kanak-kanak ya memang masa bermain yang tak akan terulang. Kami juga capek dengan kurikulum pendidikan yang berubah terus, dikira kami kelinci percobaan? Kami ingin jam sekolah hanya sampai siang saja supaya ada waktu buat kami bermain dan mengerjakan hobi. Ya masa sih sekolah cuma ngejar prestasi akademik aja? Ya gak om? Ya gak tante?

Yaudah deh om dan tante, henpon udah bunyi terus nih, teman-teman ngajak nongkrong di minimarket deket rumah. Kalo gak ikutan, saya bisa gak punya teman deh. Dibilang kuper deh. See you!

Rabu, 28 Agustus 2013

Cerita Konser Metallica di Jakarta

Review pertama rasanya belum cukup, sekarang pengen review untuk kedua kali. 

Siang (24/8) itu sangat terik, tapi promotor memang memaksa saya untuk mengantre. Bukan antre sembarangan, tapi antre penukaran tiket band metal legendaris, Metallica.

Total 3 jam saya habiskan untuk menunggu antrian sebelum tiket akhirnya digenggam. Menunggu bukan hanya saat itu, tapi besoknya pas hari H saya menunggu lagi. Kali ini menunggu di FX Mall Senayan sedari siang hari hingga pintu dibuka pukul 17.00. Untungnya, kali ini saya ditemani banyak teman dari berbagai lingkungan dan berbagai usia, biasanya saya menonton konser rock atau metal sendirian karena sulit mencari teman bareng yang punya selera sama. Ada dua teman kantor (salah satunya seorang ekspatriat) yang usianya 5 tahun diatas, ada teman nongkrong yang masih kuliah, bahkan ada seorang sepupu. Sebuah acara nongkrong dadakan lintas generasi dan lintas bahasa.

Kami menghitamkan sebuah kedai kopi, plus membisinginya sesekali dengan obrolan-obrolan musik metal. Sesekali penampakan licin wanita-wanita metalhead berumur 30an juga menarik perhatian kami semua yang alhamdulillah laki-laki normal. Nongkrong dadakan ini berhasil mempersatukan orang-orang yang sebelumnya tidak saling kenal. Metallica memang luar biasa.

Satu jam sebelum pintu dibuka, kami sudah beranjak. Perut sudah diisi cukup makanan dan cairan, berjaga-jaga jika konser selesai hingga larut malam (dan memang benar). Kebetulan kami semua menonton di kelas festival. Sesampainya di venue, kami langsung mencari spot favorit. Saya dan empat orang teman akhirnya memilih tempat dekat sound engineer, meski agak jauh dari panggung, namun menurut salah seorang teman disinilah spot paling pas. Tidak terlalu bising, dan masih bisa melihat panggung dengan cukup jelas.

Seringai membuka konser dengan garang. Lima lagu mereka mainkan, dimana saya tidak tahu satupun lagu mereka (maafkan saya) dan menurut saya mereka fantastis. Satu lagu Ace of Spades dari band Motorhead mereka bawakan di akhir performa. Saya sih tidak mendengar celetukan “Turun!” di sekitar saya, tapi seorang teman bercerita jika di dekat tempatnya berdiri, sekelompok orang meneriaki Seringai untuk turun. Ah, sebuah attitude bule-sentris yang menyedihkan.

Memang penampilan Metallica yang ditunggu-tunggu. Saat check sound, suara bass drum terasa hentakannya hingga ke dada, begitu pula suara gitar gahar yang terus dimainkan di nada E mayor, menambah nuansa gelap dan garang. Memang berbeda jauh dengan kualitas sound yang diperuntukkan bagi Seringai.

Konser akhirnya dimulai. Seketika, lagu orkestrasi The Ecstasy of Gold terdengar megah dan big screen memunculkan sebuah klip. Sorak-sorai menggemuruh, lagu perdana Hit The Lights yang kencang digeber Hetfield cs dengan mulus, menjadikan head-banging masal. Belum sempat cooling down, Master of Puppets yang legendaris itu langsung dimainkan. Mosh pit langsung terbentuk dengan sendirinya, bahu bertemu bahu, adrenalin mencapai puncak.

Selanjutnya, beruntun mereka memainkan lagu-lagu dari gabungan album Kill ‘Em All, Ride The Lightning , And Justice For All dan Metallica (Black Album). Suasana menjadi syahdu saat nomor legendaris One dan Nothing Else Matters dibawakan. Tapi, Metallica tidak memberi waktu terlalu lama untuk cooling down, karena kemudian berbagai hits dari album Ride The Lightning dan Kill ‘Em All dibawakan, dengan Creeping Death dan Seek And Destroy sebagai penutup. Secara keseluruhan, Metallica tampil nyaris tanpa cacat. Suara vokal tidak fals, sound gitar dan bass terdengar pas, suara drum juga mantap. Energi yang terpancar dari musisi-musisi yang sudah seusia om kita (50 tahunan) ini sangat besar, mungkin lebih besar daripada anak-anak usia 20 tahunan jaman sekarang.

Saya tidak menghitung dengan pasti berapa lagu yang mereka bawakan. Tapi durasi konser yang nyaris mencapai dua setengah jam lebih sungguh memuaskan dahaga para pecinta musik metal akan sebuah konser metal berkualitas. Hebatnya meski konser ini konser metal dan penontonnya berjumlah diatas 50 ribuan, tapi keamanan sangat terkendali. Bisa dipahami sih, yang menghadiri konser mayoritas sudah cukup berumur dan (no offense) mapan, jadi memang mereka datang dengan tujuan ingin menikmati konser, bukan untuk cari ribut dan mabuk.

Bagi sebagian orang, 20 tahun telah mereka habiskan menanti. Tepat tahun 1993, Metallica yang saat itu sedang jaya-jayanya dengan album Black memang mengguncang Jakarta dalam arti sebenarnya. Konser yang berlangsung di Stadion Lebak Bulus itu berlangsung ricuh karena banyak penonton yang tidak kebagian tiket. Kericuhan itu konon membuat Guns & Roses yang semula telah mengagendakan tur Jakarta membatalkan niat mereka.


5 dari 5 orang yang saya tanyakan pendapatnya tentang konser menjawab kurang lebih sama. Bagi mereka, konser Metallica (25/8) adalah konser terbaik, termegah dan terhebat yang pernah mereka saksikan. Catatan: 3 dari 5 orang teman saya itu bukan penggemar berat Metallica. Bagi saya sendiri, ini adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Saya telah mendengarkan lagu-lagu mereka sejak 15 tahun lalu, dan masih memajang poster mereka di kamar sampai sekarang. Rasanya, uang sebesar 750 ribu rupiah plus pegal-pegal di kaki dan tenggorokan yang gatal sama sekali tidak sia-sia. Metallica gives you heavy!

Senin, 26 Agustus 2013

The Greatest Show by The Greatest Band in The World

Rasanya kata-kata gak cukup gambarin perasaan ini. Gimana nggak, konser Metallica semalam adalah konser terbaik yang pernah gue saksikan, ditambah fakta bahwa Metallica adalah band favorit nomor satu gue sepanjang masa.

Masih terpajang jelas poster Metallica di kamar lama gue di rumah orang tua, saat itu Jason Newstead masih jadi bassist, juga koleksi kaset lama sejak album Kill ‘em all saat almarhum Clifford Lee Burton masih mencabik bass. Ah, band ini terlalu besar artinya buat gue, terlalu subyektif dan bias mungkin tulisan gue ini.

Jika gue melihatnya dari sudut pandang penonton netral, konser semalam tetaplah luar biasa. Meski tata panggung tidak dibikin seperti Cunning Stunts yang spektakuler dimana panggung berada dibawah posisi penonton, dan band dibuat berada di tengah-tengah, tapi tetaplah tidak mengurangi kerennya konser. Sound yang super mantap, suara bass drum terdengar menggema sampai ke dada (literally), juga suara sound gitar dan bass yang terbagi dengan sempurna menjadikan tontonan konser semalam adalah tontonan musik terbaik yang pernah gue saksikan.

Lagi-lagi gue subjektif. Bagaimana enggak, lagu-lagu yang mereka bawakan adalah lagu-lagu yang sudah 15 tahun lebih gue selalu dengarkan. Di kamar sebelum berangkat sekolah dulu, di walkman pas jeda kuliah, di laptop sambil kerja di kantor. Gak cuma menemani aktivitas, tapi juga menemani sebagian besar perjalanan gue dari satu tempat ke tempat lain. Selalu ada kompilasi lagu Metallica yang gue dengar dari audio sederhana mobil. Pendek kata, Metallica adalah teman hidup gue (selain istri tentunya). Menyaksikan mereka secara langsung adalah impian yang jadi kenyataan. Gue udah nonton Megadeth, Mr. Big, Gun’s & Roses dan Metallica. My life is cool!

One, Creeping Death, Sanitarium, Master of Puppets, Fade to Black, Enter Sandman, Seek and Destroy, Blackened, dan lain-lain adalah kumpulan lagu sangar yang mencerminkan semangat dan energi tiada batas. Saat lagu One dibawakan, gue literally merinding. Dan saat Sanitarium dan Fade To Black dibawakan, gue secara instingtif terus melakukan air drumming.

Ah sudah gue bilang, pasti gue bias. Tapi meski begitu, gue yakin konser kemarin adalah sebuah konser untuk dikenang, yang pantas diceritakan sebagai pengalaman gak terlupakan. Gue juga yakin gak semuanya yang nonton kemarin bener-bener penggemar band ini, tapi mereka toh menikmati atmosfer konsernya.

Memang saat ini sudah bukan era mereka, tapi mereka seperti mencontohkan bagaimana musik harus dimainkan. Keras, lugas, brutal dan semangat. Tidak peduli seperti apa keadaan industri musik belakangan ini, dan juga bagaimana trend musik sekarang, Metallica tetaplah tak tergoyahkan. Mereka tetaplah band metal terhormat yang konsisten dan gak lekang dimakan zaman.

Konser Metallica semalam juga memberi banyak makna. Bagaimana attitude sebuah band besar kelas dunia, yang meski sudah berusia diatas 50an tapi tetap menyuguhkan performa layaknya anak-anak usia 20 tahunan. Energi mereka luar biasa, profesionalitas benar-benar mereka jaga dalam arti sebenarnya. Profesionalitas bukan berarti mereka adalah ‘musisi bayaran’ tapi juga mereka berperilaku menunjang hal itu. Performa total semalam adalah buktinya.

Mungkin banyak band metal berskill lebih tinggi dari mereka, juga lebih gahar dan sangar, tapi Metallica tetaplah punya ciri dan bunyian yang membedakan mereka dengan band lainnya. Karakter yang mereka punyai terlalu kuat, dan lagu-lagu yang mereka buat tidak pernah asal-asalan. Tidak hanya keras, tapi juga penuh harmonisasi.


Tidak heran jika bagi dunia musik metal, mereka adalah ikon. Tapi bagi gue pribadi, mereka adalah ikon dari musik. Selesai.

Kamis, 22 Agustus 2013

Siraman Rohani

Apa yang kita pikirkan ketika baru bangun tidur? Paling-paling soal kerjaan kantor, soal meeting pagi-pagi, soal makan siang sama klien, lalu malamnya ada reuni kecil dengan teman-teman sekolah. Bagi pelajar atau mahasiswa juga sama. Paling yang kita ingat lebih dahulu adalah Ujian Semesteran atau pilihan gaya rambut macam bagaimana untuk memikat gebetan.

Jarang sekali kita berterimakasih karena sudah 'dibangunkan' dari tidur, diberi nafas dan umur untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan kita atau diberi kesempatan untuk menjadi manusia yang bermanfaat. Pendeknya, diberi kesempatan melanjutkan hidup.

Memang gemerlapnya dunia sering bikin kita lupa. Gue juga bukan orang yang alim, tapi setidaknya gue paham bahwa kita-kita ini udah sering berprilaku diluar batas, sombong dan merasa tidak butuh siapa-siapa. Harta dan tahta yang kita punyai seolah cukup, dan yang ada malah kita selalu bersemangat mengembamgkan diri untuk terus menambah harta dan tahta itu.

Padahal, harta dan tahta itu punya siapa sih? Jiwa dan raga punya siapa sih? Tuh kan, kita pasti tau semua jawabannya. Kita sadar kalo semua ini punya Allah, hanya saja kita sering terlena.


Disitulah kita butuh siraman rohani. Dalam siraman rohani itu, apa yang diajarkan oleh para ahli agama bukanlah hal baru. Mereka bersumber pada kitab suci yang usianya udah ratusan tahun. Ajarannya sudah ada sebelum kita lahir, sudah lama dan selalu diulang-ulang. Kita juga udah sering mendengar, udah tau, udah ngerti. Kita hanya butuh untuk DIINGATKAN.

As simple as that.

Minggu, 18 Agustus 2013

Tujuan Travelling

Tiket murah dan kemunculan berbagai maskapai penerbangan membawa banyak perubahan. Perubahan yang terjadi bukan hanya pada destinasi liburan saja, tapi juga pada perilaku si turis itu sendiri. Saya tidak berniat nyinyirin turis-turis itu. Kasihan, sudah terlalu banyak yang nyinyirin mereka. Padahal pledoi yang mereka bikin adalah pledoi tak terbantahkan. “Nyinyir aja sih lo! Duit-duit gue!”

Entah kenapa saya sih tidak mau ikut-ikutan dalam arus turisme itu. Saya juga tidak khawatir kurang piknik, karena buat saya segala medium relaksasi itu sudah ada di hobi yang saya kerjakan. Dan buat saya, travelling itu bukan hobi, bukan pula medium “escape from routine” dan sejenisnya.

Liburan buat saya adalah mengenal kota tujuan. Bagaimana sejarahnya, bagaimana kehidupan masyarakatnya. Dan karena saya penggemar sepak bola, saya juga selalu ingin merasakan denyut sepak bola di kota tujuan itu. Saat saya memutuskan untuk mendatangi kota lain, berarti saya memang ingin mencari tahu kota tersebut, bukannya ingin lari dari rutinitas atau ingin haha hihi semata, beli oleh-oleh, lalu pulang tanpa sebuah gagasan baru. Apalagi, mengganggu ibadah biksu dengan foto dari dekat dan mencak-mencak ketika pesta lampion batal. (Tuh kan nyinyir. Duh.)

Ya, pokoknya liburan itu lebih dari sekadar ngepath, posting foto dan ajang narsis. Harus ada makna yang kuat dari sebuah perjalanan. Harus ada perubahan dan wawasan baru dari perjalanan.


Itu sih saya ya, kalo emang punya pendapat lain ya bebas-bebas aja. Hihihi. Selamat piknik!

Senin, 08 Juli 2013

Ayo Main Bola!

Rasanya masih teringat jelas di memori saat gue dicela teman-teman (bukan teman yang baik sih) yang mengatai betapa culunnya gue karena gak bisa main bola dan gak tau gimana caranya nendang bola. Sebuah celaan yang kemudian seperti membangunkan monster yang telah lama bersembunyi dalam badan.

Monster itu menstimulus gue buat belajar main bola, lalu membungkam mulut para pencela itu. Gue gak tumbuh sebagai pesepakbola profesional juga sih, tapi gue bukanlah pesepakbola buruk. Gue hanya punya dua tujuan setiap bermain bola, yaitu bermain baik dan mencetak gol. Gak pernah sedikitpun terbersit untuk mencederai lawan, seperti si gendut kampret yang mendorong gue sampai sikut gue bergeser dari tempatnya. Gue bermain, karena gue mencintai permainan ini, bukan karena motivasi lain seperti taruhan atau gagah-gagahan. I see football as a beautiful game.

Passion gue teramat tinggi keterlaluan pada permainan ini. Jeleknya, passion ini seperti hantu yang sempat menghambat langkah gue karena terlalu sulit move on dan sulit menerima kenyataan kenapa gue gak bisa jadi pemain bola. Banyak tahap pencarian gue lalui sebelum mencapai tahap ikhlas seperti sekarang. Mencoba berdamai dengan hidup dan berusaha terlihat seperti bapak-bapak normal yang suka upload foto anak di social media dan menjadi karyawan yang rajin kerja lembur serta berdedikasi tinggi adalah bukti bahwa gue sudah pasrah dan rela menjalani dunia paralel dimana pemikiran gue gak sejalan dengan apa yang gue lakukan.

Meski demikian, gak ada penyaluran yang lebih besar pada sepak bola selain memainkannya. Ya, bermain sepak bola di lapangan adalah hal yang lebih menyenangkan daripada liburan mahal dengan kapal pesiar romantis sekalipun, atau teriak-teriak di karena adrenalin yang dibuat-buat saat memainkan water sport di pantai eksotis. Bahkan setelah gue menemukan kesenangan alternatif berupa menjadi penulis sepak bola sekalipun, tidak bermain sepak bola secara reguler adalah sebuah kegagalan tak termaafkan.

Perubahan status dari bujangan ke pajangan, plus dari mahasiswa girang ke karyawan senang udah cukup mereduksi waktu bermain bola gue. Apalagi sebuah catatan statistik kampret berupa hasil medical check up resmi mengalienasi gue dari lapangan bola. Kolesterol gue tinggi, akibat terlalu larut dalam rangkaian tipuan hedonisme berupa makanan-makanan lezat.

Lebih sakit membaca ini daripada tidak menemukan nama gue di pengumuman UMPTN. Tidak bermain bola adalah situasi terburuk yang bisa gue bayangkan, daripada tidak punya payung saat hujan deras atau tidak punya pacar selama sekolah. Dan kini, udah 3 bulan lebih lamanya gue istirahat dari lapangan. 3 bulan tidak menyenangkan yang tidak ingin gue alami lagi.

Well, gue gak mau curhat sebenernya. Gue akan tambahin sedikit bobot dalam tulisan ini. David Conn, si jurnalis sport business pernah bilang dalam salah satu chapter di bukunya tentang lost generation of football yang terjadi di Inggris, yang notabene negara yang mendaulat diri sebagai penemu sepak bola.

Conn bilang bahwa ciri paling kentara dari modernisasi sepak bola adalah di dunia penyiaran. Rupert Murdoch melalui Sky Sports yang menjadikan sepak bola sebagai tontonan berbayar telah mengubah paradigma orang-orang Inggris. Paradigma itu adalah menjadi penonton yang baik karena stasiun TV menayangkan tontonan bagus, yang sayang untuk dilewatkan. Tidak hanya siaran langsung, tapi juga highlight pertandingan dan analisa canggih dari para pundit berjas dan berdasi, tidak mau kalah necis dengan pengamat pasar modal ataupun pengacara. Tayangan sepak bola sudah dikemas sedemikian ruma sehingga para pemirsa termanjakan, dan uang berlangganan yang mereka keluarkan terasa tidak percuma. Ya terang saja, kalau sudah mengeluarkan uang untuk berlangganan, masa sih kita harus beranjak dari sofa sambil makan pizza dan minum berkaleng-kaleng soda atau bir? Ngapain juga capai-capai main bola di lapangan, mendingan nonton orang main aja di TV. Kebiasaan ini juga membawa dampak obesitas, yang akhirnya makin mengurangi produksi generasi sehat yang mampu menjadi pesepakbola.

Terdengar berlebihan? Fenomena ini kemudian berkembang lebih liar. Dari revolusi penyiaran, kemajuan sektor industri pada akhirnya membutuhkan terlalu banyak ruang untuk pembangunan kantor dan gedung mereka. Ruang publik tereduksi, lapangan bola dihabisi. Semakin sulit bermain bola jika lapangan rumput plastik yang tersedia memaksa kita merogoh kocek 300 ribu rupiah perjamnya, atau kira-kira seorang anak sekolah harus patungan 30 ribu rupiah untuk bermain bersama teman-temannya. Tidak heran, lebih banyak anak muda yang lebih memilih nongkrong di minimarket dengan modal 30 ribu perak itu, karena bisa mendapatkan seporsi junk food dan segelas sirop beku, plus bisa ngegodain cewek.


Balik lagi ke absennya gue dari lapangan. Well, sudah saatnya mengakhiri penderitaan ini. Gue harus segera kembali ke lapangan dan dapetin lagi hal-hal yang bisa bikin gue seneng. Jadi seorang pria beranak satu di usia boring 30an bukan berarti menghilang dari lapangan. Bagaimanapun juga, sepak bola lebih enak dimainkan daripada sekadar dibicarakan atau ditonton saja. Ayo main bola!

Minggu, 09 Juni 2013

Indonesia Bebas Bubble Property?

Perumahan atau tempat tinggal adalah kebutuhan pokok, yang sayangnya makin hari makin mahal. Rasanya usaha kita sudah keras, kerja lembur sudah dilakukan, penghasilan juga terus meningkat. Namun, peningkatan harga rumah seperti tidak terkendali belakangan ini, sehingga seberapapun tingginya penghasilan kita, laju kenaikan harga properti sulit dikejar.

Saya pernah membaca di sebuah artikel. Sepasang suami istri, dua-duanya bekerja, memiliki penghasilan gabungan 7 juta rupiah per bulan. Mereka sudah 10 tahun menikah, dan belum bisa memiliki rumah sendiri. Dengan asumsi pengeluaran rumah tangga 3 juta per bulan, gaya hidup tidak hedon, tidak pernah eat for fun dan lain-lain, rumah masih belum bisa terbeli.

“Harga rumah untuk kelas menengah hingga menengah kebawah berkisar 200 hingga 700 juta. Uang muka minimal 50 juta plus administrasi dan lain-lain 20 juta. Saat ini, mencapai 70 juta saja sulit.” Begitu ucap mereka, juga terkait kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan kewajiban DP rumah menjadi minimal 30% khusus untuk rumah diatas tipe 70m persegi.

Terlalu picik dan kurang sensitif rasanya jika kita menghakimi orang itu dengan mengatakan “Salah sendiri kenapa gajinya cuma bisa segitu?” Padahal sebuah negara memang punya kewajiban untuk menyediakan perumahan yang layak bagi rakyatnya, ketimbang terus membela kepentingan pihak tertentu dalam hal ini.

Properti Untuk Investasi, atau Spekulasi
Dari dulu, investasi dalam bentuk properti selalu jadi primadona. Harga tanah dan bangunan yang selalu naik dan tidak pernah turun menjadi alasan banyak orang untuk berinvestasi disini, meski properti bukanlah liquid asset yang mudah dijual. Kisah orang tua yang membelikan rumah bagi anaknya yang masih kecil sudah banyak kita dengar, hal itu mereka lakukan untuk berjaga-jaga jika harga properti melangit dan anak mereka tidak mampu membelinya. Pendeknya, mereka melakukan hedging pada properti yang mereka beli sekarang.

Kini, investasi orang-orang makin beragam seiring banyaknya proyek pembangunan apartemen-apartemen di pusat kota. Apartemen-apartemen itu dibeli untuk kemudian dijual lagi, atau disewakan. Tidak untuk ditinggali. Para developer jelas senang dengan fenomena ini karena proyek mereka pasti untung besar, seperti diberitakan disini.

Para investor baik kelas berat maupun kelas teri ini jelas mengharapkan keuntungan, dan bukan tidak mungkin pembeli rumah mereka berikutnya akan membeli rumah itu dengan tujuan yang sama, yaitu dijual kembali. Harga yang meningkat juga tidak mereka pikirkan, akibatnya investasi berubah menjadi spekulasi. Aktivitas seperti inilah yang juga menjadi salah satu penyebab harga rumah yang kian melambung dan cenderung tidak realistis.

Dalam hal ini, developer tentu tidak ada beban karena meskipun terjadi kredit macet yang berakibat penyitaan, para developer ini telah lebih dulu mendapat dana dari bank saat membangun proyek. Akan terjadi krisis ekonomi jika bank tidak mampu menjual properti yang mereka sita karena harganya sudah terlalu tinggi dan tidak ada yang mampu membelinya karena jauh diatas harga sebenarnya.

Bubble Property di Indonesia?
Pada fenomena bubble property, terjadi kenaikan harga yang tak terkendali sehingga properti tidak mampu dibeli oleh masyarakat. Akibatnya, akan banyak kredit macet. Setelah itu, kemudian harga properti mengalami crash alias jatuh tiba-tiba yang mengakibatkan pihak-pihak seperti pengembang dan kreditor (bank) ikut terpukul. Dengan kata lain, perekonomian akan ikut hancur.

Bank dunia beberapa waktu lalu pernah mengemukakan kekhawatiran terkait ancaman bubble property di Indonesia. Mereka melihat pada dua faktor, yaitu pertama adalah kenaikan harga apartemen yang mencapai 45% per Desember 2012, yang juga diikuti oleh sektor perkantoran dan industri. Kedua, tingkat pertumbuhan kredit apartemen yang juga meningkat, sehingga mendorong kenaikan harga properti.

Saya bukanlah seorang ekonom, namun banyak pihak yang meyakini bahwa kekhawatiran Bank Dunia tidak beralasan. Mereka tidak melihat faktor solidnya ekonomi makro di Indonesia, juga rasio kredit properti dan kredit nasional yang masih dalam batas normal.

Peningkatan jumlah kelas menengah yang merupakan konsumen properti juga berpengaruh untuk mencegah terjadinya bubble property. Kelas menengah dengan kemampuan konsumsi dan investasi yang tinggi akan selalu menjamin stabilitas demand-supply sektor perumahan. Artinya selama properti masih banyak pembeli, keadaan masih aman.

Benarkah demikian?

Ironi dan paradoks akhirnya melanda hidup banyak orang. Banyak apartemen atau rumah kosong dimana pemiliknya berharap untuk mendapat untung dari penjualan atau persewaan, sementara di lain sisi banyak orang yang sulit memiliki rumah meski sudah bertahun-tahun mengumpulkan uang. Keadaan sekarang memang seperti mendukung yang kaya makin kaya, yang miskin makin susah.

Meski banyak pihak yang mengatakan bahwa membicarakan bubble property adalah sesuatu yang berlebihan, namun potensi kesana jelas ada. Boleh saja harga properti di Indonesia jauh lebih rendah dibanding Singapura maupun Hong Kong misalnya, namun perbandingan tadi menjadi sia-sia mengingat disparitas pendapatan perkapita Indonesia dengan kedua negara tersebut masih menganga.

Catat, pendapatan perkapita Indonesia 3 ribuan dollar AS, sementara Singapura 50 ribuan, alias nyaris 20 kali lipat dari Indonesia. Hal ini jelas berarti bahwa daya beli orang Indonesia masih jauh dibawah Singapura. Jangan sekadar melihat pada fenomena pertumbuhan kelas menengah semata, namun lihat pula banyak orang sudah termasuk dalam kategori kelas menengah yang masih kesulitan memiliki rumah, apalagi kelas bawah.

Akan makin sulit memperoleh rumah ketika para pengembang lebih memilih untuk mengerjakan proyek anjangsana alias proyek apartemen mewah berharga miliaran per unit, ketimbang menyediakan hunian murah seperti rumah susun untuk menjamin ketersediaan tempat tinggal bagi kalangan yang lebih membutuhkan.

Melihat fenomena ini, kekhawatiran Bank Dunia bukanlah omong kosong. Sesuatu harus dilakukan untuk mengendalikan harga properti dan merumuskan kebijakan disintensif pada praktek spekulasi di bidang properti.

Rabu, 05 Juni 2013

Fast & Furious 6, a movie review

Tanpa banyak bicara, Joe Taslim, aktor Indonesia yang namanya mencuat berkat peran apiknya di film The Raid akhirnya memasuki ranah Hollywood dengan turut membintangi film dengan profil tinggi, Fast & Furious. Bagi kita pemerhati dan penonton setia film, kehadiran Joe Taslim adalah motivasi ekstra untuk menonton film yang penuh dengan adegan mobil terbang ini, setidaknya agar kita terdengar update.

Joe Taslim ambil bagian dalam sebagian besar film, alias tidak muncul sebagai figuran. Ia memperlihatkan kemahiran bela diri yang tinggi, akting yang tidak kaku meski porsi dialog yang ia mainkan tidak sebanyak Vin Diesel atau Paul Walker, yang memang masih menjadi jagoan utama film ini.

F&F 6 sebenarnya tidak memberikan nuansa yang berbeda selain kehadiran seorang aktor Indonesia didalamnya. Setelah sekuel sebelumnya mereka mengacak-acak jalanan kota Rio De Janeiro, kini mereka mengambil latar kota sejuta CCTV, London. Mobil cepat, pertarungan tangan kosong dan senjata serta jagoan yang banyak tetaplah menjadi sesuatu yang dijual dari film ini.

Semakin lama, film ini seperti ingin membersihkan nama Dominic Toretto, yang semula selalu menjadi buronan polisi. Mereka menjadikan Toretto cs sebagai pemburu penjahat yang sesungguhnya bernama Owen Shaw, seorang mantan anggota tentara Amerika dengan spesialisasi kendaraan perang.

Tambahan drama, Letty, pacar dari Dom yang ‘sebelumnya’ mati, tiba-tiba muncul lagi dengan ingatan yang hilang dan berkomplot dengan Shaw. Ya, seperti yang sudah bisa ditebak, Letty kembali ke pelukan Dom. Absurd memang, karena Dom sudah memiliki pacar baru dari Brazil bernama Elena, seorang polisi dan juga seorang janda. Bagaimana sikap Elena selanjutnya hanya menambah keanehan cerita.

Family, La Famiglia, Keluarga. Itulah yang coba ditonjolkan oleh film ini, di luar adegan-adegan mobil cepat, mobil terbang, mobil meledak, mobil tergilas tank, cewek mobil dan mobil-mobil lainnya. Nilai keluarga yang diusung Dom memang unsur sentimental yang akan dengan mudah digali untuk mengaduk-aduk emosi dari penonton.

Drama kembali diletakkan dalam kematian. Ya, di tiap edisi film ini sepertinya selalu ada anggota yang mati. Seolah tercipta pola bahwa masing-masing anggota ‘keluarga’ ini akan mati satu persatu di setiap sekuelnya, dan hanya tinggal menyisakan Dom. Mungkin saja.

Melihat Jason Statham muncul di credit title, sudah jelas bahwa sekuel ketujuh film ini akan menghadirkan Statham sebagai villain. Menarik, karena selama ini kebanyakan Statham berperan sebagai jagoan. Tapi sebetulnya sekuel ketujuh ini adalah lanjutan dari sekuel ketiga. Coba aja tonton ulang sekuel ketiga yang judulnya Tokyo Drift ini.

Senin, 03 Juni 2013

John D. Rockefeller

Lain halnya dengan Andrew Carnegie, John D. Rockefeller adalah seorang American Builder yang seperti tidak memiliki batasan. Orang jaman sekarang menyebutnya kelompok orang dengan ambisi ‘sky-limit income’.

Rockefeller, seperti Carnegie, juga seorang American Builder yang membangun negeri ini melalui industri besar yang ia rintis.  Rockefeller juga bukanlah seseorang yang sudah kaya sejak lahir. Ayahnya hanya pedagang kecil. Seperti memang sudah hukum alam, kerja keras dan ambisi adalah sahabat dari kesuksesan. Dan kesuksesan adalah sahabat dari kekayaan. Dan, bagi banyak orang di dunia ini, kekayaan adalah sahabat kebahagiaan.

Rockefeller yang lahir tahun 1839 dikenal namanya sebagai juragan minyak terkaya sepanjang sejarah, bahkan jika dilihat lebih luas lagi, dialah manusia terkaya di dunia. Jika Bill Gates memiliki kekayaan sebanyak 60 miliar US Dollar, maka Rockefeller hanya memiliki 1,4 miliar US Dollar. Tapi, 1,4 miliar US Dollar pada era Rockefeller adalah setara dengan 300 miliar US Dollar, atau kurang lebih 5 kali lipat dari kekayaan Bill Gates sekarang.

Rockefeller sejak usia 16 tahun sudah bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah kantor di Cleveland. Kerja keras dan tidak memboroskan uang adalah karakter khas Rockefeller sejak kecil. Berkat hal tersebut, karirnya terus meningkat dan tentunya gajinya juga meningkat. Jiwa enterpreneur membuatnya tidak puas hanya sebagai pekerja. Ia ingin menjadi pemilik. Dari keinginan itulah segala pencariannya dimulai.

Minyak adalah komoditas yang paling banyak dicari dan diperebutkan orang. Banyak negara berperang karenanya, banyak orang mati karena menjadi korbannya. Dan Rockefeller adalah salah satu yang menjadi kaya raya karenanya. Memulai penambangan kecil-kecilannya di Cleveland yang ia namai dengan Excelsior Work, Rockefeller kemudian menemukan bahwa usahanya terhambat oleh biaya transportasi dan penyimpanan yang mahal. Saat itu, kereta api masih menjadi satu-satunya alat transportasi yang efisien untuk mendistribusi minyak. Untuk penyimpanannya, dibutuhkan banyak tong-tong besar yang juga berharga mahal.

Rockefeller dengan cepat menyadari masalah itu. Seperti para pengusaha sukses lainnya, ia berpikir untuk menguasai lini bisnisnya dari hulu ke hilir. Dari produksi hingga distribusi, termasuk melibas perusahaan kompetitor yang akan menyulitkannya. Ia kemudian merekrut Henry Flager, seseorang dengan kedekatan orang-orang di perusahaan kereta api untuk memperoleh diskon. Usahanya berhasil, bahkan lalu ia membeli gerbong-gerbong kereta api sendiri. Tidak hanya itu, ia juga membuat tong penyimpanan minyak sendiri. Dengan demikian, ia sukses menekan biaya usahanya.

Dengan kegigihan, kekerasan hati dan juga kekejaman dan kelicikan, Rockefeller terus mengembangkan bisnis minyaknya. Pada tahun 1870, ia membuat perusahaan kilang minyak pertamanya, Standard Works. Setelah menggabungkan Standard Works dan Excelsior Works, lahirlah perusahaan yang kelak menjadikannya kaya, Standard Oil.

Rockefeller juga bukan orang yang cepat puas. Ambisinya adalah menguasai seluruh negeri, dan hal itu membuatnya tertarik melirik industri baja yang dikuasai industrialis lainnya, Andrew Carnegie. Saya telah jelaskan kisah Rockefeller-Carnegie dalam tulisan sebelumnya. Intinya, dengan kenekatan dan keuletannya, Rockefeller bahkan mampu menghajar Carnegie di bidang baja, bidang yang dikuasainya. Rockefeller seolah mengajarkan bahwa ketamakan haruslah tiada batas, tidak tanggung-tanggung. Ia juga memberlakukan sistem pengelolaan usaha yang kini dikenal sebagai perwalian atau trust. Saya akan coba jelaskan mengenai trust dalam tulisan berikutnya.

Kekayaan Rockefeller yang tidak selalu ia dapati dengan cara yang lurus memang membuatnya memiliki banyak musuh. Banyak yang menganggap ketamakan membuatnya melakukan segala cara untuk menggulingkan kompetitornya, bahkan dengan cara-cara yang tidak sesuai etika. Dikatakan dalam website History Channel, Rockefeller melakukan praktek-praktek seperti menyuap karyawan kompetitor untuk menjadi mata-matanya, membuat perjanjian rahasia, membajak karyawan kompetitor untuk bergabung dengan ancaman, dan lainnya. Ia dituduh mengumpulkan kekayaan dengan cara menghancurkan orang lain.

Presiden Amerika Serikat saat itu, Theodore ‘Teddy’ Roosevelt adalah seorang nasionalis yang sangat menentang praktek trust atau monopoli. Dimata Teddy, monopoli adalah praktek bisnis yang tidak sehat yang semata-mata hanya memperkaya sedikit orang, mengganggu dunia usaha, juga mengakibatkan upah buruh menjadi sangat rendah. Agak sulit menemukan sosok berani seperti Teddy di era sekarang.

Teddy memperkarakan Rockefeller ke pengadilan. Dan benar saja, Rockefeller kemudian dipaksa untuk melepas atau menjual sebagian dari usahanya tersebut. Sherman Act disahkan tahun 1880 oleh Kongres dalam rangka pelarangan monopoli. Setelah bertahun-tahun berkutat di litigasi, tahun 1911 Standard Oil terpecah menjadi 30 perusahaan baru.

Bagaimanapun, hal itu tidak menghalangi sepak terjang Rockefeller. Ia bahkan mencapai suatu hal yang melebihi banyak orang dalam hal menyumbang kekayaan. Kontribusi filantropi Rockefeller bahkan melebihi yang disumbangkan Carnegie. Jika industrialis baja itu total menyumbangkan 350 juta US Dollar, maka Rockefeller menyumbang 500 juta. Terlepas dari caranya membangun kerajaan korporasi, kekayaan yang ia sumbangkan sangat berharga bagi dunia medis dan pendidikan.

Bagaimana kita menilai sosok ini adalah tergantung dari perspektif mana kita memandang.

Kamis, 30 Mei 2013

Andrew Carnegie

Dalam sejarah negara Amerika Serikat, ada istilah “The Man Who Built America” merujuk pada industrialis yang kemudian memimpin negeri ini menjadi negeri superpower. Para industrialis ini dinilai mewariskan etos kerja, keterampilan dan tentunya pembangunan infrastruktur yang kelak menjadikan negeri ini makmur.

Terlebih, kisah hidup para industrialis ini juga menjadi inspirasi bagi generasi muda setelahnya, bahwa negeri ini mengijinkan orang untuk bermimpi. Siapapun bisa mencapai tujuannya tergantung seberapa besar impiannya dan seberapa keras ia mau bekerja untuk mewujudkannya.

Dianggap sebagai “The American Builder”, Andrew Carnegie bukanlah berasal dari keluarga kaya. Ia juga memulai bisnisnya dari bawah. Carnegie adalah seorang imigran asal Skotlandia kelahiran Dunfermline tahun 1835. Ia pindah ke Amerika Serikat di usianya yang ke-13 bersama kedua orang tuanya, William dan Margaret Carnegie ke negara bagian Pensylvania, tepatnya kota Allegheny.

Sepindahnya ke Pennsylvania, Carnegie bekerja di pabrik tenun untuk mendukung kehidupan keluarganya. Tidak hanya bekerja, Carnegie adalah seorang … kutu buku. Kegemarannya dalam membaca difasilitasi oleh Colonel James Anderson, perwira tinggi tentara yang tinggal kota Allegheny. Sang kolonel membuka perpustakaan umum untuk pekerja lokal setiap hari sabtu dimana Carnegie menghabiskan banyak waktu disana, bahkan meminjam banyak buku untuk dibacanya dirumah.

Buku-buku inilah yang membedakan Carnegie dengan pekerja-pekerja lainnya. Bukan hanya rajin, ia juga cerdas dan berwawasan luas berkat kegemarannya akan bacaan. Kelak, kegemarannya dalam membaca membentuknya menjadi penulis handal. Ia kemudian berpindah-pindah pekerjaan, dari menjadi kurir hingga operator telegraf. Karirnya kemudian melesat hingga ia meraih posisi superintendent di Western Division dari Pennsylvania Railroad, perusahaan jalur kereta api.

Carnegie memiliki cita-cita sebagai seorang pengusaha, sesuatu yang terdengar terlalu muluk-muluk pada era itu di kalangan pekerja seperti dirinya. Saat masih bekerja di perusahaan kereta api, Carnegie merintis usahanya sendiri juga di bidang perkeretaapian. Ia membuat jalan kereta api baru, kereta api dengan tempat tidur, hingga membuat jembatan dan lokomotif sendiri. Setelah usahanya mulai stabil dan menuntut waktunya lebih banyak, ia mengundurkan diri dari pekerjaannya.

Usaha baja Carnegie berkembang pesat. Perusahaan Carnegie Steel menjadi perusahaan baja terbesar di seluruh Amerika Serikat. Produksi baja yang Carnegie lakukan sejalan dengan pembangunan besar-besaran yang sedang gencar dilakukan oleh Amerika Serikat sehingga permintaan pada baja sangat tinggi.

Carnegie terus melakukan ekspansi usahanya dengan membeli perusahaan-perusahaan sejenis yang menjadi kompetitornya. Ia ingin menjadi pengusaha tunggal dari baja, melakukan monopoli atas komoditas ini. Cara-caranya dalam menggapai kesuksesan juga tidak melulu ia lalui dengan kerja keras semata, tapi juga kekejaman. Misalnya, ia memotong upah buruh, sesuatu yang kelak disesalinya di masa tua.

Carnegie Steel mendapat ujian terbesar dari seorang pebisnis minyak bernama John D. Rockefeller. Rockefeller adalah seorang industrialis ambisius seperti halnya Carnegie. Dengan penguasaannya pada minyak, Rockefeller merasa belum cukup. Ia kemudian mencoba memasuki dunia Carnegie, yaitu baja. Carnegie semula mengacuhkan keberadaan Rockefeller pada industri yang ia kuasai, karena menganggap Rockefeller tidak tahu menahu soal baja, seperti dirinya.

Carnegie salah. Rockefeller telah menemukan tambang baja baru di wilayah Minessota, tambang yang sebenarnya sudah diketahui oleh Carnegie, namun Carnegie menganggap tambang tersebut tidak potensial karena sulit diolah. Rockefeller tetap melanjutkan penambangan di Minessota, seraya terus mencari cara untuk mengolah sumber tersebut. Dan bisa ditebak, Rockefeller sukses.

Kesuksesan pengolahan itu membuat perusahaan baja tandingan Rockefeller berkibar. Dengan mematok harga yang lebih murah, Rockefeller membuat pelanggan Carnegie beralih padanya. Akibatnya, kinerja perusahaan Carnegie mengalami kemunduran signifikan. Carnegie merasa cukup dengan semua ini, ia lalu menemui Rockefeller. Tujuannya, jelas ingin mempertahankan kekayaannya dengan cara membeli perusahaan Rockefeller.

Setelah bernegosiasi dengan alot, Rockefeller akhirnya menerima tawaran Carnegie. Carnegie sadar bahwa hal ini memang harus dilakukan demi menjaga kelangsungan usahanya dan monopoli bajanya, meski konsekuensinya ia harus menyetor uang banyak pada seterunya.

Carnegie steel kemudian terus berkembang, sebelum datang lagi pengusaha kaya lainnya bernama J.P. Morgan. Morgan adalah seorang pengusaha listrik dan jaringan kerata api yang mencakup seluruh negeri. Dengan ambisinya yang besar, ia tidak ingin membuat perusahaan untuk menjadi kompetitor Carnegie, melainkan ia akan membeli Carnegie Steel.

Morgan melakukan pendekatan intens kepada tangan kanan Carnegie, Charles Schwab. Ia menjanjikan Schwab sebuah posisi yang tidak dapat ditolaknya, yaitu pimpinan perusahaan. Syaratnya, ia harus membantu Morgan dalam menggolkan pembelian Carnegie Steel. Morgan meminta Schwaab menanyakan pada Carnegie, berapa harga Carnegie Steel jika Morgan ingin membelinya.

Carnegie awalnya berat untuk melepas Carnegie Steel pada Morgan, meski pada akhirnya ia memang merasa inilah saatnya untuk berhenti. Inilah saat Carnegie untuk menikmati masa-masa kejayaannya dengan uang hasil penjualan perusahaannya. Akhirnya, pada tahun 1901 Carnegie memberikan angka pada Morgan sebesar 480 juta US$ (sekarang sekitar 13 miliar juta US$) yang kemudian disetujui oleh Morgan. Dengan deal ini, Carnegie praktis menjadi orang terkaya di dunia. Setelah dibeli Morgan, Carnegie Steel kemudian berganti nama menjadi US Steel.

Sejak Carnegie Steel menduduki puncak, Carnegie menyadari bahwa ia telah terlalu banyak mengambil dan terlalu sedikit memberi. Ia juga menyesali keputusannya dalam menekan upah buruh hanya demi kemajuan perusahaan bajanya. Penyesalan ini tidak terlambat, karena setelah penjualan Carnegie Steel, Carnegie berkonsentrasi penuh pada kegiatan filantropi, atau kegiatan menyumbangkan kekayaan pribadi demi kepentingan banyak.

Sebagai salah seorang pelopor filantropi era modern, Carnegie menyumbangkan hampir separuh kekayaannya senilai 350 juta US$ (sekarang sekitar 4.8 miliar US$) dalam bentuk perpustakaan, tempat yang disukai Carnegie sejak kecil. Carnegie juga membangun sekolah, balai pertemuan, dan bangunan-bangunan bermanfaat lainnya. Tidak hanya kepada Amerika Serikat, Carnegie juga membangun perpustakaan di berbagai negara berbahasa Inggris di dunia, termasuk tanah kelahirannya, Skotlandia.  

Warisan Carnegie memang besar dalam mencerdaskan bangsa lewat sumbangan perpustakaan, sekolah, maupun bangunan-bangunan lain yang penting bagi komunitas. Namun lebih dari itu, bangsa Amerika Serikat menganggap Carnegie berjasa dalam membangun Amerika Serikat hingga menjadi negara superpower dengan kemajuan industri yang pesat. Sebagai salah satu industrialis  dengan komoditi baja, ia telah membangun sebuah perusahaan raksasa yang menyambung hidup orang banyak dan memajukan bangsanya.

Ia telah mewakili spirit American Dream bagi generasi-generasi muda setelahnya bahwa semua berawal dari mimpi. Carnegie yang bukan dari keluarga kaya terbukti dapat menjadi miliuner dengan menggabungkan mimpi dan kerja kerasnya.

Setidaknya, begitulah kata orang-orang Amerika.