Kamis, 29 November 2012

Seri tantangan Jokowi-Ahok Part 4 (habis): Korupsi


Belum ada 100 hari kepemimpinannya, duet Jokowi-Ahok telah banyak melakukan gebrakan. Gebrakan dan juga kebijakan yang akan diambil ini memiliki dampak yang besar, juga tantangan yang besar.

Tulisan terakhir yang didahului seri satu, dua dan tiga ini tidak dimaksudkan untuk mengkritisi, apalagi menggurui. Hanya berusaha menggambarkan situasi yang ada dari informasi-informasi yang saya dapatkan.

Jokowi dan Ahok, dinilai akan kesulitan menghadapi masalah Jakarta yang bukan hanya macet, namun korup. Sudah bukan rahasia lagi bahwa korupsi telah menggerogoti ibukota, juga seluruh negeri ini sejak era orde baru, bahkan sejak zaman kolonial. Dari pembuatan KTP, penggalian tanah makam, hingga pembuatan infrastruktur juga dikorup. 

Ahok, yang sudah menggebrak lewat video rapatnya yang diunggah ke youtube, menggunakan bahasa ceplas-ceplos dan pendekatan koboi dalam menghadapi para pejabat bermental tikus ini. “Saya kalo ngomong emang begini, mohon maaf karena gak enak. Tugas saya ini memang gak enak kok.” Begitu katanya, kata-kata yang sangat tidak umum beredar di kalangan pejabat yang umumnya penuh tetek bengek aristokrat namun menusuk dari belakang dan mengeruk uang rakyat baik diam-diam maupun terang-terangan.

“Jokowi is no Indonesian Hugo Chavez, Evo Morales, Lula, or Ho Chi Minh.” Tutup Andre Vltchek dalam esai berapi-apinya itu.

Ya memang Jokowi-Ahok belum membuktikan apapun. Ini Jakarta, bukan Solo bukan pula Bangka. Jokowi-Ahok juga “berhutang” pada Megawati-Prabowo yang mencalonkan dan mendukung mereka dalam Pilkada. Hal yang tentu akan memberi kesan bahwa mereka tidaklah bebas kepentingan. Akan ada “balas jasa” tentunya di negeri penuh intrik ini, seperti halnya seorang Presiden saat memberi jabatan menteri kepada orang-orang partai yang telah mendukung pencalonannya tanpa melihat kompetensi. Atau jika memang duet Jokowi-Ahok tetap melangkah dengan gayanya ini, bukan tidak mungkin banyak pihak yang tidak suka. Skema permainan kotor politik tingkat tinggi bisa saja dibuat-buat lagi oleh orang-orang yang memang tidak ingin negara ini maju.

Semoga saja saya salah.

Jokowi memang bukan Chavez, Morales, Lula atau Ho Chi Minh yang kesemuanya adalah tokoh besar sosialis. Dan Jokowi BUKAN sosialis, karena ia berlatar belakang pengusaha. Namun tidak ada salahnya kita mengharapkan Jokowi memiliki kekuatan, keberanian dan keteguhan seperti layaknya tokoh-tokoh dunia diatas. Seorang pemimpin setidaknya harus punya sikap.

Memang tidak ada dari mereka yang sempurna. Jika anda pernah melihat bagaimana Chavez membuat penduduknya berebut lahan tanah, atau Morales yang menasionalisasi perusahaan gas asing dan berakibat investor asing kabur, Jokowi saya rasa bukan pimpinan dengan ideologi seperti itu.

Seri tantangan Jokowi-Ahok Part 3: Buruh dan Wong Cilik


Belum ada 100 hari kepemimpinannya, duet Jokowi-Ahok telah banyak melakukan gebrakan. Gebrakan dan juga kebijakan yang akan diambil ini memiliki dampak yang besar, juga tantangan yang besar.

Tulisan berseri lanjutan dari seri pertama dan kedua ini tidak dimaksudkan untuk mengkritisi, apalagi menggurui. Hanya berusaha menggambarkan situasi yang ada dari informasi-informasi yang saya dapatkan.

--------------------------------------------------------------------------------------------

Terpilihnya Jokowi-Ahok seakan menjadi angin segar bagi para buruh, yang terus memperjuangkan Upah Mimimum Provinsi (UMP) senilai 2,7 juta rupiah. Jumlah itu kemudian dikabarkan akhirnya disepakati Jokowi menjadi 2,2 juta.

Seolah ingin membela kepentingan kaum buruh dan mengabaikan teriakan dari kelas menengah, Jokowi mengambil langkah ini. Sebuah kebijakan populis.

Ada beberapa isu terkait hal ini.

Pertama, bagaimana dampak pengenaan UMP sebesar itu terhadap industri besar maupun kecil?

Untuk industri besar yang banyak mempekerjakan buruh, hal itu tentu akan menaikkan biaya produksi, juga sedikit porsi biaya operasional. Keuntungan akan berkurang. Akibatnya, bisa saja produk mereka jadi mahal dan harganya tidak lagi kompetitif. Ya, namanya businessman, mereka pasti bisa saja mengakali situasi. Bisa saja kualitas produk mereka diturunkan untuk menjaga keuntungan, bisa saja biaya lain dikorbankan, dan sebagainya.

Namun hal ini membawa konsekuensi dari dinamika industri yang tidak terukur dampaknya. Industri besar yang komponen biaya terbesarnya adalah biaya pegawai (buruh) tentu akan sangat terpukul dengan hal ini. Jika mereka sampai gulung tikar, kenaikan upah buruh bukannya menguntungkan, malah akan membuat mereka kehilangan pekerjaan.

Untuk industri kecil, mungkin lebih terasa dampaknya. Jika sebelumnya mereka misalnya membayar staf administrasi dengan gaji per bulan 2,5 juta dan seorang office boy (OB) 1,5 juta rupiah, bayangkan jika pengusaha kecil itu menaikkan gaji sang OB senilai 2,2 juta. 

Tanpa mengecilkan peran dan profesi seorang OB, seorang karyawan administrasi yang notabene kemungkinan besar berpendidikan lebih tinggi pasti tidak akan rela jika gajinya hanya terpaut beberapa ratus ribu saja dari OB. Pengusaha mereka boleh jadi akan didemo oleh karyawannya.

Kedua, apakah ini kebijakan publik yang benar-benar memihak kepada “wong cilik”?
Buruh, sebagai representasi kaum marjinal memang dipandang sebagai pihak yang membutuhkan banyak perhatian menyangkut kesejahteraan. Buruh seperti sapi perah yang dibayar murah dan diperlakukan semena-mena oleh para pemilik modal, yang menikmati keuntungan maksimal akibat ditekannya biaya produksi, dalam hal ini biaya gaji buruh.

Namun apakah kaum buruh merepresentasikan kaum marjinal seluruhnya? Saya rasa tidak. Banyak orang Jakarta menggantungkan hidup pada sektor informal, melalui UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah) ataupun apa saja yang tidak terdata dalam statistik sederhana yang terpampang di papan tulis Kelurahan.

Jika memang kenaikan UMP ini ditargetkan untuk membantu kaum marjinal, tentunya hal ini tidak menawarkan solusi yang menyeluruh. Kenaikan UMP juga harus diimbangi dengan penguatan sektor informal, yang akan merembet kepada permasalahan ketersediaan lapangan kerja.

Jangan lupa bahwa sebagian dari “wong cilik” ini juga berada dibawah garis kemiskinan, dan mereka tidak tercatat dalam data penduduk di kelurahan. Banyak pula diantara mereka yang merupakan pendatang modal dengkul dengan harapan meraih kesuksesan dengan mengadu nasib di Jakarta.

Seri tantangan Jokowi-Ahok Part 2: Kelas menengah


Belum ada 100 hari kepemimpinannya, duet Jokowi-Ahok telah banyak melakukan gebrakan. Gebrakan dan juga kebijakan yang akan diambil ini memiliki dampak yang besar, juga tantangan yang besar.

Tulisan seri kedua lanjutan dari seri pertama ini tidak dimaksudkan untuk mengkritisi, apalagi menggurui. Hanya berusaha menggambarkan situasi yang ada dari informasi-informasi yang saya dapatkan.
-----------------------------------------------------------------------------------------

Masalah kemacetan sesungguhnya menurut saya terletak pada jumlah kendaraan pribadi yang memakai jalan raya. Percuma saja ruas jalan dilebarkan, fly over atau underpass dibuat, juga jalan tol yang dilebarkan jika jumlah kendaraan tidak dibatasi.


Rencana 6 ruas jalan tol baru

Kebijakan 6 ruas tol baru ini adalah contohnya. Jika pembangunan transportasi massal juga dibarengi dengan pembangunan ruas jalan tol baru yang memanjakan mobil pribadi, kemacetan tidak akan selesai. Berbagai studi telah dilakukan, memperlihatkan bahwa setiap ada pembangunan jalan, maka jumlah kendaraan juga akan bertambah. Bertambah kendaraan, bertambah pula polusi dan kemacetan. Bertambah jalan raya, berkuranglah ruang publik. Jakarta akan menjadi kota yang semakin sesak dan tidak sehat untuk ditinggali. Jika kebijakan ini yang diambil alih-alih proyek MRT, Jokowi sama saja dengan pendahulunya yang mengutamakan kelas menengah.

Penggunaan Busway, KRL atau nanti MRT, Monorail, Trem atau apapun tidak akan berjalan optimal jika kendaraan pribadi baik motor atau mobil dimanjakan. Mobil bisa diperoleh dengan harga murah, dengan fasilitas kredit lunak. Parkir juga murah (baru naik Rp. 3000 per jam baru-baru ini, itupun banyak yang protes), BBM juga terus disubsidi. Sama juga bohong. Tidak ada kebijakan disintensif untuk para pengguna mobil pribadi.

Orang-orang banyak yang panik dan kebakaran jenggot mendengar kabar bensin premium akan dinaikkan harganya. Dengan dalih “orang kecil yang bakalan susah”, mereka menggerakkan massa untuk berdemo. Demo inipun didukung penuh oleh orang-orang kelas menengah yang mendadak bersimpati pada kaum marjimal ini melalui twitter mereka. Mereka yang sering pergi ke restoran mahal dan berbelanja keluar negeri ini mengkritisi rencana kenaikan BBM mengatasnamakan orang susah.


Kelakuan Si Kelas Menengah


Andre Vltchek, seorang novelis dan filmmaker mengungkapkan dalam catatan sarkastisnya bahwa industri otomotif tidak akan rela melihat kondisi lalu lintas Jakarta bagus, tidak pula rela jika Jakarta memiliki sarana transportasi publik yang memadai. Mereka ingin penduduk Jakarta lebih senang menggunakan kendaraan pribadi, demi keuntungan mereka. Para perusahaan otomotif dari Jepang, Eropa atau Amerika itu tidak akan rela pasar potensial mereka hilang.

Seperti ada upaya dari bangsa lain untuk tetap menjadikan Indonesia seperti ini. Apakah Indonesia memang seperti dibiarkan saja menjadi negara konsumen? Negara dunia ketiga yang menjadi sapi perah mereka yang ada di barat? Anda yang bisa menilai sendiri. Saya sama sekali tidak ada maksud menyebarkan paham kiri.

Tidak hanya perusahaan otomotif, perusahaan lainnya semisal perusahaan asuransi tentu khawatir jika pengguna mobil pribadi menurun, karena nasabah mereka yang menggunakan asuransi kendaraan juga akan mengalami penurunan. Begitu pula perusahaan-perusahaan terkait lainnya.

Tanpa itupun, orang Jakarta, terutama kelas menengah memang sudah memiliki pola pikir yang mobil-sentris. Banyak orang beranggapan bahwa kepemilikan kendaraan, terutama mobil adalah kebanggaan. Mobil dipakai tidak sekadar alat transportasi, namun juga simbol kesuksesan. Terjangkaunya harga mobil juga akan terus meningkatkan jumlah masyarakat kelas menengah, sebuah impian ala American Dream. Sepertinya apapun yang berbau kebarat-baratan sangat gampang dijual disini.

“Si Anu waktu acara buka puasa bersama bawa mobil Mercy lho. Udah sukses dia. Beda sama si itu yang masih naik bajaj.”

Mobil juga lambang pergaulan. Orang akan mudah berteman jika punya mobil, karena dengan memiliki mobil sendiri, anda akan dianggap mobile dan mudah kemana-mana. Belum lagi jika anda pria, tidak usah munafik bahwa mendekati wanita akan lebih mudah jika anda memiliki mobil, meskipun tidak mutlak karena banyak wanita karir yang juga memiliki mobil pribadi.

Fenomena sosial ini juga tercipta lantaran sistem transportasi umum sudah kadung dikenal tidak nyaman. Terang saja jika orang akan terus nyaman menggunakan kendaraan pribadi meski konsekuensinya terkena macet, harus membayar mahal tol, dan parkir.

Tantangan yang datang dari kelas menengah ini memang gampang-gampang susah. Menggiring mereka untuk memakai transportasi umum jelas butuh sesuatu yang nyata berupa sarana transportasi umum yang memadai. 

Rabu, 28 November 2012

Seri tantangan Jokowi-Ahok Part 1: Macet

Nulis yang serius dikit ah.

Belum ada 100 hari kepemimpinannya, duet Jokowi-Ahok telah banyak melakukan gebrakan. Gebrakan dan juga kebijakan yang akan diambil ini memiliki dampak yang besar, juga tantangan yang besar.

Tulisan berseri yang terdiri dari seri satu, dua, tiga dan empat ini tidak dimaksudkan untuk mengkritisi, apalagi menggurui. Hanya berusaha menggambarkan situasi yang ada dari informasi-informasi yang saya dapatkan.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Beberapa hari belakangan ini pastilah hari yang melelahkan bagi orang-orang ibukota maupun kota-kota pinggiran di sekelilingnya. Semua karena curah hujan yang sedang tinggi-tingginya, yang memang kita hadapi setiap tahun.

Jika kita mengenal hujan adalah rezeki dan rahmat yang harus disyukuri, namun yang terjadi pada Jakarta dan sekitarnya hujan malah menjadi bencana.

Hujan deras terutama di sore hari menyusahkan para pekerja yang hendak pulang ke rumah. Naik mobil pribadi, kena macet. Naik motor, jas hujan tidak banyak menolong karena hujan terlalu deras. Naik busway, ngantrenya saja bisa lebih dari satu jam. Naik bis kota, nyampe di rumah entah kapan. Naik taksi, ongkosnya bisa semahal apa? Naik KRL, berbagai insiden sering membuat perjalanan KRL terganggu. Hidup udah susah, jadi makin susah di musim hujan ini.

Jakarta adalah sebuah kota metropolitan yang rapuh. Dan musim hujan seperti sekarang ini menjadikan Jakarta seperti kota rawa. Genangan dimana-mana, banjir juga dimana-mana. 

Dan sekarang, orang-orang mulai berteriak kepada Pak Jokowi, sang Gubernur baru. Publik mulai mempertanyakan apakah rencana maupun langkah kongkrit sang Gubernur dalam mengatasi masalah klasik Jakarta: Macet.

Busway yang semula menjadi alat transportasi massal harapan dan jagoan untuk solusi masalah kemacetan nyatanya tidak memenuhi harapan. Namun seperti halnya Chelsea yang menolak jika pembelian 50 juta pound Fernando Torres dianggap gagal, Busway juga dipandang sebagai proyek yang too big to fail. Terlalu mahal untuk dibilang gagal, pasti selalu ada pembelaan untuk menggambarkan bahwa proyek ini sukses.

Busway memang bagus dan cukup nyaman untuk dinaiki. Namun sepertinya belum menyelesaikan masalah, malah terkadang menambah masalah kemacetan. Jalur Busway sering diserobot, antriannya sering panjang. Jalurnya juga tidak menjangkau seluruh sudut kota, makanya tidak jarang kita tetap saja kebingungan mau naik apa setelah turun dari jalur busway. Tidak terintegrasi dengan angkutan umum berkualitas lainnya. Pada akhirnya, orang lebih percaya pada kendaraan pribadi. Belum lagi kita melihat seringnya busway mogok atau rusak, yang malahan mengganggu perjalanan.

Adanya busway ini nyatanya tidak mengurangi kemacetan karena memang jumlah mobil pribadi ataupun motor tidak berkurang. Soal ini, nanti saya bahas lebih detail di seri berikutnya.

Kemacetan Jakarta memang bikin rugi semua pihak. Banyak yang telat datang ke kantor, telat datang untuk meeting, telat datang ke sekolah, entah apa lagi. Kerugian tidak hanya materil, namun juga sosial. Kehidupan sosial terganggu. Kita tentu enggan menghabiskan tiga jam perjalanan dari TB Simatupang ke MH Thamrin hanya untuk duduk-duduk dan mengobrol bertemu teman. Jika sebelumnya orang tidak menerima alasan macet, kini alasan macet seperti dapat dimaklumi siapa saja, dan masyarakat Jakarta hanya bisa pasrah.


Perspektif MRT
Setelah Busway, solusi lain berupa perbaikan transportasi massal ditawarkan dalam bentuk MRT (Mass Rapid Transportation). MRT tahap 1 yang rencananya akan membelah kemacetan Jakarta dari Lebak Bulus ke Sisingamangaraja nampak terdengar seperti angin surga, tapi jika lagi-lagi digarap tanpa perhitungan, tentunya akan sia-sia.

Skema MRT tahap 1 ini dipandang banyak pihak sebaiknya menggunakan skema jalur bawah tanah, tidak secara layang. Biaya menggunakan jalur layang memang lebih murah, namun resiko tidak efektifnya proyek ini jauh lebih besar. Penggunaan model ini dinilai akan mematikan sentra perdagangan kawasan Fatmawati, menciptakan dampak lingkungan tidak baik karena kolong jembatan akan banyak dihuni gelandangan, juga akan menimbulkan kemacetan parah kawasan itu selama pembangunan.

Terhadap skema MRT secara keseluruhan, Jokowi juga meminta proyek itu ditinjau ulang karena bisa saja proyek itu kemahalan. Jokowi juga meragukan ROI (Return of Investment) dari proyek miliaran US Dollar itu.

Well, untuk kota berpenduduk diatas 10 juta jiwa –salah satu yang terpadat di dunia- sebenarnya keberadaan MRT sangat logis. 20 tahun lalu Indonesia adalah negara Asia Tenggara penggagas penggunaan MRT, namun hingga kini MRT tidak kunjung dibangun. Beda pemerintahan, beda kebijakan. Ganti pimpinan, ganti kebijakan. Akhirnya kesana enggak, kesini enggak.  

Jika penggunanya banyak, tentu saja investasi ini akan menguntungkan, dan hanya akan menunggu waktu untuk mencapai breakeven point. Jangan hanya hitung keuntungan materi semata, namun jika keuntungan itu terwujud dalam bentuk kenyamanan, secara psikologis akan sangat membantu. 


Rute MRT Tahap 1

Jumat, 23 November 2012

Musik itu bukan orangnya, tapi kenangannya.


Saya akui kalo saya termasuk orang yang saklek soal musik. Buat saya musik cuma 2 jenis, yaitu rock dan non-rock. Saya gak sungguh-sungguh memaknainya saat mengeluarkan statement itu, tapi itulah kata-kata yang keluar menggambarkan kekecewaan saya pada musik-musik yang ada sekarang.

Subjektif? Pasti. Musik itu masalah selera, dan yang namanya selera itu pasti subjektif. Perasaan saya juga sama dengan orang-orang yang komentar di video lagu-lagu 90an dalam situs youtube. Misalnya orang memposting video lagu Ahmad Band, dibawahnya pasti banyak komentar senada yang intinya: “Musik jaman 90an lebih enak, musik sekarang kacrut.”

Saya mungkin merasakan hal yang sama, namun sebagai hanya penikmat dan bukan pelaku musik Indonesia, kok saya merasa gak berhak ya untuk menghujat, meski memang sangat ingin.

Pada akhirnya, saya mencoba menebalkan toleransi dan melonggarkan kesaklekan saya. Meskipun ini bukan berarti saya akan otomatis menyenangi musik-musik jaman sekarang. Tapi, saya punya alasan untuk berdamai dengan itu semua, dan mencoba setidaknya menahan diri untuk tidak mencela.

Coba saya gambarkan musik jaman saya waktu beranjak dewasa dulu:

Saya mulai tertarik musik setelah dengerin album “Be Here Now” dari band Oasis dan “Pandawa Lima” dari Dewa 19.
Lalu saya belajar main gitar dengan lagu “Radja” dari band /rif. Selain itu, saya mendengarkan kompilasi album di kaset “Indie Ten” yang berisi band-band macam Coklat, Wong, dan Padi.
Setelah itu, saya membentuk band bersama teman-teman dengan memainkan lagu-lagu Green Day.
Bosan dengan Green Day, saya dicekoki Metallica oleh teman saya. Kalo lagi agak pengen bawain lagu yang rada slow, saya mainkan Sheila on 7.
Dan setelah itu, saya menahbiskan diri sebagai penggemar musik rock, menjadi gitaris dan drummer amatiran.



Coba saya ganti diri saya dengan sepupu saya yang sekarang sudah kelas 3 SMA:

Saya mulai tertarik musik setelah dengerin lagu-lagu dari band Peter Pan dan Ungu.
Lalu saya belajar main gitar dengan lagu “PUSPA” dari band ST 12. Selain itu, saya mendengarkan kompilasi album “Trend Indonesia” di MP3 yang berisi band-band macam Kangen Band, Hijau Daun, dan Armada.
Setelah itu, saya membentuk band bersama teman-teman dengan memainkan lagu-lagu Wali.
Bosan dengan Wali, saya dicekoki D’Massiv oleh teman saya. Kalo lagi agak pengen bawain lagu yang rada slow, saya mainkan lagu-lagu Bruno Mars.
Dan setelah itu, saya menahbiskan diri sebagai penggemar musik pop, menjadi vokalis dan gitaris.



Selanjutnya, coba saya ganti diri saya dengan sepupu saya yang baru masuk SMP.

Saya mulai tertarik musik setelah dengerin lagu-lagu dari boyband dan girlband Smash dan Cherrybelle.
Lalu saya belajar joget dari lagu”Oppa Gangnam Style”. Selain itu, saya mendengarkan kompilasi album “Trend KPOP” di MP3 yang berisi band-band Korea. Saya juga follow akun twitter Justin Bieber.
Setelah itu, saya membentuk boyband bersama teman-teman di Sevel dengan mendaur ulang lagu-lagu jaman om saya.
Bosan dengan boyband mellow, saya dicekoki One Direction yang katanya lebih ngerock oleh teman saya.
Dan setelah itu, saya menahbiskan diri sebagai penggemar musik boyband.



Apakah ada yang lebih keren atau lebih cupu? Apakah ada dekadensi dari kualitas musik? 

Saya tidak berhak untuk menjawabnya. Anda sendiri yang menilai. Sekali lagi, itu subjektif.

Alasan itu adalah kenangan. Kebanyakan kita membanggakan lagu-lagu atau musisi jaman kita beranjak dewasa karena saat itu memang kita baru mengenal musik. Kita tumbuh bersama musik-musik itu. Kita jatuh cinta dan ngerasain cinta monyet dengan lagu-lagu di jaman kita itu. Kita mulai mengenal dunia diiringi melodi lagu-lagu yang sering diputar di jaman kita. Itulah sebabnya kita cenderung membanggakannya.

Anak-anak angkatan saya bisa bilang Slank itu keren, jauh lebih keren daripada Peter Pan. Tapi, anak-anak pemuja Ariel yang gak pernah denger Slank sebelumnya, boleh jadi gak sependapat. Kita menganggap Slank, Dewa 19 atau Gigi keren, tapi orang tua kita tetap aja menganggap Koes Plus cs lebih keren. Kadang-kadang, keindahan itu berwujud kenangan dan bukan sosok.

“Moving on is a simple things, what leaves behind is hard.”

Bukan orangnya, tapi kenangannya.

Ya kalo anak jaman sekarang lebih suka Smash dan Cherrybelle, penyebabnya adalah karena lagu-lagu itu mengiringi pertumbuhan mereka. Itulah yang bakal jadi kenang-kenangan mereka 10-20 tahun kedepan.

Mereka juga bakal mencela trend musik tahun 2030an nanti dengan bilang kalo “dulu jaman gue SMP, boyband lebih keren karena lebih banyak orangnya. Karena mereka alumni sevel sini lho!”

“Justin Bieber itu king!” “One Direction itu nge-rock!”

Musik emang cerminan generasi. Berubah terus, berkembang terus. Mau ngikutin jaman atau nggak, itu pilihan.

Kamis, 22 November 2012

Money!


Kapan terakhir anda membaca atau mendengar petuah “Biar lambat asal selamat” atau bahasa Jawanya “Alon-alon asal kelakon”? Ah mungkin dua puluh tahun lalu, atau tiga puluh tahun lalu mungkin.

Anda hanya akan menjadi orang yang tertinggal tiga dekade jika masih menggunakan prinsip demikian. Anda akan ketinggalan dan terlindas dalam kerasnya kehidupan.
Sekarang, anda harus cepat dan benar. Tidak ada itu lambat asal selamat. Anda manusia atau keong? Kok lambat? Anda harus cepat, tuntutan semakin menggila. Tidak hanya cepat, anda harus benar dalam mengerjakan sesuatu. Walaupun anda bukan mesin, tapi anda tidak boleh salah. Kesalahan adalah aib yang tidak termaafkan, dan akan menjadi bahan pembicaraan para petinggi di ruang rapat nanti.

Petinggi? Jika anda membicarakan petinggi terus, lalu kapan anda menjadi petinggi itu sendiri? Kapan giliran anda yang dibicarakan bawahan anda? Kapan anda menentukan nasib orang? Jaman sekarang anda harus memiliki ambisi setinggi langit, agar penghasilan anda juga setinggi langit. Ingat, orang besar membicarakan ide-ide, orang menengah membicarakan hal-hal umum, dan orang kecil membicarakan orang lain. Anda mau jadi orang kecil terus?

Sekarang biaya mahal. Secangkir kopi saja mahal jika anda tidak memakai program promo. Ngomong-ngomong soal biaya, ya memang makin hari makin mahal saja. Tapi sebenarnya bukan biaya yang mahal, tapi penghasilan andalah yang kecil. Ayo, rajinlah bekerja! Tingkatkan performa! Jangan cepat puas!

Bekerja lembur itu sudah keharusan, dan kebutuhan. Eight to five itu hanya untuk pegawai biasa-biasa saja yang akan sulit naik pangkat. Ayolah, anda lebih baik dari itu. Kerja lembur itu keren, itu pertanda anda memang dibutuhkan perusahaan. Jika anda kurang kerjaan, anda harus bertanya kepada diri sendiri apakah anda patut bekerja di perusahaan anda?

Anda masih berharap kenaikan gaji? Lupakan itu. Targetkan lebih tinggi lagi. Setiap tahun anda harus naik jabatan. Dengan naik jabatan, gaji anda naiknya selangit. Anda mau hanya dapat kenaikan gaji sesuai laju inflasi? Itu sih namanya hidup anda stagnan. Lagipula, apa yang bisa anda banggakan jika uang anda tidak banyak? Jaman sekarang, uang adalah ukuran segala-galanya! Uang adalah sumber kebahagiaan, bisa membeli apapun yang anda mau! Jika uang anda banyak, anda akan dihargai! Tidak ada yang berani pada anda!

Ayo bekerja lebih giat lagi! Jangan tanyakan apa yang perusahaan berikan kepada anda, namun pertanyakanlah apa yang sudah anda berikan pada perusahaan! Jangan malas, jangan mengeluh, jangan membolos! Ayo perkaya pemilik modal kita agar mereka mau memberi kita bonus lebih, ayo perkaya negeri kita agar mereka terus membangun negeri ini! Babat saja hutan, jadikan perkebunan kelapa sawit yang menguntungkan. Orang utan? Buat saja modern zoo, pajang mereka dan buatlah seolah kita peduli dengan mereka. Modern zoo ini terobosan baru lho, akan menambah pemasukan pula buat kita.

Lestarikan alam? Ah buat apa. Memang sampai berapa lama sih kita hidup di dunia ini? Masa depan anak cucu, biar mereka sendiri saja yang pikirkan. Toh, kita juga hidup sudah susah, sudah berjuang mati-matian hingga bisa mencapai kejayaan. Nilai-nilai itu perlu diwariskan kepada mereka, jangan maunya enaknya saja!

Kepedulian sosial? Buruh? Konflik di negara lain? Ah biar saja. Tuhan sudah memberi apa yang pantas bagi makhluknya. Salah sendiri kenapa waktu sekolah malah malas-malasan! Daripada pusing mikirin demo buruh, mendingan kita bego-begoin pemerintah aja tuh yang naikin harga BBM, yang bikin mobil mewah kita gak bisa diisi premium lagi deh! 

Sudahlah jangan banyak membaca! Rajin-rajin saja bekerja! High earn, low cost!
***

Apakah saya sudah terdengar seperti agen ekstrimis kapitalis?

Rabu, 21 November 2012

Standar Hidup


Kita pernah ngerasa lidah kurang terpuaskan ketika kita makan steak di pinggir jalan ketika pernah merasakan steak wagyu mahal yang berasal dari sapi yang dibuat mabuk. Kita pernah mencela spaghetti bolognaise rumahan berharga ekonomis ketika mengingat-ingat rasa spaghetti aglio olio di restoran fine-dining.

Kita sering ngerasain keengganan menurunkan standar.

Itu contoh sederhana dalam hal makanan, dalam hal lainnya banyak banget. Misalnya kita yang udah biasa kemana-mana naik mobil pribadi akan merasakan ketidaknyamanan saat terpaksa menaiki kendaraan umum, dan lain-lain.

Manusia memang punya kecenderungan semacam itu. Ketika terbiasa hidup di standar tertentu, sulit untuk menurunkannya. Menaikkannya mudah, namun menurunkannya sulit.
Dulu gue pernah bertanya kepada senior gue. “Punya gaji sebesar itu buat apa? Pasti duit lo awet dong.” Dia menjawab diplomatis. “Semakin tinggi penghasilan lo, semakin tinggi pula standar hidup lo.”

Ternyata hal ini juga pernah dibilang sama Van Halen di lagunya yang berjudul Right Now.

“The more things you get, the more you want.”

Standar hidup adalah masalah pelik bagi orang-orang kota besar. Dulu dosen gue juga pernah menceramahi teman-teman sekelas. “Nanti kamu bakal punya gaji besar, masih muda dan bujangan. Disitulah kamu diuji.”

That was so true. Gue melihat sebagian besar temen-temen gue sedang mengalami fenomena itu. Mereka lalu mengalami kebingungan tentang bagaimana cara menghabiskan uangnya.

“Our problem is no longer how to earn, but how to spend.” Begitulah ujar salah satu senior gue dengan jumawa.

Keberadaan pekerja sejenis ini memang baik bagi negara sendiri, baik pula bagi negara lain. Pekerja macam kami memang dididik dan diarahkan untuk menghuni strata minimum dari warga kota: Kelas Menengah.

Keberadaan kelas menengah, meskipun sering dipandang sinis, juga membantu negara. Kelas menengah yang umumnya pekerja kantoran ini membayar pajak yang besar, bahkan jumlahnya lebih optimal daripada kaum konglomerat yang justru malah banyak yang ngemplang pajak.

Namun demikian, keberadaan kelas menengah yang cuek dan gak mikirin orang lain sama halnya dengan duri dalam daging. Toh para pekerja kelas menengah ini bekerja kepada para pemilik modal untuk memperkaya mereka. Para pekerja ini bekerja demi memenuhi agenda dari para pemilik modal yang kaya sendiri, ngemplang pajak, melakukan skema transaksi keuangan yang merugikan negara, mengendalikan harga minyak dan membayar rendah buruh.

Ah saya mulai terdengar seperti sedang menyebarkan paham kiri. Oke sip.
Balik lagi ke topik standar hidup. Masalah ini sebenarnya masalah mendasar bagi manusia. Pemanjaan berlebihan terhadap diri sendiri tentu melemahkan hati, menjadikan kita sebagai pribadi egois dan self centered, gak peduli sama orang lain, dan gak peduli sama orang-orang di sekitarnya.

“Selama gue bahagia, gue gak peduli urusan orang. Selama gue bisa duduk nyaman di depan kolam renang dan mandi di Jacuzzi, masalah orang lain itu ya masalah mereka. Salah sendiri kenapa dulu malas sekolah, salah sendiri dulu begitu begini…”

Ah mudah-mudahan pemikiran seperti itu tidak ada dalam diri siapapun juga.

Selasa, 20 November 2012

The Assistant


Apa yang bikin sebagian dari keluarga di Indonesia, khususnya di Jakarta pusing? Gak punya duit? Ah itu mah biasa. Gak punya mobil? Masih ada motor, masih bisa ngangkot. Gak punya sofa? Oh masih bisa duduk lesehan di bawah. Gak punya rumah? Oh masih bisa ngontrak atau tinggal di Pondok Mertua Indah. Gak punya pembantu? Nah ini baru pusing.

Pembantu Rumah Tangga (PRT), atau biasa kita sebut Asisten Rumah Tangga (ART) untuk menghargai profesi mereka, termasuk didalamnya adalah mbak Baby Sitter tidak pelak adalah kebutuhan yang tingkatannya nyaris mendekati kebutuhan pokok. Kita bisa ngakalin banyak hal yang gak kita punya, tapi sulit mengakali situasi saat sang ART tidak ada.

Banyak orang yang terpaksa membolos kerja karena tidak ada yang mengurus rumah dan menjaga anak mereka.  Banyak yang harus pontang-panting mendahulukan urusan mencari ART dan baby sitter ini ketimbang urusan kesenangan mereka. Kita bisa bekerja dengan tenang jika mengetahui bahwa rumah kita sudah rapi, dan anak kita ada yang menjaga. Kita bisa menikmati suasana mall dan bepergian kemanapun dengan tenang selama mbak pengasuh anak setia menjaga anak kita.

Kehadiran mereka sangatlah penting dalam lingkaran kehidupan orang-orang kota macam kita. Walaupun begitu, kita mengharapkan mereka bekerja dengan baik, jujur, dan kompeten sebagai kompensasi dari gaji yang kita bayarkan kepada mereka.

“Orang kita itu punya sifat dasar seperti majikan.” Demikian ungkapan yang pernah saya dengar dari seseorang. Disini, kita memperlakukan ART seperti semaunya. Pekerjaan utamanya seperti membersihkan rumah, mencuci, menyeterika dan kadang memasak ditambah lagi dengan perintah-perintah khas feodalisme kita. “Mbak, tolong ambilin obeng. Mbak, tolong bikinin kopi. Mbak, tolong beli cabe di pasar. Mbak, tolong beli telor di warung. Mbak, tolong ini.. Mbak, tolong itu..” Disini, pembantu itu merangkap sebagai pelayan.

Pekerjaan yang seharusnya bisa kita kerjakan sendiri dan sejatinya bukan tugas si mbak terkadang tetap kita suruh si mbak mengerjakannya. Dan tidak jarang kita menambahkannya dengan omelan, makian atau perilaku kasar lainnya. Padahal, mereka ya manusia juga sama seperti majikannya.

Ya, kebanyakan dari kita memang memiliki sifat malas dan ingin dilayani. Jalan kaki sedikit, malas. Kena matahari sedikit, ngomel. Keringetan sedikit, ngeluh. Kelaparan sedikit, ngetwit.
Ini cukup menjelaskan mengapa pekerjaan berbasis servis sangat laku di Indonesia, khususnya Jakarta.

Ada kalanya kita menuntut mereka berlebihan, lalu mengeluhkan tingkat inisiatif dan kecerdasan mereka. Hmm, padahal kalo mereka memang pintar dan penuh inisiatif, mereka mungkin tidak akan menjadi pembantu, mungkin jadi guru atau karyawan kantoran seperti kita. Banyak orang bercita-cita menjadi insinyur, tetapi tidak ada orang yang bercita-cita menjadi pembantu.

Banyak diantara mereka yang putus sekolah karena tidak punya biaya. Jangan bandingkan mereka dengan kita yang sudah sekolah tinggi. Banyak diantara mereka yang terbiasa tidur di papan dan hidup susah, jangan samakan dengan kita yang biasa tidur di kasur empuk dan kelabakan kalo AC mati.

Kita butuh mereka, kita sering memperlakukan mereka semena-mena. Maafkan kami, assistants.

Senin, 19 November 2012

Everything



My life's been sad and blue for, oh, so long
Each day seems like a life time all alone
Strange to think that you could be someone who
Is all alone and waiting for someone, too

Oh, how I've dreamed of love to call my own
To cherish me as I have never known
Should we meet I know my dreams would come true
And loneliness would fade away.
and we would laugh together just the way
That lovers do

And then when you'd hold me tight
Oh, I'd forget that way
I cried myself to sleep at night
No more heartaches from that moment on
We would live for tomorrow
All the sorrow would be gone

You're everything, you're everything
You're even more than I could ever dream
You hold the key to happiness
You're all I need, your love is everything to me

If love outlives eternity I know
That endlessly I'd follow where you go
Side by side each day we'd share something new
You'd look into my eyes and say
That we will stay together come what may
As lovers do

And then when you'd hold me tight
There's nowhere I would rather be
Than in your arms at night
Making precious memories for two
We would promise forever
And forever we'd be true

You're everything, you're everything
You are the sun, the very air I breathe
I've told a million stars
How I've loved you from the start
You're the song inside my heart

You're everything, you're everything
You'd show me all the joy that love could bring
My reason to be living, you're my destiny
Your love is everything to me

You're everything, you're everything
You are the sun, the very air I breathe
I've told a million stars
How I've loved you from the start
You're the song inside my heart
                                                     
                                                                * * *
Wait. Jangan menuduh gue macem-macem dengan pajang video dan lirik ini. Gue gak ada motif apapun. Pertama, ini bukan lagu gue, tapi lagunya Eric Martin. Itu lho, vokalisnya Mr. Big. Ini bukan lagu Everything-nya Michael Bubble juga lho. Nuansanya beda karena yang ini lebih nge-rock. Dan taukah apa kelebihan musik rock dibanding lainnya? Emosi. Musik rock lebih keluar emosinya dibanding musik yang lebih soft. Musik rock itu musiknya anak muda, jadi gak ada salahnya dong ngasih lagu cinta berirama rock ke pasangan. Kedua, gue justru menyarankan elo gunakan lagu ini dan hayati untuk pasangan lo. Ketiga, lagu ini gak mainstream.

Gak ada alasan khusus soal lagu ini sih, hanya saja barisan lirik itulah yang kurang lebih memang semestinya dijadiin benchmark dalam penghargaan lo terhadap pasangan.
Jujur, gue merasa telat tau lagu ini. Karena jika gue tau sebelum gue nikah, gue pasti kasih lagu ini ke pacar, dan gue jadikan pula sebagai wedding song gue. Iya, gue memilih lagu ini ketimbang lagu-lagu evergreen mainstream yang ada di kompilasi kaset punya bokap-nyokap kita, atau lagu macam A Thousand Years-nya Christina Perri yang sekarang laku banget dinyanyiin di acara kawinan, seolah-olah pengantennya adalah si Edward Cullen dan Bella Swan.

Well, ini mungkin udah gak lagi bisa gue jadikan lagu gue untuk acara-acara seremonial, karena gue udah melewati itu semua. Romansa dan romantika juga udah gak jaman lagi buat gue. Tapi mungkin bisa gue bagi-bagi ini ke temen-temen gue atau siapa aja yang suka lagu ini.

Enjoy it. To the world, you may just be someone. But to someone, you maybe the world.


Senin, 12 November 2012

Saat Mike Portnoy hanya berjarak kurang dari 10 meter dari tempat saya berdiri



Semalam, saya melakukan hal diluar kebiasaan dan kewajaran sebagaimana yang biasa saya lakukan pada hari minggu malam. Bukannya beristirahat atau menonton siaran langsung sepak bola mainstream EPL sambil mengoceh di twitter, saya malah pergi ke Senayan untuk menyaksikan konser rock!

Sebenarnya saya tidak niat-niat amat untuk menghadiri konser yang menghadirkan bintang tamu utama PSMS (Portnoy, Sheehan, Macalpine, Sherinian) dan Sepultura itu. Namun, rasa penasaran karena tidak menonton konser Dream Theater April lalu, plus baik hatinya seorang teman yang membelikan tiket konser sudah cukup memberi alasan bagi saya untuk bangkit dari kursi nyaman dan kopi panas di ruang tengah rumah.

Kami memang berangkat ke konser Djarum Rockfest 2012 itu selepas jam 8 malam, dan memang hanya berniat menyaksikan Mike Portnoy cs saja. Konser sebenarnya berlangsung selama dua hari, dan masing-masing dimulai sejak jam 3 sore. Portnoy, salah satu drummer terbaik dunia ini membentuk PSMS bukan untuk menjadikan kasus dualisme klub sepak bola PSMS Medan semakin ruwet, namun Portnoy membentuk PSMS yang untuk memuaskan hasrat bermusiknya yang masih belum padam, dan nampak belum bisa “move on” dari band lamanya, Dream Theater.

Portnoy menampilkan lagu-lagu dengan ciri yang mirip dengan lagu-lagu Dream Theater. Lagu-lagu progressive rock. Genre ini menurut saya sama halnya dengan jazz jika dilihat dari tingkat kesulitan membawakan dan mencernanya. Namun, progressive rock dibawakan dengan lebih garang dan buat saya sih lebih mengena ketimbang jazz. Notasi dan ketukan rumit mewarnai lagu demi lagu yang dibawakan secara instrumental ini. Kurang lebih sepuluh lagu selama satu setengah jam digeber dengan apik. Pertunjukan skill mahal itu nyatanya hanya dihargai 150 ribu rupiah saja per tiket. Sangat miris membayangkan artis-artis “yang itu” bisa dihargai tiketnya sampai diatas sejuta rupiah.

Mirisnya lagi, konser ini sepi penonton, sesepi jamaah shalat tarawih setelah minggu pertama bulan Ramadan. Hal ini semakin menunjukkan bahwa genre musik rock saat ini adalah genre hipster, atau genre orang tua. Tau sendirilah anak-anak sekarang sukanya musik apa. Wajah-wajah yang hadir semalam memang saya perhatikan sudah berusia 30an keatas dan tampak sudah mapan. Sesekali mereka melihat pada jam tangan mereka, sambil memikirkan bahwa esok harinya adalah hari senin. Oh iya, layaknya konser rock, konser semalam juga seperti biasa banyak dihadiri oleh cowok-cowok gondrong berbaju hitam. Ada beberapa cewek, tapi mereka hadir karena menemani pasangannya, tidak ada cewek yang sepertinya niat datang sendirian ke konser ini karena apresiasinya terhadap musik rock. Teman saya sampai berceloteh bahwa dia akan memacari cewek yang memang niat datang sendiri ke konser rock yang kini hipster ini.

Sepinya penonton ini boleh jadi karena promosi yang memang kurang gencar, juga artis-artis pendukung acara yang kurang “menjual”. Realistis saja, berapa orang sih concert goers yang mengenal sosok Mike Portnoy? Minimnya animo penonton ini saya khawatirkan akan membuat para rocker itu semakin malas datang kesini, dan sebagai gantinya kita hanya akan disuguhi sajian musik yang itu-itu saja.

Secara kualitas sound dan performance, mereka sangat memuaskan meskipun sebagian besar lagu yang mereka bawakan tidak saya kenal. Meskipun konser mereka ngaret hingga satu jam, segala pertunjukan dahsyat yang mereka pertontonkan membuat saya lupa bahwa esoknya adalah hari senin dan sekarang sudah jam 11 malam di hari minggu.



Mike Portnoy, eks drummer Dream Theater dengan gayanya yang enerjik, cuek dan memiliki ciri khas memukul perangkat drum sambil berdiri ternyata juga seorang entertainer handal. Sebagai pentolan dari band ini, ia meletakkan set drumnya lebih dekat dengan penonton, juga dengan posisi menyamping tidak seperti drummer-drummer pada umumnya yang selalu tersembunyi di bagian paling belakang panggung. Portnoy berkali-kali mengajak penonton berkomunikasi, sekaligus sedikit menyinggung penonton Jepang, yang menurutnya hanya bertepuk tangan sebentar lalu berhenti, tidak seantusias disini, di Indonesia.

Saya sebagai seseorang yang juga hobi memainkan perangkat pukul berisik ini, otomatis memang lebih memperhatikan permainan Portnoy. Dialah drummer dengan kemampuan paling komplit yang pernah saya saksikan. Permainan rumitnya di Dream Theater sebelumnya memang seakan sudah menjadi bagian tidak terpisahkan. Segala macam tehnik pukulan ia peragakan dengan power, groove dan akurasi luar biasa. Staminanya juga sangat terjaga di usianya yang kini sudah 45 tahun, cukup uzur untuk memainkan musik keras yang bertempo rumit ini.

Mike Portnoy cs telah membangkitkan kembali romansa kejayaan genre musik rock, yang berjaya di era 80 hingga 90an. Kehadirannya bersama Sheehan, Macalpine dan Sherinian semalam cukup memuaskan dahaga rock concert yang telah saya derita selama setahun lebih.

Thanks, Rockstars! Kalian membuat hari senin yang biasanya saya lalui dengan kantuk dan malas menjadi lebih bermakna, walaupun sebagai penutup konser saya lebih berharap kalian memainkan lagu Colorado Bulldog ketimbang Shy Guy.

Rock on!!

Jumat, 09 November 2012

Balada akun anonim


Perkembangan social media kini membuat informasi makin cepat tersebar. Terlebih melalui twitter, apapun yang anda twit, bisa tersebar ke seluruh penjuru dunia hanya dalam hitungan detik.

Tidak pernah ada aturan tertulis soal nge-twit ini, namun konsekuensi dari twit-twit yang anda lakukan boleh jadi mengubah hidup anda, dari konsekuensi kecil seperti di bully hingga konsekuensi besar yang mengancam karir dan hidup. Beberapa pemain sepak bola terkena masalah karena terlalu ekspresif dalam nge-twit, seorang pemain basket juga pernah ditegur klub ketika ketahuan berkicau di jeda pertandingan.

Semakin anda terkenal di dunia nyata atau maya, semakin berpengaruh pula kicauan anda. Apa yang anda kicaukan walaupun sekadar tanda baca tanpa makna yang jelas ataupun sebuah kata “selamat pagi” bisa diretweet oleh banyak orang dan menimbulkan reaksi berantai yang tidak terukur dampaknya.

Namun ternyata, menjadi terkenal di dunia maya tidak selamanya enak, tidak selamanya menyenangkan. Mungkin inilah salah satu alasaan membuat akun anonim. Dengan akun anonim, anda seperti berbicara menggunakan topeng, suara terdengar namun wajah tidak terlihat. Alasan lainnya, bisa jadi akun anonim dibuat untuk mengekspresikan kebenciannya pada suatu golongan, tapi karena dia tidak berani menunjukkannya di dunia nyata, dunia maya menjadi arena bermainnya. Dan sebagainya.

Dengan akun anonim inilah sudah pasti kita menjadi lebih bebas berekspresi. Lagipula jika anda bukan orang terkenal, menggunakan akun anonim cenderung lebih banyak di follow orang ketimbang akun pribadi. Dengan nama akun yang eye-catching, posting informasi maupun opini yang menarik, tentu orang akan lebih memperhatikan anda, tanpa tahu identitas asli anda.

Anda bisa menjadi pengisi time line orang-orang, kicauan anda menginspirasi para pelahap twitter tanpa harus repot-repot menggelar seminar motivasi di hotel berbintang. Anda bisa mempengaruhi pola pikir seseorang.

Akun anonim juga memiliki berbagai tipe. Ada akun bijak yang selalu membagi petuah bijak, seolah admin dari akun tersebut adalah seorang filsuf yang tinggalnya di perpustakaan dan sudah makan asam garam kehidupan. Ada pula akun nasihat-nasihat religius yang dari dunia maya selalu berusaha mengingatkan kita bahwa kita harus berbuat baik di dunia nyata. Ada pula akun fanbase klub olahraga yang selalu siap membela klubnya, dekat atau jauh, dari pagi hari hingga dini hari, dan siap mengajak twit war akun klub rivalnya.

Bagaimana kita dinilai orang adalah tergantung gaya kicauan. Jika provokatif, anda tentu saja terlihat menarik. Semakin vokal, semakin banyak yang follow karena orang akan menilai twit anda berkarakter dan keren. Namun jangan salah, tidak semua orang akan menyukai twit semacam itu.

Tidak semua orang menyukai fakta dan kejujuran. Banyak yang lebih suka diberi kebohongan manis daripada kejujuran pahit. Tidak semua orang pula mau menerima kritik, terlebih orang-orang yang merasa sudah “dewasa”. Dengan kata lain, kicauan yang nyinyir dan provokatif memiliki dua mata pisau, ada yang suka dan ada pula yang tidak.

Mereka yang tidak suka inilah yang akan selalu siap menjatuhkan anda dan dengan sabar menunggu anda berbuat kesalahan, seperti kumpulan hyena yang menunggu seekor singa besar lengah untuk kemudian mengeroyoknya.

Bully level 1, baru sebatas membully tanpa arah bagaikan peluru kosong. Namun bully level selanjutnya, mereka akan mencari siapa dibalik akun anonim ini. Mereka akan menggunakan segala sumber daya, menyediakan waktu dan mencurahkan segala kemampuan untuk membongkar identitas admin akun yang mereka benci itu.

Level selanjutnya, para penyerang itu bisa jadi bertindak lebih jauh. Dipengaruhi kebencian, mereka bisa saja mengancam anda di dunia nyata.

Bayangkan, hanya gara-gara barisan 140 karakter saja kehidupan anda bisa terganggu. Memang sulit memahami perilaku banyak orang. Apa sih yang dibela? Apa sih yang diperjuangkan? Mengapa pula sampai tega merusak reputasi atau karir orang lain? Mengapa bisa sebegitunya membela idolanya, lalu menjadikan itu pembenaran untuk menyerang orang lain?

Tadinya saya berpikir twitter itu adalah permainan sederhana. Follow, unfollow, mute dan block. Ternyata tidak sesederhana itu kawan, karena tidak semua orang memiliki pemikiran yang sederhana.

Oh simple thing, where have you gone?