Kamis, 19 Desember 2013

Ironi Anak Orang Kaya

Alkisah ada seorang pemuda. Wajahnya tidak ganteng, tapi tidak juga jelek. Badannya tinggi tegap, pembawaannya ramah dan simpatik. Jika berbicara dengan orang lain, ia nampak antusias bahkan walaupun ia tidak terlalu dekat dengan lawan bicaranya. A decent guy.

Pemuda ini bukan pemuda kebanyakan. Ia anak tunggal yang terlahir dari keluarga menak, alias kaya raya, alias tajir. Keluarganya memiliki banyak harta dan bisnis yang setiap saat siap diwariskan untuk sang pemuda.

Sang pemuda dididik dengan benar. Sekolahnya baik, prestasinya baik, kelakuannya baik. Ia juga sangat nurut dan patuh pada orang tuanya, pada kakek dan neneknya. Ia seperti sudah berkali-kali diberi penegasan bahwa ialah pewaris tunggal kerajaan kecil dari keluarga besarnya, untuk itulah ia harus memiliki sifat-sifat yang dipandang perlu. Jadilah ia dibentuk untuk menjadi anak baik, penurut, sopan, pandai, lurus dan tidak macam-macam. Ia juga tidak sembarang berteman dengan orang. Anda pemabuk? Maaf, lingkaran pergaulan tertutup untuknya.

Sepertinya sudah terlalu banyak cerita picisan semacam ini, dan Anda pasti sudah terlalu bosan mendengarnya. Namun bukan rangkaian cerita tentang nasib si pemuda yang ingin saya sampaikan di sini.

Saya kasihan dengan si pemuda.

Ia memang tidak kekurangan harta, tidak pula kekurangan kasih sayang. Bahkan berlebih. Orang tua dan kakek-neneknya sangat menyayanginya, sangat membanggakannya. Si pemuda telah tumbuh sebagai anak idaman keluarga.  Namun dibalik semua itu, saya melihat hidupnya bagaikan robot. Robot  yang tinggal digerakkan dengan remote kemanapun maunya mereka.

Pemuda ini tidak pernah pulang larut malam bersama teman-temannya. Kegiatannya selalu dipantau, tidak pernah menonton konser hingga menjelang pagi, tidak pernah main Playstation di rumah atau kos-kosan teman sampai pagi, tidak pernah jalan-jalan ke luar negeri bersama teman-teman lalu memajang foto dengan sembrono di instagram dan path. Ia tidak berbicara sembarangan, tidak membuang-buang waktu. Hidupnya datar bagaikan musik... (ah sudahlah).

Satu lagi yang membuat saya kasihan adalah menyangkut perempuan. Sebagai pemuda normal, tentu saja ia mendambakan perempuan untuk menjadi pasangan hidupnya. Cuma ya itu, tidak sembarang perempuan yang diperbolehkan untuk memasuki kerajaan kecil milik keluarga besarnya. Perempuan itu harus cantik, kaya, baik hatinya, baik pergaulannya, sehat, seiman dan satu suku. Perempuan sempurna (di mata keluarga).

Inilah yang saat ini mengganggu pikiran si pemuda. Ia baru saja putus dengan pacarnya, yang sayangnya memang hanya memiliki satu-dua kriteria dari belasan kriteria wajib yang ditetapkan oleh keluarga besar pemilik kerajaan kecil.

Dari lahir, ia sudah dibentuk untuk menuruti kata-kata orang tua dan keluarganya. Iapun tidak sampai hati untuk membangkang. Ia selalu ingat bahwa ia adalah seorang anak baik. Anak patuh dan penurut, kalo gak nurut nanti kualat. Ia seperti sudah di program untuk melakukan hal A, B dan C saja meskipun dunia menawarkan cerita A sampai Z.

Ia seperti mobil ferrari yang dipaksa berkendara sepelan bajaj. Ia bagaikan anak posh yang gagal nonton konser DWP gara-gara terjebak macet, padahal konser itu adalah penanda status gaulnya. Ia seperti kucing ras yang penurut, patuh dan tidak bisa berkelahi sehebat kucing garong. Ia memiliki pensil warna lengkap dengan 320 warna namun hanya boleh menggunakan 16 warna saja dalam menggambar. Ia adalah smartphone mahal yang digunakan oleh Om-om ganjen tapi gaptek. Ia bagaikan drummer metal yang dipaksa memainkan lagu pop!


Boleh saja keluarganya merasa senang dengan apa yang telah dipertontonkan si pemuda. Tapi bagi si pemuda, ia hanyalah menjalankan peran dan belajar untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Masa mudanya berlalu begitu saja tanpa kesan. Ia tidak pernah menikmati jadi robot, namun ia sendiri tidak kuasa untuk mempertanyakan program yang telah ditanamkan pada sistemnya.

Ironis!