Minggu, 14 Oktober 2018

Karena Jakarta Memang Keras

Beberapa waktu silam sempat baca thread di Twitter tentang kerasnya hidup di beberapa kawasan di Jakarta. Buat anak yang hidup normal dari kecil, lalu sekolah dengan bener, lalu dapet kerjaan di perkantoran mewah, mungkin hal-hal begini gak pernah ditemui, hanya sebatas dengar cerita orang lain. Buat yang kesehariannya kerja di kantoran mewah, lalu menghabiskan weekend nongkrong di mall besar, tinggal di perumahan mewah atau apartemen yang selalu dijaga satpam, mungkin kerasnya ibukota hanya mitos.

Tapi pasti ada aja lah pengalaman-pengalaman menyebalkan sekaligus ngeri-ngeri sedap meski hanya sesekali. Misalnya ketika kebetulan harus naik kendaraan umum karena suatu keperluan mendesak, ketika tidak sengaja berjalan melewati pasar atau terminal, ketika transit di stasiun untuk menuju ke suatu tempat, atau ketika terpaksa berjalan menyusuri titik-titik yang dikenal rawan kejahatan.

Tatapan-tatapan kosong tak bersahabat, maling-maling kelas teri yang senantiasa mengincar apa yang kita kenakan bagai gerombolan hyena, hingga polah preman yang memang selalu ingin mencari masalah. Inilah yang harus siap kita hadapi sebagai pengais rejeki ibukota.

Gua sendiri punya beberapa pengalaman soal itu. Gak banyak sih, dan mungkin buat elo yang baca, mungkin gak seberapa.

Preman di Stasiun Juanda
Banyak sekali kejahatan terjadi dengan latar belakang stasiun kereta. Waktu stasiun dan kereta rel listrik Jabodetabek belum serapi sekarang, gerbong kereta dan stasiun kereta adalah rumah bagi bermacam-macam orang. Pedagang asongan, pengamen, pengemis, preman, pengangguran, tukang parkir, anak punk, alay, anak sekolah, karyawan, orang tua. Ada pula suara tangisan bayi, pekikan emak-emak bercampur jadi satu dalam etalase komunal yang membikin hati tidak nyaman. Jangan pula coba-coba masuk ke toiletnya.

Waktu masih SMA, gue dan beberapa kawan pengen nyari sepatu di daerah Pasar Baru, makanya gue naik kereta sampai stasiun Juanda supaya ngirit ongkos dan waktu tempuh. Baru aja turun, suasana di stasiun udah bikin kewaspadaan meningkat. Bau pesing bercampur bau sampah makanan-makanan busuk sudah menyambut ketika baru melangkahkan kaki ke peron. Sejauh mata memandang, banyak gelandangan tidur di bangku besi atau bersandar seadanya di pilar-pilar. Lalu di tangga, banyak pengemis duduk berbaris. Di lantai bawah, ada sekelompok bapak-bapak main catur sambil memegangi puntung rokok yang sudah mau habis, sekelompok tukang ojek main gaple sambil teriak-teriak, anak-anak kecil berlarian sambil saling berteriak dengan makian kasar, juga preman-preman lokal yang memerhatikan penumpang yang baru turun.

Gue menangkap beberapa pasang mata preman itu mengintai kami, anak-anak sekolah lugu yang seperti mangsa lemah bagi mereka. Benar saja, ketika mendekati pintu keluar, salah seorang preman yang usianya seumuran kami memanggil-manggil dari kejauhan. “Woi! Woi! Anak mana lo pada? Ayo pada ke sini!” 

Sebuah panggilan familiar buat kami, anak-anak sekolah 90an yang sering menghadapi teror pemalakan dari anak sekolah lain atau dari preman sekolah yang sedang mencari jati diri. Kami mempercepat langkah. Si preman pemula tahu gelagat kami yang berusaha kabur. Tak mau kehilangan mangsa dan gagal dalam proses inisiasi di tongkrongan, dia mulai berlari kecil. "Senior-seniornya" hanya memerhatikan dari jauh. Mendengar langkah itu, kami bergegas masuk ke komplek pertokoan Pasar Baru yang ramai. Kami berhasil lolos, sementara si preman bau kencur itu mengoceh dan mengancam. “Awas lu pada nanti ye, gue tungguin lo di pintu keluar!”

Ancaman itu membuat perasaan tidak tenang. Kami lalu mencari-cari rute lain untuk jalan pulang dan memilih naik bus Patas AC buat pulang ke rumah.

Sopir Taksi Jagoan
Masih di stasiun, kali ini kejadiannya di stasiun Jatinegara. Gue bersama keluarga ketika itu baru pulang dari Surabaya. Bokap memang gak biasanya ngajak turun di stasiun ini, karena biasanya kami turun di Gambir. Alasannya lebih dekat menuju ke rumah. Kami pun mendapati suasana kumuh di stasiun itu, berbeda jauh dengan di Gambir.

Baru kami turun dan hendak mencari taksi, bapak-bapak paruh baya menawarkan ‘bantuan’. Ia lalu membawa kami ke sebuah taksi yang bukan Blue Bird. Ketika sampai, sopir taksi bermata sayu ini hanya diam saja. Ia tidak membantu membawakan barang, dan ketika kami masuk pun ia sama sekali gak tersenyum. Gue mulai merasa khawatir.

Keanehan berlanjut. Setelah menyalakan mesin, si bapak-bapak calo tadi mengetuk jendela sopir dengan kasar, yang kemudian dibuka dengan gestur malas dari si sopir sayu. Si sopir lantas mengeluarkan uang seribuan untuk si calo, yang langsung dibalas dengan gebrakan. “Kok cuman seceng? Kurang nih!” bentak si calo. “Ah bacot lo!” Si sopir taksi yang tadinya tak bersuara tiba-tiba berteriak seperti itu sembari melemparkan uang logam seratusan ke arah si calo dengan kasar. Gue yang duduk di kursi depan kaget, sementara bokap dan nyokap mencoba menyarankan si sopir untuk memenuhi permintaan si calo.

Tapi si sopir tetap bergeming. Ia malah bergegas jalan, kali ini sambil mengeluarkan makian selangkangan ke si calo, yang kemudian dibalas dengan pukulan ke body mobil. Taksi pun meninggalkan stasiun Jatinegara dengan tergesa, dan gue terdiam. Baru beberapa detik menginjakkan kaki di Jakarta udah ketemu beginian. Beginilah wajah asli kota ini.

Sepanjang jalan, si sopir taksi sama sekali gak mengajak ngobrol. Ia nampak masih kesal. Tambahan lagi, kelihatannya doi baru mengalami malam yang berat. "Mungkin baru ribut sama istrinya," batin gue. Cara menyetirnya jadi ugal-ugalan, tapi gue gak berani negor. Paling-paling hanya nyokap gue yang sesekali memekik karena ketakutan, dan bokap gue sesekali ngingetin dia untuk pelan-pelan. Tapi tetap aja si sopir jagoan ini gak menggubrisnya.

Untungnya, perjalanan ini berhasil kami lalui dengan selamat sampai di rumah. Nyokap pun langsung protes ke bokap. “Udah deh, lain kali turunnya di Gambir aja.”

DVD Binatang di Glodok
Dulu pas eranya DVD dan VCD, banyak yang berburu film porno di kawasan Glodok. Bener aja, pas gue ke sana bareng teman-teman, kepingan DVD bercover gambar porno ini sampai berkarung-karung banyaknya. Dijual murah pula di tempat emperan pinggir jalan. Kalo gak salah, harganya cuma 4 ribu rupiah per keping.

Ada satu teman gue yang tergoda untuk beli, tapi dia kemudian kecele karena begitu dipasang di pemutar film, isinya adalah video kehidupan aneka binatang, beda jauh dengan covernya. Padahal, tempat yang beneran jual film biru itu letaknya agak masuk ke dalam, dan film-film itu letaknya disamarkan dengan film-film normal lain. Harganya pun lebih mahal, di kisaran 10 ribu - 20 ribu per keping.

Anak Orang Kaya Manja Setan Jalanan
Pernah suatu kali gue pulang larut malam sekitar jam dua pagi karena harus menyelesaikan pekerjaan mendadak di kantor. Saat itu gue bawa mobil sendirian. Lagi enak-enak nyetir dengan kecepatan sedang di dekat Pasar Rumput, mobil di belakang gue main-mainin lampu dim. Gue waktu itu di ruas kanan. Bukannya dia lewatin gue dari kiri, dia malah terus main-mainin lampu jauh supaya gue yang minggir.

Karena lagi malas meladeni, gue pun mengalah dan minggir. Mobil geblek itu pun melewati gue sambil main-mainin pedal gas.

Tibalah gue di sebuah lampu merah, dan gak taunya mobil laknat itu sedang berhenti. Saat sejajar, gue sempat tengok ke kaca mobil itu, yang ternyata gelap. Gue gak mikir macem-macem sampai kemudian dia kembali mainin pedal gas. Norak banget, kaya anak kecil baru pertama kali nonton Fast & Furious.

Lampu berganti hijau, dia tancap gas dan ngebut. Gue cuma geleng-geleng lalu kembali ambil jalur kanan.

Eh gak lama kemudian, gue melihat lagi mobil sinting itu berjalan pelan di jalur kiri. Gue lewatin aja dong, walau pikiran mulai was-was. Bener aja, beberapa detik kemudian si jahanam kembali beraksi main-mainin lampu dim. Kali ini gue mulai kesel, dan gue bersikeras gak mau minggir. Gitu terus kejadiannya sampai lampu merah lagi. Dia kembali menyejajarkan mobilnya dengan gue, tapi tetep gak buka kaca, hanya main-mainin pedal gas.

“Dasar anak kecil cemen. Mungkin di sekolahnya dia terlalu sering kena bully kakak kelas.”

Dia pun terus melakukan itu. Mengintimidasi dengan lampu dim dan mengikuti gue sampai ke Depok! Gue pun berencana ngerjain anak ileran ini dengan membawanya ke daerah dekat rumah dan gue supaya dia kesasar biar tau rasa. Untungnya dia kayaknya udah bosen dan mungkin dia sadar karena udah main kejauhan. Mungkin juga udah ditelpon sama bokapnya yang nyariin mobilnya. Pas gue akhirnya belok ke arah jalanan dekat rumah, dia pun gak ikutan belok. Pastinya dia tersadar tiba-tiba sampai di planet Depok. Lumayan deh, gue jadi gak ngantuk, dan tanpa gue sadari, hanya setengah jam gue habiskan perjalanan dari kantor ke rumah, padahal biasanya satu jam lebih. 

Sebetulnya masih ada pengalaman-pengalaman unik lain. Contohnya: Sekelompok preman menyiram kaca dengan air sabun keruh dan memaksa minta duit, tukang parkir yang seenak jidatnya minta bayaran 20 ribu, pemotor yang nabrak spion tapi ketika diklakson langsung mengacungkan jari tengah, anak-anak kecil yang menunggui gue selesai makan lalu meminta sisa tulang ayam, aktivis kampus bohongan dengan jaket seadanya yang meminta-minta uang untuk membantu korban bencana, para pengemis yang menggunakan monyet untuk meminta-minta di dekat pintu tol, abang opang di kawasan industri yang terlihat gusar ketika tahu gue menggunakan ojek online, gerombolan berpeci yang menggetok mobil taksi yang gue tumpangi karena mereka anggap menghalangi jalan, mas-mas alim yang masih keranjingan judi bola, seorang mantan teman kantor yang dipenjara gara-gara menggelapkan uang klien, expat mantan kantor yang hobi bawa mbak-mbak idabul ke dalam ruangan kerjanya, sopir taksi bapak paruh baya yang dikasih tau jalan malah ngeyel dan marah-marah gak jelas, sopir ojek yang ngajak ngobrol terus-terusan ujung-ujungnya minjem duit dan ugal-ugalan ketika gak dikasih pinjem, penjaga toko yang judes dan sering ribut soal uang kembalian, operator pom bensin yang ngakalin meteran bensin, operator pintu tol yang sengaja ngejatohin uang kembalian, mekanik bengkel yang suka nawarin suku cadang "belinya lewat saya aja, mas", sopir taksi yang marah ketika uang kita kegedean, sopir taksi yang ngoceh gak habis-habis ketika diminta mengantar ke jalan tembus yang sempit, motor yang lewatin trotoar dan lebih galak ketika ditegor, preman komplek sok galak di komplek (tapi cemen di luar komplek), pak ogah yang memaki ketika gak dikasih uang, tukang parkir minimarket yang menyumpahi tabrakan ketika gak dibayar oleh seorang ibu-ibu motor matic, peminta sumbangan bermodal map lusuh dan kertas entah asli atau bohongan, pengamen yang cerita baru keluar dari penjara, mbak-mbak penjaga toko baju metal yang minta nomor henpon, tukang tambal ban yang menolak kerjaan dengan alasan sudah malam, bapak-bapak yang pura-pura salah ambil tas di restoran, bapak-bapak yang asal ambil koper di bagasi bandara, bapak-bapak komplotan copet henpon di angkot, dan lain-lain. 

Bad souls di Jakarta inilah yang ikut membentuk Jakarta yang keras. Mereka di sekitar kita, dan karena itu kita harus 'sadar ruang'.