Selasa, 25 September 2012

Negeri over-capacity




Kita sering melihat sesuatu yang melebihi kapasitas di negeri ini. Truk-truk yang berjalan membawa muatan berlebih, bis kota dan kereta api yang kelebihan penumpang, dan banyak lagi. Kalau kita ke pulau seribu dengan kapal nelayan, sering juga penumpangnya melebihi kapasitas. Akibatnya, ada yang gak kebagian pelampung. Dan semuanya dipaksakan jalan.

Gaya hidup sekarang, terutama menyangkut makanan juga seringkali kita lihat menganjurkan untuk kita makan sampai kekenyangan. Makan sepuasnya. Kita sering memaksa perut Asia kita menyimpan makanan dengan porsi Amerika. 

Dari sudut pandang pekerjaan, lagi-lagi kita banyak melihat buruh yang bekerja keras melebihi kapasitas tubuhnya dengan bayaran minim pula. Pakaian-pakaian yang dipakai oreh para atlet di Olimpiade London 2012 kabarnya adalah hasil jerih payah buruh-buruh Indonesia yang harus bekerja over-time tidak manusiawi demi menekan biaya produksi. Para buruh itu di laporan keuangan hanya akan muncul dalam satu akun yaitu "direct labor" yang jumlahnya hanyalah sekian persen dari total biaya perusahaan, dan jauh sekali prosentasenya dari keuntungan perusahaan. Keuntungan itu hanya mengalir deras kepada pemilik modal, lalu buruh? Mereka bahkan harus demo menutup jalan tol hanya untuk menuntut kenaikan gaji sebesar 200 ribu rupiah. Ya, 200 ribu, yang bisa kita habiskan dalam sekejap di restoran mahal.


Whoa, saya mulai terdengar seperti mempropagandakan sosialisme. Ok, stop.

Well, bukan hanya buruh. Pekerja kantoran juga banyak yang bekerja over-capacity. Mereka bekerja dari pagi hari hingga ketemu pagi lagi hingga berhari-hari. Dulu waktu kita kecil orang tua kita sering menasihati kita untuk bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Tapi kenyataannya kita yang sudah bersakit-sakit sejak jaman sekolah tetap saja begitu memasuki dunia kerja kembali disuruh bersakit-sakit lagi. Sampai kapan? Entahlah. Toh sebagian kita menikmatinya. Memang tuntutan hidup di kota besar jaman sekarang ya seperti ini, jika tidak mampu mengikuti silahkan menyingkir saja.

Dan masalah over-capacity ini juga kini dialami adik-adik kita di bangku sekolah. Saya beberapa kali bertemu anak SMP atau anak SMA yang baru pulang hingga jam 8 malam. Ketika saya tanya "dari mana, dik?" Dia menjawab kalau dia habis pulang dari mengikuti bimbingan belajar. Dulu jaman saya sekolah gak begitu-begitu amat.

"Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu."

Itu penggalan lagu Iwan Fals. Saya jadi bertanya-tanya, apakah memang harus begitu? For God's sake, anak-anak itu bukanlah calon pemain bola, yang memang harus berlatih sedari kecil agar menjadi pesepakbola hebat, dan harus mengorbankan masa kecil mereka. Inilah yang terjadi, kita takut anak-anak kita tidak mampu bersaing menghadapi tuntutan kapitalisme dan era globalisasi.


Negeri ini menjadi seperti sangat profesional jika berbicara globalisasi tapi sangat amatiran jika berbicara safety.

Lalu, apakah saya harus memberlakukan hal ini kepada anak saya? Apakah saya harus menyuruh anak saya belajar keras, ikut bimbel sampai jam 8 malam agar juara kelas dan diterima di kampus favorit, lalu kuliah harus IPK cum-laude, TOEFL harus diatas 600, lalu memaksanya kerja di perusahaan asing? Dan dia berhasil menjadi pekerja berpenghasilan tinggi karena segenap jalan yang saya dikte kepadanya seperti halnya saya merakit sebuah komputer dengan panduan buku manual? 

Atau saya harus membiarkan anak saya melakukan apa saja yang disukainya? Memfasilitasi bakat dan minatnya, tidak memaksakan kemampuannya, membiarkannya menyukai apa yang dia kerjakan lalu meraih sukses dengan kemampuannya sendiri?

Kira-kira, seorang manusia akan lebih senang memilih jalan yang mana?

Tolong, saya butuh parenting guide yang original, jangan yang KW.

Senin, 24 September 2012

The Expatriates


“Saya dibawa berputar oleh taksi selama lima jam, dari bandara kesini.” Ujar salah seorang teman saya yang seorang mahasiswa dari sebuah negara Asia dengan bahasa Indonesia yang lumayan lancar. Dia sedang melaksanakan program perkuliahan di Indonesia dalam rangka memenuhi syarat kelulusan.

Dia lalu menceritakan pengalaman lainnya saat dia bersama teman-teman satu bangsanya hendak pergi ke pulau seribu. Ongkos yang normalnya 300 ribu per orang tiba-tiba membengkak menjadi 3 juta rupiah karena orang-orang disana memanfaatkan ketidaktahuan para pelajar asing itu.

Gak usah orang asing. Coba kalau kita yang orang Jakarta pergi ke daerah pantai Anyer dan sekitarnya, lalu memarkir mobil sebentar di pinggir pantai, pasti preman disana langsung "menggetok" tarif parkir secara gila-gilaan. Teman saya pernah hampir berantem gara-gara “dipalak” dua puluh lima ribu rupiah untuk membayar parkir.

Begitulah sikap asli bangsa kita, gak usah malu-malu lagi. Kata siapa bangsa kita itu bangsa yang ramah dan sopan? Semua itu hanya ada di buku pelajaran, bukan di kenyataan.
Kembali kepada orang asing tadi, saya merasa simpati kepada mereka. Mereka berjuang melintasi batas negara, meninggalkan kamar nyaman penuh fasilitas mereka, meninggalkan orang tua mereka untuk pergi ke negeri orang. Mereka menghadapi hambatan bahasa, makanan, cuaca, dan budaya disini. Alangkah kasihan jika mereka ditambah penderitaannya dengan sikap-sikap banci jago kandang seperti diatas.

Kita yang bekerja di bagian payroll yang menghitung gaji karyawan pasti iri saat menengok berapa gaji para ekspatriat yang bekerja di negeri kita. Namun itulah yang mereka dapat atas segala perjuangan yang mereka tempuh. Jika kita melihat lebih luas, sikap-sikap seperti inilah yang membuat bangsa itu maju, saat orang-orangnya berani menjelajah dunia demi mencari ilmu dan rezeki. Mental seperti itulah yang membuat bangsa lain menguasai perekonomian dan perdagangan dunia.

Lalu, bagaimana dengan bangsa kita? Yah lihat saja sendiri.

Rabu, 12 September 2012

Andai saja mereka di sini



“Track them, then kill them all!”
Begitu kata Barney Ross kepada timnya sesaat setelah dia menguburkan Billy The Kid, anggota termuda dalam tim yang terbunuh dalam sebuah misi pengamanan kotak berisi peta penyimpanan plutonium yang hilang sejak era perang dingin.


Sederhana, namun menyelesaikan semua masalah yang ada. Itulah sepenggal adegan dari sekuel film kumpulan para jagoan tua yang sudah layak masuk museum, The Expendables 2. Film dengan alur cerita dan tema sederhana. Hanya serbu dan serang ditambah balas dendam. Itu saja.

Film ini seperti yang gue duga, kurang banyak menarik perhatian banyak orang, setidaknya orang-orang di sekeliling. Mereka umumnya berujar bahwa film garapan Sylvester Stallone (Penulis skenario sekaligus tokoh utama) itu tidak lebih dari film yang gak jelas, brainless, pointless dan meaningless. Penuh dengan kekerasan, kata-kata kotor dan orang-orang slengean.

Apakah semua hal di dunia ini harus punya makna dan tingkat intelegensia yang tinggi? Well, ada saatnya kita hanya butuh hal sederhana dan jauh dari drama dalam menyelesaikan suatu masalah. Di film berdurasi lebih dari dua jam ini, kumpulan tentara bayaran ini menegaskan bahwa kekerasan kadang diperlukan untuk menghilangkan kejahatan di muka bumi.

Gak usahlah menilai terlalu kritis soal efek di film yang lebih mirip game di Playstation 3. Jangan bosan pula lihat jagoan-jagoan yang kalau nembak selalu kena, sementara mereka gak pernah kena tembak, jangan bosan juga lihat dialog-dialog yang kadang rada garing dan gak bermakna, dan sangat gak elok melihat Chuck Norris, Stallone, Arnold Schwarzenegger dan Bruce Willis beraksi bersama menghadapi musuh-musuh yang biasanya mampu mereka habisi sendiri dalam film-film mereka. Daripada sibuk mencela kekurangan dari segi plot maupun teknis film, lebih baik cermati dan kagumi saja ilmu beladiri Jason Statham dan tendangan-tendangan tae-kwondo khas Jean-Claude Van Damme, karena inilah yang memang layak ‘dijual’ dari film ini.

Di sini, semua persoalan diselesaikan bukan dengan dialog ataupun diskusi yang menguras emosi dan air mata. Disini, semua diselesaikan dengan peluru, pisau, kepalan tangan, tendangan, bantingan dan segala yang membuat badan manusia remuk. Inilah film action. Ini hanya untuk hiburan semata. 

Gue lantas berpikir jika tim pimpinan Barney Ross benar-benar ada, lalu mereka disewa oleh orang baik dan tajir Indonesia untuk memberi pelajaran bagi para koruptor disini. Mereka cocok sekali disewa untuk membantai para koruptor itu hingga ke akar-akarnya. Permasalahan di Indonesia rasanya sudah tidak bisa lagi diselesaikan dengan hukum yang berlaku, dengan para penegak hukum dan penuntut yang sudah terbawa korup. Para penjahat di sini memang harus dilenyapkan dari muka bumi.

Di sekuel selanjutnya, Stallone perlu mempertimbangkan untuk ambil lokasi di Indonesia.

Senin, 10 September 2012

Another Historical Day

Website Football Fandom
Hari yang sangat melelahkan. Emosi saya benar-benar diuji sejak perjalanan berangkat ke kantor di pagi hari. Jalan tembus yang biasanya seperti jalan melewati taman bunga, tiba-tiba berubah menjadi seperti jalanan penuh rintangan ke benteng Takeshi. Total dua jam perjalanan saya habiskan dari rumah ke kantor, yang biasanya kurang dari satu jam.

Sesampainya di kantor, sudah pasti langsung menggila. Menggila kerja. Ya, bertepatan hari ini, perusahaan tempat saya bekerja harus memenuhi panggilan sidang dari Pengadilan Pajak. Berhubung saya mengurusi pajak di kantor, jadilah saya kerepotan. Sebenarnya semuanya sudah siap sejak akhir minggu lalu, tapi tetap saja yang namanya suasana tegang dan takut ada dokumen yang terlupa membuat tingkat kesibukan pagi ini seperti bandara Heathrow saja.

Kembali mengendarai mobil, menemui macetnya Jakarta, lalu sidang, lalu kembali lagi ke kantor, baru sekarang ini saya bisa melemaskan otot dan otak. Hari yang melelahkan.

Tapi, hari yang melelahkan ini terbayar dengan tercapainya sebuah impian yang telah saya pendam sejak lama. Impian mempunyai website sepak bola sendiri. Akhirnya, saya bersama rekan-rekan dari Football Fandom, yang bahkan sebagian orangnya belum pernah saya temui di dunia nyata, meluncurkan www.footballfandom.net sebuah blog sepak bola yang juga menampung tulisan-tulisan sepak bola bagi siapa saja yang berminat. Tentu saja dimuat setelah melalui proses edit.

Setelah resmi menjalani trial bersama @bolatotal, saya resmi menjadi penulis Football Fandom (@FootballFandom1). Saya bergabung karena diajak oleh dua orang teman saya yang masih mahasiswa di kota Jogjakarta. Mereka adalah mahasiswa pandai, kritis, berpengetahuan luas dan tahu apa yang mereka lakukan. Mereka adalah prodigy. Seandainya saja saya memiliki kesadaran seperti mereka saat saya duduk di bangku kuliah dulu, mungkin ceritanya akan berbeda. Tapi ya, tidak ada istilah terlambat untuk passion, bukan?

Selanjutnya, Football Fandom berkolaborasi dengan sekelompok web designer yang tergabung dalam @Footballego. Bersama dua orang designer handal, blog kami menjadi sangat cantik dan variatif, dengan sentuhan infografik dan gambar-gambar digital yang informatif dan canggih. Tidak lupa, bergabung pula seorang penulis lagi yang merupakan seorang mania sepak bola Jerman. Lengkaplah tim kami.

Bersama merekalah obrolan-obrolan menjadi menarik. Ya, obrolan yang sanggup membuat saya terjaga semalaman hanyalah obrolan soal sepak bola. Semula, saya dianggap aneh oleh orang-orang sekeliling karena terlalu menggilai sepak bola, tapi ternyata setelah bertemu orang-orang ini, saya sadar bahwa banyak yang lebih gila daripada saya.

Sekarang saya senang karena hidup saya tidak lagi melulu kerja. Tidak lagi membosankan. Tidak lagi menjadi pekerja biasa yang hanya menunggu datangnya hari jumat dan manyun ketika senin tiba. Sekarang, semuanya menyenangkan. Entah bagaimana hasilnya, saya tidak peduli. Jika Anda sering mendengar istilah passion dan kebahagiaan, inilah arti dari kebahagiaan sederhana buat saya, disamping keluarga saya.  Merekalah keluarga lain saya. Mereka tidak pernah bilang saya aneh begitu saya mulai berbicara mengenai Mauritius, Yerevan, Guangzhou Evergrande, Anton Zingarevich, atau  The Beckham Law.

This is something that money can’t buy.

Rabu, 05 September 2012

That Historical Night


I’ll never forget that night. Last Friday, 31st August 2012 when I met those cool guys.

Singkat aja, gue ketemu sebagian besar orang yang sebelumnya hanya bisa gue jumpai di timeline twitter atau di tulisan-tulisan brilian mereka. 10 orang dengan passion sama dengan gue, passion pada sepak bola. Mereka membuat gue memahami sepak bola lebih baik, dari semula gue yang hanya sebagai suporter klub AC Milan.

Dulu, gue marah saat AC Milan dicela, kecewa berlebih saat AC Milan kalah. Sekarang gue jadi tau kalo sepak bola lebih dari itu, dan gak ada gunanya sama sekali bersikap segitunya terhadap klub sepak bola Eropa nun jauh disana, yang gak ada hubungan apapun dengan kita.

“Sepak bola itu universal, bukan hanya untuk satu atau dua kelompok.” Begitulah seharusnya.

Salah seorang dari mereka pernah berkata
“Sok bela-belain mereka, emang lo udah pernah nonton langsung di stadionnya?”
"Ribut amat ngebelain klub Eropa, udah gitu cuma bisa ribut di twitter."

Sangat menyenangkan saat sepak bola menyatukan orang dengan berbagai latar belakang. Kami berbeda usia, pekerjaan, style berpakaian, selera makan. Tapi saat berbicara sepak bola, kami sama.

Kami bukanlah kelompok suporter klub tertentu, kami bukanlah sekumpulan orang yang dengan konyol beradu fisik dan argumen tentang klub favorit kami di benua Eropa yang jauh disana.

Lebih jauh, kami bukanlah kelompok Jenggala ataupun Bakrie, bukan pro ISL atau IPL, bukan juga pro PSSI atau KPSI. Kami bebas kepentingan.
Kami bertemu bukan untuk saling bertukar keluhan, bukan untuk ngomongin bos, bukan untuk ngomongin pekerjaan, bukan untuk saling pamer gadget.


Kami bertemu hanya untuk membicarakan sepak bola. Kami hanya pecinta sepak bola.