Senin, 23 Juli 2012

Kita bahkan menyampingkan bulan suci ini

Setelah berbulan-bulan dan membiarkan ruang kebebasan ini berdebu, akhirnya saya kembali untuk mengisinya, dan menumpahkan sedikit pikiran saya kesini.

Sebagaimana ruang ini adalah ruang berekspresi, inilah tempat paling nyaman buat saya untuk mengemukakan segala hal yang tidak saya sukai dalam dunia ini. Hal-hal yang saya gak suka tapi sepertinya tidak ada yang bisa saya lakukan untuk mengubahnya.
Kali ini saya ingin menyorot soal bulan puasa. Bukan, bukan dari perspektif agama, banyak orang lain yang lebih paham mengenai itu.
Tapi benarkah di bulan ramadhan ini kita harus tetap berjibaku dalam kerasnya hidup sekeras 11 bulan lainnya? Saya pernah membaca bahwa di bulan suci ini kita sebaiknya melonggarkan pikiran duniawi, berhenti sejenak berjibaku mengejar dunia dan berkonsentrasi pada ibadah dan ibadah. Memohon ampunan dan berkah.
Sayangnya di dunia yang matrealistis ini hal itu sama sekali tidak dimungkinkan. Para perusahaan tempat kita bekerja paling-paling hanya memberi sedikit kelonggaran jam kerja setengah jam atau satu jam lebih awal. Beberapa perusahaan malah sama sekali gak ada spirit ramadhan karena mereka akan tetap bekerja lembur seperti biasanya. Dan beberapa orang malah menjadikan ramadhan sebagai ajang mengais rezeki, bukan meningkatkan ibadah. Fenomena-fenomena absurd juga terus terulang berupa banyaknya acara lawak siaran langsung pada saat sahur. Benarkah mereka sebenarnya memiliki selera untuk melucu dan berteriak-teriak di tengah malam saat orang dianjurkan untuk lebih mengencangkan ibadah? Oh tidak, uang telah membeli semuanya. Membayar semuanya.  Kapitalisme ini telah menggurita sedemikian superlatif. Dunia dipaksa berputar terus dengan kecepatan maksimum, membuat pelaku-pelakunya menjalani hari-hari penuh teror dan tekanan.
Kelezatan dari keuntungan dan segarnya guyuran uang memang telah lama membelenggu hati nurani kita dan mengaburkan makna dari bulan suci ini. Kebanyakan orang berpikir, bulan ini hanyalah bulan dimana kita tidak boleh makan dan minum di siang hari. Itu saja.
Mengapa kita tidak bisa melihat dunia pendidikan dan dunia olahraga? Mereka memiliki waktu liburan yang panjang setelah sepanjang tahun bekerja keras. Kompetisi Eropa memiliki hari libur selama 3 bulan di musim panas, dan sebulan di musim dingain. Dunia pendidikan juga seperti itu, mereka memberi libur panjang bagi siswa-siswa dan guru-guru mereka setelah sepanjang tahun berjibaku memajukan pendidikan. Mengapa industri-industri ini tidak mau mengikuti mereka?
Para pekerja hanya diberi jatah 12 hari cuti dalam setahun, itupun dengan berbagai syarat dan potongan-potongan. Mereka harus mengambil jatah cuti hanya untuk bisa pergi berlibur bersama keluarganya. Para pelaku industri ini tak ubahnya seperti mesin yang tidak boleh berhenti bekerja. Saya bukannya ingin melegitimasi bulan ini sebagai bulan untuk bermalas-malasan dan tidak bekerja. Namun tidak bisakah setidaknya kita mengerem diri dan tidak memaksakan diri bekerja hingga larut malam bahkan hingga keesokan harinya? Bukan maksud saya ingin menganjurkan untuk memasang jangkar supaya kita berhenti total, tapi setidaknya bisakah kita mengurangi kecepatan?
Anda mungkin menilai saya orang yang malas dan banyak protes karena menuliskan hal ini. Terserah, ini dunia yang bebas, termasuk bebas berpendapat. Anda juga boleh menilai saya orang yang tidak ikhlas, tapi coba bayangkan betapa lebih bermaknanya hidup ini jika semuanya tidak sekedar dinilai dari materi. Islam sebenarnya telah memberikan bulan ramadhan untuk kita berhenti sejenak dari rutinitas. Berhenti sejenak untuk beribadah kepadaNya setelah nyaris sepanjang tahun kita sering menepikanNya disamping urusan-urusan duniawi kita. Haruskan bulan suci ini kembali kita perlakukan sama seperti bulan lainnya? Sebagai penutup, saya ingin mengutip satu bait lirik dari lagu band favorit saya, Padi. "Bukankah hidup ada perhentian, tak harus kencang terus berlari."