Jumat, 20 September 2013

Galau Sehat

Di tahun 90an, bahkan 2000an, kosakata ‘galau’ jarang digunakan. Kata tersebut baru muncul dua tahun kebelakang setelah banyak anak-anak muda menggunakannya. Remaja galau adalah potret anak muda masa kini. Percepatan pendewasaan yang mereka dapati dari tayangan televisi yang menyajikan acara-acara percintaan dewasa dan lagu-lagu yang juga bertemakan cinta memang membuat adik-adik kita ini cepat terserang virus galau.

Galau itu manusiawi, karena manusia memang mudah sekali merasa tidak nyaman jika terjebak pada situasi yang tidak diinginkan. Bedanya, sekarang lagi musimnya galau itu diekspresikan dengan sebebas-bebasnya. Tapi gak ada salahnya jika kegalauan hati disalurkan untuk menciptakan hal positif. Contoh galau paling keren yang pernah saya dengar adalah kegalauan Dave Mustaine. Pentolan band metal Megadeth ini sempat menjadi anggota band metal lainnya, Metallica. Mustaine didepak karena masalah kecanduan alkohol, hal yang sangat memukulnya.

"Too bad they couldn't see this lethal energy
and now the final scene, a global darkening" 

Begitulah potongan lirik lagu Set World Afire dalam album So Far, So Good.... So What! yang ditulis Mustaine pada hari ia dipecat. "No warning, no second chance."  Demikian dia menggambarkannya.
Mustaine boleh jadi galau, tapi apa yang ia lakukan? Ia membentuk Megadeth. Sama-sama keras, metal dan brutal. Banyak pengamat bilang jika dari musikalitas, Megadeth jelas diatas Metallica meski secara penjualan album dan ketenaran, Metallica masih di atas Megadeth. Tapi tetap saja hal itu menunjukkan bahwa Mustaine telah melalui fase negatif dalam hidupnya dengan sukses. Ia membuktikan diri bahwa ia mampu melangkah maju dengan kemauan keras.


Nah, Dave Mustaine galau menghasilkan Megadeth, kalo lo menghasilkan apa? :)

Senin, 09 September 2013

The Thirteen Blues

Kecelakaan lalu lintas adalah salah satu pembunuh manusia yang paling kejam. Ia tidak pilih-pilih korban, tidak mengenal waktu. Ia bisa membunuh, membuat cacat atau sekadar melukai. Datangnya juga tidak diduga. Kapan dan dimana saja. Bisa tengah malam, bisa pula pagi-pagi buta, di jalan tol atau di gang dekat rumah. Benar-benar predator lengkap.

Dari Vivanews, Polri mengklaim jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas sepanjang tahun 2012 mencapai 25 ribu orang. Sementara saat mudik lebaran, jumlah korban meninggal dunia mencapai lebih dari 500 jiwa. Itupun yang tercatat.

Saya tidak pernah tertarik menyaksikan berita kecelakaan, atau mengerubungi korban kecelakaan di jalan hanya untuk memotretnya (bukannya membantu) lalu membuat macet jalan. Namun berita kecelakaan yang dialami Dul, anak bungsu Ahmad Dhani yang kini menjadi isu nasional ini beda cerita.

Sebagai pengguna jalan yang juga sering menyetir kendaraan, saya tidak mau ikut-ikutan arus pem-bully-an dan penghujatan massal. Serahkan saja pada ahlinya lah. Toh hal ini bisa terjadi pada siapapun. Tidak hanya anak berusia 13 tahun saja yang bisa mengalaminya, seorang yang telah berpuluh-puluh tahun mengemudi saja bisa celaka. Mau analoginya dibalik juga bisa, tapi tetap sama saja. Dengan kata lain, saya lebih melihatnya sebagai musibah.

Namun yang menjadi pelajaran adalah Dul yang notabene baru berusia 13 tahun sudah dibolehkan mengemudi. Dan tragisnya lagi, kecelakaan yang menimpanya merenggut nyawa 6 orang yang kesemuanya adalah pekerja dan tulang punggung keluarga. Tapi kembali lagi, tujuan saya menuliskan ini bukan untuk menghujat. Saya juga punya anak laki yang masih kecil, yang bukan tidak mungkin 12 tahun kemudian ia punya pacar dan merengek minta dibelikan mobil.

Di era berikutnya nanti, entah di umur berapa seorang anak merasa butuh untuk punya pacar. Sebagai perbandingan, di usia 13 tahun dulu, yang saya pikirkan sehari-hari adalah sepak bola dan (sedikit) pelajaran di sekolah. Tidak ada gejolak berlebih memikirkan wanita, tidak pula berkeinginan untuk mengemudikan mobil.

Memang tidak bisa dibandingkan anak-anak era dua dekade lalu dengan anak-anak sekarang. Anak-anak sekarang sepertinya terlalu cepat dewasa. Mereka mengunyah banyak hal sebelum waktunya. Kebanyakan makan junk food? Kebanyakan nonton sinetron? Kebanyakan nongkrong di minimarket? Kebanyakan dengerin lagu mellow? You tell me.

Kasus Dul ini cocok dijadikan potret kelam generasi muda. Meski tidak semua anak memiliki fasilitas seperti Dul, namun saya sudah berkali-kali mendengar kisah pilu terjadinya kecelakaan akibat perilaku anak dibawah umur yang ugal-ugalan. Saya tidak ingat persis, tapi rasanya pernah ada kejadian serupa, yang karena kebetulan pelakunya bukan pesohor saja maka cepat dilupakan.

Jelas bukan tanpa alasan mengapa polisi baru mengeluarkan SIM untuk anak berusia diatas 17. Hal ini semestinya benar-benar dijalankan dengan penuh kesadaran, bukan sekadar slogan. Orang tua tentu harus mengawasi dengan baik perilaku anak-anaknya, jangan biarkan mereka menyetir kendaraan, entah mobil atau motor.

Thirteen blues ini memang saya gunakan untuk menggambarkan secara umum gejolak usia pra-dewasa. Usia seperti ini memang rawan dan sedang ingin-inginnya mencoba banyak hal. Dan kebanyakan teman yang saya kenal, sekali mereka mencoba (misalnya rokok) pada usia ini, maka akan berkembang menjadi kebiasaan. Yah, yang namanya udah kebiasaan, transformasi selanjutnya adalah pembenaran. Meski kita sudah tahu hal itu salah, tapi kalau dilakukan berulang-ulang toh akan menjadi kebenaran.


Semoga kita selalu bisa mendampingi anak di usia krusial mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan so called pacar. Dan semoga anak-anak kita tumbuh sebagai anak penurut dan tidak macam-macam. Yang sudah terjadi ya sudahlah. Semoga cepat sembuh dan cepat ngeband lagi, Dul. Dan semoga keluarga korban mendapat santunan yang pantas.

Minggu, 01 September 2013

Pledoi Generasi Nunduk

Dear para Om dan para Tante yang kami hormati,

Kami tahu kalian sering mencela generasi kami. Generasi nunduk, alias generasi yang sering menundukkan kepala kearah layar sentuh ponsel sejak dini. Ya, mau bagaimana lagi? Kami memang sejak SD sudah memiliki ponsel cerdas karena benda ini tidak ubahnya gamewatch atau tamagotchi di era kalian. Semua teman kami punya benda itu.

Bukan salah kami kalau lebih senang menghabiskan waktu didepan layar ponsel ketimbang memainkan permainan tradisional seperti kelereng, congklak atau dampu. Bukannya tidak ingin, tapi memang sudah tidak ada lagi yang memainkannya. Masa iya harus bermain sendiri? Mau dibilang apa?

Kalian mencela kami yang kecil-kecil sudah menyanyikan lagu cinta-cintaan, padahal kami tidak mengerti apa itu cinta, toh tidur sendirian saja kami masih tidak berani. Mau bagaimana lagi? Zaman om dan tante kecil, acara khusus anak-anak di televisi sangat banyak. Begitu pula lagu anak-anak dengan lirik yang juga. anak-anak seperti 'si lumba-lumba' atau 'si nyamuk nakal'. Dulu ada om Papa T. Bob, sekarang tidak ada lagi yang mau membuatkan lagu anak-anak lagi buat kami sepertinya. Sekarang, kami disuguhi acara musik pagi dengan gerakan nasional cuci jemur. Ah rasanya semua pihak inginnya kami lebih cepat dewasa, jadilah kami dijejali soal cinta-cintaan sejak kecil. Apakah itu juga salah kami?

Tidak ketinggalan, kalian juga mencela pilihan klub sepakbola favorit kami. Apakah salah jika kami begitu mengidolai Lionel Messi dan Barcelona atau Cristiano Ronaldo dan Real Madrid dan bukannya Johan Cruyff atau Zico? Iya, hanya dua klub itu yang kami tahu di liga Spanyol, sisanya kami hanya menonton liga Inggris. Apakah salah kami jika menyukai Manchester biru, bukannya yang merah? Tolong diingat, kami masih belajar membaca ketika Ole Gunnar Solksjaer yang katanya bermuka bayi itu mencetak gol kemenangan di final tak terlupakan itu. Sekarang, media banyak mengenalkan kami pada Chelsea dan Mancheser City, apakah ini juga salah kami?

Kami sadar jika kami tidak menonton Mtv dengan VJ mereka yang keren, tidak familiar dengan musik grunge dan alternative yang asik itu. Yang kami tahu hanyalah musik-musik seragam itu-itu saja. Studio band sudah sulit kami temui untuk berlatih, pada akhirnya kami berpikir buat apa capek-capek menguasai alat musik padahal dengan modal joget dan lipsync udah banyak yang suka, produser kami juga suka. Alasannya 'mengikuti pasar'. Kami heran juga sih, media kan punya pengaruh besar. Mereka seharusnya bisa membentuk pasar dong, tidak hanya mengikutinya demi rating semata.

Kami juga tidak menyukai era ini, om dan tante. Semakin konsumtif dan tidak terkendali, semakin ngawur dalam ekspresi. Kami krisis identitas, dan makin sulit mencari panutan. Tapi mau bagaimana lagi? Banyak acara yang makin tidak mendidik, akses informasi juga makin tak terbatas, malah jadinya kebablasan. Om dan tante boleh bilang kami diuntungkan dengan adanya internet dan mbah gugel, tapi ya om dan tante tau sendiri kan, membuka internet itu bisa saja membuka kotak pandora jika kami tidak mampu menyaring informasi. Dan orang tua kami tidak bisa lagi mengawasi karena akses tersebut ada di tangan kami, yaitu smartphone itu tadi.

Kami juga seperti om dan tante, bermain social media. Kami bingung. Berkespresi penuh layaknya remaja, kami dibilang alay. Tapi mau coba ngomongin hal berat, dibilang sok tua. Memang kami kadang berlebihan, segala hal kami tumpahkan di socmed. Kami suka lupa kalau kami berteman dengan om dan tante kami, yang dengan kata lain, mereka ikut mengawasi kami. EYD juga kami abaikan, huruf dan angka kami gabungkan dalam satu kalimat. Maafkan kami yang telah merusak tata bahasa. Duh. Sulit bagi kami menentukan siapa yang harus kami follow di twitter. Seperti ada dua kubu besar dan mereka saling serang. Kami harus pilih yang mana? Pengetahuan kami hanya sebatas buku pelajaran, jangan samakan dengan om dan tante yang sudah makan asam garam kehidupan. Akhirnya kami cuma bisa ngetwit "folbek dong kaka".

Maafkan kami ya om dan tante, sepertinya kami butuh bantuan tapi terlalu gengsi ngomongnya. Di pergaulan kami, cuma ada istilah 'woles' atau 'move on' atas segala persoalan, padahal ternyata gak sesederhana itu.

Harapan kami sih semoga tontonan televisi makin berkualitas sehingga kami bisa pintar seperti om dan tante. Bisa punya cerita menarik seperti om-om dan tante-tante yang besar di era 90an. Kami juga tidak mau terlalu cepat dewasa karena masa kanak-kanak ya memang masa bermain yang tak akan terulang. Kami juga capek dengan kurikulum pendidikan yang berubah terus, dikira kami kelinci percobaan? Kami ingin jam sekolah hanya sampai siang saja supaya ada waktu buat kami bermain dan mengerjakan hobi. Ya masa sih sekolah cuma ngejar prestasi akademik aja? Ya gak om? Ya gak tante?

Yaudah deh om dan tante, henpon udah bunyi terus nih, teman-teman ngajak nongkrong di minimarket deket rumah. Kalo gak ikutan, saya bisa gak punya teman deh. Dibilang kuper deh. See you!