Kamis, 30 Mei 2013

Andrew Carnegie

Dalam sejarah negara Amerika Serikat, ada istilah “The Man Who Built America” merujuk pada industrialis yang kemudian memimpin negeri ini menjadi negeri superpower. Para industrialis ini dinilai mewariskan etos kerja, keterampilan dan tentunya pembangunan infrastruktur yang kelak menjadikan negeri ini makmur.

Terlebih, kisah hidup para industrialis ini juga menjadi inspirasi bagi generasi muda setelahnya, bahwa negeri ini mengijinkan orang untuk bermimpi. Siapapun bisa mencapai tujuannya tergantung seberapa besar impiannya dan seberapa keras ia mau bekerja untuk mewujudkannya.

Dianggap sebagai “The American Builder”, Andrew Carnegie bukanlah berasal dari keluarga kaya. Ia juga memulai bisnisnya dari bawah. Carnegie adalah seorang imigran asal Skotlandia kelahiran Dunfermline tahun 1835. Ia pindah ke Amerika Serikat di usianya yang ke-13 bersama kedua orang tuanya, William dan Margaret Carnegie ke negara bagian Pensylvania, tepatnya kota Allegheny.

Sepindahnya ke Pennsylvania, Carnegie bekerja di pabrik tenun untuk mendukung kehidupan keluarganya. Tidak hanya bekerja, Carnegie adalah seorang … kutu buku. Kegemarannya dalam membaca difasilitasi oleh Colonel James Anderson, perwira tinggi tentara yang tinggal kota Allegheny. Sang kolonel membuka perpustakaan umum untuk pekerja lokal setiap hari sabtu dimana Carnegie menghabiskan banyak waktu disana, bahkan meminjam banyak buku untuk dibacanya dirumah.

Buku-buku inilah yang membedakan Carnegie dengan pekerja-pekerja lainnya. Bukan hanya rajin, ia juga cerdas dan berwawasan luas berkat kegemarannya akan bacaan. Kelak, kegemarannya dalam membaca membentuknya menjadi penulis handal. Ia kemudian berpindah-pindah pekerjaan, dari menjadi kurir hingga operator telegraf. Karirnya kemudian melesat hingga ia meraih posisi superintendent di Western Division dari Pennsylvania Railroad, perusahaan jalur kereta api.

Carnegie memiliki cita-cita sebagai seorang pengusaha, sesuatu yang terdengar terlalu muluk-muluk pada era itu di kalangan pekerja seperti dirinya. Saat masih bekerja di perusahaan kereta api, Carnegie merintis usahanya sendiri juga di bidang perkeretaapian. Ia membuat jalan kereta api baru, kereta api dengan tempat tidur, hingga membuat jembatan dan lokomotif sendiri. Setelah usahanya mulai stabil dan menuntut waktunya lebih banyak, ia mengundurkan diri dari pekerjaannya.

Usaha baja Carnegie berkembang pesat. Perusahaan Carnegie Steel menjadi perusahaan baja terbesar di seluruh Amerika Serikat. Produksi baja yang Carnegie lakukan sejalan dengan pembangunan besar-besaran yang sedang gencar dilakukan oleh Amerika Serikat sehingga permintaan pada baja sangat tinggi.

Carnegie terus melakukan ekspansi usahanya dengan membeli perusahaan-perusahaan sejenis yang menjadi kompetitornya. Ia ingin menjadi pengusaha tunggal dari baja, melakukan monopoli atas komoditas ini. Cara-caranya dalam menggapai kesuksesan juga tidak melulu ia lalui dengan kerja keras semata, tapi juga kekejaman. Misalnya, ia memotong upah buruh, sesuatu yang kelak disesalinya di masa tua.

Carnegie Steel mendapat ujian terbesar dari seorang pebisnis minyak bernama John D. Rockefeller. Rockefeller adalah seorang industrialis ambisius seperti halnya Carnegie. Dengan penguasaannya pada minyak, Rockefeller merasa belum cukup. Ia kemudian mencoba memasuki dunia Carnegie, yaitu baja. Carnegie semula mengacuhkan keberadaan Rockefeller pada industri yang ia kuasai, karena menganggap Rockefeller tidak tahu menahu soal baja, seperti dirinya.

Carnegie salah. Rockefeller telah menemukan tambang baja baru di wilayah Minessota, tambang yang sebenarnya sudah diketahui oleh Carnegie, namun Carnegie menganggap tambang tersebut tidak potensial karena sulit diolah. Rockefeller tetap melanjutkan penambangan di Minessota, seraya terus mencari cara untuk mengolah sumber tersebut. Dan bisa ditebak, Rockefeller sukses.

Kesuksesan pengolahan itu membuat perusahaan baja tandingan Rockefeller berkibar. Dengan mematok harga yang lebih murah, Rockefeller membuat pelanggan Carnegie beralih padanya. Akibatnya, kinerja perusahaan Carnegie mengalami kemunduran signifikan. Carnegie merasa cukup dengan semua ini, ia lalu menemui Rockefeller. Tujuannya, jelas ingin mempertahankan kekayaannya dengan cara membeli perusahaan Rockefeller.

Setelah bernegosiasi dengan alot, Rockefeller akhirnya menerima tawaran Carnegie. Carnegie sadar bahwa hal ini memang harus dilakukan demi menjaga kelangsungan usahanya dan monopoli bajanya, meski konsekuensinya ia harus menyetor uang banyak pada seterunya.

Carnegie steel kemudian terus berkembang, sebelum datang lagi pengusaha kaya lainnya bernama J.P. Morgan. Morgan adalah seorang pengusaha listrik dan jaringan kerata api yang mencakup seluruh negeri. Dengan ambisinya yang besar, ia tidak ingin membuat perusahaan untuk menjadi kompetitor Carnegie, melainkan ia akan membeli Carnegie Steel.

Morgan melakukan pendekatan intens kepada tangan kanan Carnegie, Charles Schwab. Ia menjanjikan Schwab sebuah posisi yang tidak dapat ditolaknya, yaitu pimpinan perusahaan. Syaratnya, ia harus membantu Morgan dalam menggolkan pembelian Carnegie Steel. Morgan meminta Schwaab menanyakan pada Carnegie, berapa harga Carnegie Steel jika Morgan ingin membelinya.

Carnegie awalnya berat untuk melepas Carnegie Steel pada Morgan, meski pada akhirnya ia memang merasa inilah saatnya untuk berhenti. Inilah saat Carnegie untuk menikmati masa-masa kejayaannya dengan uang hasil penjualan perusahaannya. Akhirnya, pada tahun 1901 Carnegie memberikan angka pada Morgan sebesar 480 juta US$ (sekarang sekitar 13 miliar juta US$) yang kemudian disetujui oleh Morgan. Dengan deal ini, Carnegie praktis menjadi orang terkaya di dunia. Setelah dibeli Morgan, Carnegie Steel kemudian berganti nama menjadi US Steel.

Sejak Carnegie Steel menduduki puncak, Carnegie menyadari bahwa ia telah terlalu banyak mengambil dan terlalu sedikit memberi. Ia juga menyesali keputusannya dalam menekan upah buruh hanya demi kemajuan perusahaan bajanya. Penyesalan ini tidak terlambat, karena setelah penjualan Carnegie Steel, Carnegie berkonsentrasi penuh pada kegiatan filantropi, atau kegiatan menyumbangkan kekayaan pribadi demi kepentingan banyak.

Sebagai salah seorang pelopor filantropi era modern, Carnegie menyumbangkan hampir separuh kekayaannya senilai 350 juta US$ (sekarang sekitar 4.8 miliar US$) dalam bentuk perpustakaan, tempat yang disukai Carnegie sejak kecil. Carnegie juga membangun sekolah, balai pertemuan, dan bangunan-bangunan bermanfaat lainnya. Tidak hanya kepada Amerika Serikat, Carnegie juga membangun perpustakaan di berbagai negara berbahasa Inggris di dunia, termasuk tanah kelahirannya, Skotlandia.  

Warisan Carnegie memang besar dalam mencerdaskan bangsa lewat sumbangan perpustakaan, sekolah, maupun bangunan-bangunan lain yang penting bagi komunitas. Namun lebih dari itu, bangsa Amerika Serikat menganggap Carnegie berjasa dalam membangun Amerika Serikat hingga menjadi negara superpower dengan kemajuan industri yang pesat. Sebagai salah satu industrialis  dengan komoditi baja, ia telah membangun sebuah perusahaan raksasa yang menyambung hidup orang banyak dan memajukan bangsanya.

Ia telah mewakili spirit American Dream bagi generasi-generasi muda setelahnya bahwa semua berawal dari mimpi. Carnegie yang bukan dari keluarga kaya terbukti dapat menjadi miliuner dengan menggabungkan mimpi dan kerja kerasnya.

Setidaknya, begitulah kata orang-orang Amerika.