Senin, 30 Januari 2017

Dilarang Gondrong

Aku melangkah dengan malas sehabis bercermin. Tidak ada yang salah, hanya saja rambutku sudah terlalu panjang untuk ukuran seorang pekerja kantoran yang sehari-hari bekerja di gedung pencakar langit yang diisi orang-orang rapi.

Ini berarti, aku harus pergi ke tukang cukur rambut. Oh iya, rasanya sudah tiga bulan aku tidak mencukur rambutku. Bagi pria, terang saja menimbulkan efek semigondrong dan kesan urakan. Jenis yang tidak diinginkan di kebanyakan dunia korporasi. Tidak mengapa kamu bekerja dengan performa buruk asalkan rambutmu tertata rapi dan pendek. Jika rambutmu panjang, maka menyalahkanmu akan semakin gampang. 'Kamu terlalu banyak bersolek, jadinya lupa dengan tenggat waktu.' Atau kalimat seperti 'Poni rambutmu menghalangi pandangan ke kertas kerja.'

Aku memang lebih suka memanjangkan rambut. Itu sudah sejak lama. Aku tidak tahu persis alasannya. Jika dibilang banyak musisi rock--yang notabene genre favoritku-- berambut gondrong, ternyata tidak juga. Contohnya James Hetfield, si vokalis band Metallica, sekarang lebih sering tampil dengan rambut pendek. Jadi, perkara memanjangkan rambut betul-betul preferensi pribadi bagiku, dan itu sifatnya sangat subjektif.

Aku melangkah dengan malas menuju tempat pangkas rambut. Di sana, si Mamang yang asli dari Garut bertanya padaku soal rambutku mau dipotong model apa. Aku jelas tidak menyukai model kekinian--yang tipis di pinggir tapi dibelah pinggir di tengah, plus diberi pomade atau gel--makanya aku bilang padanya untuk merapikan saja rambutku.

Sampai tiga kali kuingat ia bertanya "Mau ditipisin lagi apa nggak, Mas?" dan tiga kali pula aku menjawab tegas dengan kata "Tidak!" Mungkin ia sengaja bertanya berulang kali untuk menggoyahkan pendirianku yang menolak potongan rambut model kekinian. Si Mamang mungkin sebal dengan orang seperti diriku. Jika saja semua orang berpikiran sepertiku, rasanya permintaan akan tenaga tukang cukur rambut akan sedikit. Dan karena faktor ini pula lah, aku tidak memiliki tukang cukur favorit. Bagiku, tempat pangkas rambut mungkin sama saja ngerinya dengan tempat praktik dokter gigi bagi anak kecil.

Entah kapan aku bisa berada di lingkungan kerja yang tidak mempermasalahkan potongan rambut. Kali terakhir aku membiarkan rambutku gondrong adalah saat di bangku kuliah, dan hingga saat ini momen itu belum lagi terulang. Yeah, memang agak aneh bagi orang-orang yang bekerja di bidang keuangan sepertiku untuk memanjangkan rambut, seolah di kantor selalu ada papan tak terlihat bertuliskan "Dilarang Gondrong!"

Senin, 09 Januari 2017

Tidak Semua Public Enemy Patut Dibenci

Di mana saja kita berkecimpung dengan sesama makhluk hidup bernama manusia, hampir pasti kita akan menemukan sosok yang tidak disukai orang-orang, atau biasa kita sebut dengan istilah si public enemy. Sebabnya pun macam-macam, dari yang objektif dan prinsipil hingga ke hal-hal kecil yang biasanya sangat subjektif. 

Lalu, apakah kita lantas harus ikut-ikutan membenci dia?

Biasanya, si public enemy ini memiliki kelakuan yang berbeda dari yang lain, dan cenderung negatif. Bisa jadi, ia suka berbohong, suka mencuri, suka menghina orang lain, suka minjem duit (tapi gak suka bayar), suka marah-marahin orang di tempat umum, suka pamer, narsis akut, kasar, cabul, pelit, rakus dan berbagai perilaku sejenis yang bersinggungan dengan perilaku seorang kriminal atau pengidap gangguan kejiwaan berskala rendah hingga menengah. Kalau memang seseorang dibenci karena hal-hal seperti itu, ya wajar saja jika kita ikut berhati-hati. 

Tapi di lingkungan sekitar yang kerap saya temukan, tidak jarang sosok public enemy ini hadir hanya karena opini subjektif dari beberapa orang yang kemudian diikuti secara berjamaah. Hanya karena dia beda, maka dia tidak disukai. Opini ini kemudian mengalami eskalasi ke tahap bully hingga kemudian terdoktrinlah hal-hal jelek tentang si public enemy ini di kepala orang-orang lalu kemudian kita akan berperilaku tidak adil kepadanya. Imbasnya, makhluk malang ini akan dikucilkan. Tidak ada yang mau mengajaknya makan siang, minum kopi bersama atau pergi ke acara-acara sosial lain.

Sayangnya, tidak semua opini subjektif tentang si public enemy ini benar adanya. Terjadilah fenomena knee-jerk  reaction. Orang-orang kemudian latah ikut-ikutan membenci padahal ia kenal baik dengan orang ini, atau tidak melihatnya dari sisi yang berbeda.

Mungkin memang sudah sifat dasar manusia untuk melepas kacamata objektifnya ketika sudah terlanjur dipengaruhi opini orang lain. Katakanlah seseorang menjadi public enemy gara-gara ia terkenal pelit, maka kemungkinan besar, si pemberi opini itu akan mulai mengamati kebiasaan-kebiasaan lain dari si public enemy untuk memberi bahan bakar bully. Contoh lain, misalnya ada seseorang yang tidak disukai di dunia kerja karena hasil kerjanya memang kurang bagus. Yang biasanya terjadi, si korban bakal dikomentari hal-hal tidak ada hubungannya dengan kinerja profesionalnya sebagai pekerja. Seolah-olah, sosok yang dibenci ini harus memiliki atribut lengkap untuk semakin dibenci dan dikucilkan, dan seolah-olah si pemberi opini ini adalah sosok panutan nan sempurna tiada banding.

Dari pengalaman saya sih, kenyataannya tidak semua public enemy itu betul-betul patut dibenci dan dijauhi. Mengapa kita tidak mencoba menilai orang secara menyeluruh, bukan hanya dari satu-dua tindak-tanduk yang diperlihatkannya. Apa yang ditunjukkan orang dalam keseharian di tempatnya bekerja atau bersekolah, biasanya tidaklah mencerminkan kehidupan seseorang yang sebetulnya. Setiap orang punya rahasia dan cerita hidup masing-masing yang tidak semua orang tahu, dan siapa tahu cerita itulah yang kemudian membentuk perilakunya sekarang. 

Manusia memang sosok yang kompleks, dan sayangnya tidak semua orang mau menyelami kompleksitas itu. Kebanyakan dari kita memilih menjadi pribadi yang malas melakukan verifikasi dan malas meneliti. Kita memilih cari aman dan mengikuti suara mayoritas, mengikuti kata si anu atau si itu, yang belum tentu kredibel. 

Siapalah kita ini yang merasa berhak membenci orang lain, padahal kita tidak terlalu kenal dengannya dan tidak tahu cerita hidupnya. Siapalah kita yang penuh dosa ini untuk menghakimi orang lain tanpa dasar, padahal siapa tahu di kemudian hari orang yang kita benci itu tahu-tahu menjadi penolong kita di saat kita butuh pertolongan.