Selasa, 25 Oktober 2016

Surat Terbuka Dari Si Rendah Diri

Halo,
Pertama-tama, untuk kalian yang selalu percaya pada kemampuanku, terima kasih. Terima kasih banyak.

Dalam hidupku yang masih singkat ini, mainku yang kurang jauh, cerita hidupku yang datar dan catatan akademis dan prestasiku yang jauh dari kata membanggakan, aku kaget dan cenderung takjub jika kalian masih mempercayaiku.

Kalian percaya bahwa aku seharusnya mampu melakukan lebih dari yang sekarang kulakukan, dan karenanya, aku akan mampu meraih lebih daripada yang kupunya sekarang.

Kalian mungkin melihatku sebagai sosok yang tegar, tekun, tidak macam-macam, dan bekerja keras. Kalian juga tidak pernah membaca postingan keluhan dariku di media sosial. Kalian menganggapku cukup kuat untuk menghadapi masalah, atau setidaknya, cukup bebal.

Tapi masalahnya, di situlah kalian salah. Aku bukanlah orang kuat. Aku hanya mencoba terlihat kuat, terlebih di depan keluargaku. Sebagai kepala keluarga, aku mencoba menampilkan yang baik-baik saja. Aku juga mencoba terlihat bersemangat di depan atasan dan rekan kerjaku, hingga mereka percaya bahwa aku memiliki semangat kerja yang tinggi dan aku tidaklah mengecewakan.

Separuh hidup kujalani dengan ketakutan. Awalnya takut akan ketidakcukupan materi, lama kelamaan takut tidak bisa membantu orang tua dan tidak mampu mencukupi kebutuhan anak. Jadilah aku bekerja di bidang yang sebetulnya tidak terlalu kunikmati.

Tapi kalian senang. Senang dengan pencapaianku, dengan progresi yang kuhasilkan, dengan cicilan-cicilan riba yang kubayar pelan-pelan. Senang bahwa aku duduk nyaman sebagai anggota kelas menengah (ngehe). Tidak ambil pusing tentang apa yang kualami sebetulnya.

Setiap hari, ada saja pengencang saraf di kepalaku. Kudengar ada tekanan, paksaan, intimidasi. Ada tenggat waktu yang harus dijaga, ada kerjasama tim yang harus dilakukan. Ada konsekuensi berat jika aku tidak melakukan pekerjaanku dengan baik.

Suatu kali, seorang rekan kerja menghela nafas panjang. "Hidup itu sulit ya," ujarnya. Aku hanya mengangguk tanpa bisa menjawab. Itu pernyataan retoris, bung. Ya iyalah, apanya yang gak sulit jika kamu memilih menjadi sekrup kecil untuk sebuah mesin yang besar. Sekrup yang dipakai hingga aus, lalu akan diganti dengan mudahnya saat kau tidak lagi berdaya guna.

Aku tidak mau bilang kalau aku mengambil jalan yang salah. Aku justru bersyukur bahwa jalan ini telah membawaku kepada hal-hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Hanya saja, aku merasa terpenjara. Bahwa dalam menjalani hidup ini, aku terlalu memikirkan orang lain. Terlalu mendengarkan orang lain. Aku tidak pernah mendengarkan diriku sendiri.

Dalam situasi yang tidak normal, misalnya ketika aku menghadapi masalah di pekerjaan, atau ketika aku melakukan kesalahan, atau ketika menghadapi kesewenangan para penghuni puncak piramida di korporasi, perasaan tidak enak hati ini seperti berlipat ganda. Selain tersiksa karena masalah pekerjaan itu sendiri, aku juga menderita karena masalah ini semestinya bukan masalahku, karena toh ini bukanlah pekerjaan pilihanku. Kalau dianalogikan, ini seperti datang ke acara kumpul-kumpul basa-basi ke rumah saudara, udah gitu pulangnya kena macet parah.

Lihatlah jiwa yang tidak merdeka ini.

Aku menyadari sepenuhnya, bahwa di mana pun kita bekerja, tidak ada tuh merdeka. Kalau kita membuat perusahaan start-up, ada kebutuhan pelanggan yang harus kita puaskan. Jika jadi penulis, ada editor dan pihak penerbit yang harus diikuti aturan mainnya. Kalaupun kita mempunyai penerbit sendiri, sudah pasti ada kewajiban yang harus kita penuhi, yaitu menggaji karyawan. Bahkan, jika kita memilih untuk berjualan bakso atau bubur ayam di pinggir jalan, ada kepuasan pelanggan yang harus kita perhatikan.

Artinya, tetap saja ada kebebasan yang tergadai selama kita masih ingin tinggal di kota, ingin makan enak, ingin sekolah yang terbaik untuk anak, ingin mobil yang nyaman, ingin rumah yang nyaman. Aku tahu, jika bebas, pergi sajalah ke hutan, dan hiduplah di sana dengan mengandalkan hasil hutan.

Jangan menduduh dulu bahwa pikiranku sudah sampai ke sana. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana kita bisa sedikit memuaskan jiwa. Aktualisasi diri yang membuat hasil kerja kita lebih optimal. Hasil kerja yang memang datang dari hati, bukan karena terdesak.

Apakah setidaknya aku bisa mendapatkannya?