Senin, 31 Desember 2012

Secuplik rasa syukur di 2012


Posting akhir tahun ini saya buka dengan salah satu scene dalam film dokumenter Being Liverpool. Iya, Liverpool yang itu. Disana ada perkataan singkat dari Brendan Rodgers, bos baru mereka.

“If you wanna be success, you have to be confident. And if you wanna be confident, you have to be happy.”

Sebaris kalimat Rodgers tadi, sayangnya banyak yang diputar-putar oleh banyak orang, sehingga artinya berbeda jauh. Lihatlah contoh ini:

“If you wanna be happy, you have to be confident. And if you wanna be confident, you have to be success.”

Pola sama, kata-kata sama, namun peletakannya dibalik-balik. Artinya sangat berbeda.

Saya mungkin bisa murtad menjadi fans Liverpool jika saat melihat tayangan dan perkataan-perkataan inspiratif itu dari sang bos yang musim lalu melatih Swansea City itu. Buat saya, itu adalah kalimat tahun ini. Kalimat paling inspiratif yang pernah saya dengar.

Saya mungkin sudah sering membaca buku-buku mengenai passion, juga acara-acara talkshow yang menghadirkan Mario Teguh, namun tidak ada satupun kata-kata yang seampuh ucapan Rodgers tadi. Ucapan itu benar-benar bermakna dalam, merangkum dan mencakup segala hal, dan tentunya memiliki punchline yang sangat ampuh.

Apa yang dikatakan Rodgers tadi adalah salah satu kunci dari hidup ini, yaitu kebahagiaan yang akan mendorong kita kepada kesuksesan, bukan sebaliknya. Jika kita berbahagia dalam mengerjakan sesuatu, sukses yang erat kaitannya dengan materi adalah bonus. Namun kepuasan batin sudah pasti didapat.

Orang yang gak suka pada pekerjaannya sih bisa saja dia sukses, dan meraih materi. Tapi apakah hatinya bahagia? Belum tentu. Lagipula, apakah orang itu sudah pasti sukses? Belum tentu juga kan. Udah sukses materi gak didapat, sukses batin juga gak dapat. What a waste!

Kalo kata Frank Sinatra:

“For what is a man, what has he got? If not himself then he has naught.”

Seorang laki-laki adalah yang hidup dengan prinsipnya. Jika tidak, maka ia tersia-sia.

***

Dan di tahun 2012, saya bisa dengan tegas katakan bahwa saya bahagia. Saya bisa mencapai banyak hal, baik hal-hal yang orang yakin saya mampu mencapainya maupun hal-hal yang orang tidak yakin saya mampu mencapainya. Banyak sekali milestone dan pencapaian tahun ini.

Jika melihat pada definisi, milestone memiliki makna yang baik, yaitu terkait dengan pencapaian. Seorang bayi tidak akan bisa langsung berjalan, melainkan harus belajar duduk, berdiri dan merangkak terlebih dahulu. Duduk, berdiri dan merangkaknya si bayi itulah milestone dalam hidupnya, dan berjalan adalah puncak pencapaiannya sebelum diperkenalkan lagi kepada hal-hal lain.

Milestone kecil saya ada beberapa tahun ini.

Nonton konser GNR, tur sepak bola, punya website sepak bola, jadi penulis tetap sebuah media sepak bola, ikut proyek pembuatan buku sepak bola, bertemu orang-orang yang memiliki passion sama, mengisi podcast sepak bola, manggung di acara akhir tahun yang penuh kenangan, juga memainkan lagu enter sandman setelah sekian tahun hanya memainkan lagu-lagu pop cheesy.

Buat orang lain, itu mungkin gak ada apa-apanya, tapi buat saya itu sangat luar biasa. Hadiah dari Tuhan. Tuhan yang terlalu baik kepada saya.

Selain penuh milestone, tahun 2012 ini menjadi tahun penuh sejarah yang tidak terlupakan. Jika kelak saya bercerita kepada turunan-turunan saya, mungkin tahun 2012 ini adalah salah satu fase terpanjang yang banyak sekali akan saya ceritakan.

Di tahun ini, saya diberikan kepercayaan oleh Tuhan untuk merawat seorang manusia. Itu sudah menjadi milestone dan achievement tersendiri.

Dan entah bagaimana, di tahun 2012 ini kaki saya serasa lebih ringan dalam melangkah, tangan lebih ringan dalam mengetik kata demi kata, mulut lebih lancar dalam berbicara, mata lebih terlatih untuk membaca dan telinga lebih terlatih untuk mendengar.

Diatas itu semua, otak lebih terlatih untuk mendengarkan hati. Berjalan menemukan passion, menemukan apa yang diinginkan.

***

Mungkin kunci itu adalah keikhlasan. Itulah kunci kedua dalam hidup, yang saya percayai.
2012 adalah contoh sempurna betapa hal-hal yang dilakukan dengan kesenangan dan keikhlasan akan lebih indah. Bentuk keikhlasan juga bermacam-macam, dan saya yakin anda pasti sudah berikhlas dalam banyak hal, dari ikhlas mengantre launching gadget terbaru hingga mengantre bayar belanjaan anda di sebuah midnight sale. Apapun bentuk keikhlasan itu, anda bahagia bukan?

Setiap pintu rumah punya kunci masing-masing, begitu pula mobil dan sepeda motor, mereka juga punya sebuah kunci yang dibuat khusus untuk mereka. Seperti halnya kunci kebahagiaan dalam hidup, menurut saya adalah melakukan sesuatu yang disukai dan juga ikhlas menerima apapun yang ada.

“Kalo cuma bisa punya Lotto ya gak usah terganggu liat orang pakai Nike atau Adidas.”

“Kalo cuma punya gaji sekian dan temen lo dua kali dari yang lo dapet, ya apa terus lo bakal mati?”

“Kalo lo ngerasa udah kerja mati-matian tapi temen lo yang kerjanya lebih ringan daripada elo tapi dia ikut dapet pujian dari bos, ya terus ini bakal bikin lo ngedown?”

Mungkin orang-orang itu bekerja dengan terpaksa, sehingga yang menjadi ukuran kebahagiaan buat dia adalah materi semata.

“Gue udah gak happy, masa materi juga gue gak dapet?” Apakah begitu?

Alhamdulillah saya udah dikasih petunjuk bahwa hidup tidak harus begitu. Gak perlu memperhatikan pencapaian orang lain, gak perlu ngeliatin merk sepatu orang lain. Yang penting adalah bagaimana lo hidup dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan, sehingga ukuran kebahagiaan bukan lagi materi.

***

Ya begitulah 2012. Sekarang bagaimana dengan 2013?

Well, apapun yang terjadi di 2013 nanti saya ikhlas. Yang jelas di 2012 ini saya udah dikasih kunci untuk menghadapi apapun. Saya tinggal melanjutkan apa yang sudah saya perjuangkan di 2012. 

2012 ini ibarat ketemunya passion, 2013 dan seterusnya tinggal lanjutin terus.

2013 saya bakal tetep nulis artikel sepak bola, tetep jadi orang kantoran yang baik-baik aja, tetep belajar sejarah dan lebih banyak baca, tetep nonton film-film action, tetep nonton konser-konser rock, tetep nonton bola, dan gak lupa jalanin semuanya dengan senang dan ikhlas.

Udahlah, gak perlu nyinyirin tahun baru. Gak perlu nyinyir karena ini budaya barat, budaya paganism atau apapun. Nyatanya, seluruh dunia memang menutup kegiatannya dan membuka lembaran baru di pergantian tahun masehi ini. Kalau anda memang berharap tahun baru versi anda sendiri, silahkan menangkan dulu pertempuran, sehingga anda bahkan bisa mengubah kalender dunia.

Alhamdulillah!

Senin, 24 Desember 2012

Attack on Leningrad



Jika boleh memilih sekian banyak hal-hal yang underrated di dunia ini, biarkanlah gue memilih salah satunya yaitu film Attack on Leningrad.

Tidak, gue tidak akan mengomentari aspek sinematografi, acting, casting, juga istilah-istilah teknis dunia perfilman lainnya yang gue gak kuasai. Tapi gue tertarik karena film ini lekat dengan sejarah Perang Dunia 2.

Film yang disutradarai oleh Alexandr Buravsky ini memiliki 3 bahasa yaitu Rusia, Jerman dan Inggris dengan bahasa Rusia yang paling dominan digunakan dalam film. Ya iyalah judulnya aja menonjolkan kota Leningard yang sekarang bernama St. Petersburg.

Jika elo berharap melihat orang pacaran di taman, berantem lalu ketemu lagi di akhir film layaknya tipikal film Hollywood, elo gak akan temukan di film ini. Yang elo lihat adalah kota tidak berdaya yang di bombardir pesawat tempur,  penduduk yang kelaparan, juga pemandangan suram kota tempat meletusnya Revolusi Bolshevik ini.

Film yang berlatar waktu musim dingin tahun 1941 ini punya mengangkat dua tema besar, pertama tentang cerita seorang jurnalis Inggris bernama Kate Davis (diperankan Mira Sorvino), kedua tentang penyerangan 900 hari kepada Leningrad itu sendiri. Kate, jurnalis yang berbasis di Moskow ini ditugaskan untuk meliput situasi di Leningrad. Kota ini tengah mengalami krisis akibat serbuan tentara Nazi Jerman, serbuan yang menjadi rangakaian invasi terbesar di dunia dan paling ambisius dari Adolf Hitler yang dikenal dengan operasi Barbarossa.

Malang menimpa Kate. Saat peliputan, bis yang ditumpanginya dibom oleh pesawat Jerman mengakibatkan banyak jatuh korban dari pihak jurnalis. Kate selamat, namun ia tidak ditemukan saat pencarian sehingga pemerintah Uni Soviet menyatakan bahwa ia tewas.

Kate mencoba bertahan hidup, dan ia beruntung bertemu seorang polisi wanita tangguh dan idealis, Nina Tsvetkova. Kate kehilangasn surat-suratnya karena pengeboman, sehingga Nina membuatkan Kate identitas palsu dengan nama Ekaterina Gonzalez. Nina menjadikan Kate seorang Spanyol karena memang pada masa itu banyak warga Spanyol yang melarikan diri ke Rusia akibat kekejaman pemerintahan diktator Jenderal Franco.

Nina lalu mengizinkan Kate tinggal dirumahnya bersama kakaknya dan dua keponakannya. Kate sangat baik pada Sima dan Yura, dua keponakan Nina. Yura digambarkan mengalami kelumpuhan akibat kurang gizi, namun berotak cerdas. Kate sangat menyayanginya.

Kate Davis
Situasi Leningrad sangat parah. Saat musim dingin yang ganas tiba, bencana kelaparan justru datang karena tentara Nazi memang tidak langsung menyerbu dan membumihanguskan kota, namun mereka memotong jalur distribusi makanan. Pemerintah setempat akhirnya memberlakukan sistem penukaran kupon untuk sebuah roti.

Jatah makanan yang lama kelamaan berkurang akhirnya menjadikan pemandangan menyedihkan timbul di mana-mana. Kuda yang diambil dagingnya bahkan ketika masih hidup, penduduk yang memakan lem dan tanah karena lem mengandung sagu dan tanah mengandung gula, hingga kanibalisme menjadi potret sejarah gelap bagi kota ini yang coba disampaikan oleh sang pembuat film.

Cerita berkembang dramatis ketika diketahui ternyata Kate adalah seorang anak dari bekas Jenderal Rusia yang mengabdi pada Tsar, pihak yang digulingkan oleh pemerintah komunis lewat revolusi Bolshevik. Ayah Kate kabur ke Inggris lalu menikahi seorang wanita Inggris yang akhirnya menjadi ibu Kate. Untuk menghindari bahaya, Kate memakai nama keluarga ibunya, Davis. Fakta ini membuat intelejen Soviet mencoba mengamankannya, namun usaha-usaha itu tidak pernah berhasil.

Gue menemukan satu hal menarik lagi dalam film ini yaitu keberadaan Danau Ladoga. Danau yang beku setiap musim dingin ini adalah satu-satunya jalan keluar dari kota Leningrad yang sudah dikepung ketika jalur darat rentan serangan. Danau Ladoga ini kemudian dikenal sebagai The Road of Life yang akhirnya dijadikan PBB sebagai World Heritage karena menjadi “jalan kehidupan” untuk mengungsi maupun pendistribusian makanan bagi penduduk kota Leningrad semasa invasi.

Setelah berhasil menyebrangi Danau Ladoga dengan selamat, Kate justru memutuskan untuk tinggal di kota dan meninggalkan Phil (diperankan Gabriel Byrne), kekasihnya yang telah menunggu di ujung lain danau. Phil sebenarnya memiliki keinginan untuk membawa Kate kembali ke Moskow, untuk kemudian pulang ke London. Namun Kate tidak memungkiri asal usulnya tadi dan ia memilih untuk tinggal di Leningrad. 

Sayangnya memang tidak dipaparkan dengan jelas bagaimana pergumulan hati Kate mengenai asal usulnya ini, dan tiba-tiba kita diperlihatkan keputusan mengejutkan perempuan ini untuk menetap dan kemudian mati di Leningrad. Plot yang kurang kuat.

Tidak ada hal menarik lain selain muatan sejarah yang kental di film ini. Cerita-cerita yang diinspirasi dari sejarah memang selalu menarik hingga gue abai terhadap efek film yang umumnya menjadi jualan dari film-film Hollywood, juga aksen British yang kaku dari Sorvino, yang notabene seorang Amerika. Setelah gue telusuri, film yang rilis di tahun 2009 ini ternyata hanya dibuat versi DVD saja, tidak tayang di bioskop. Panggung terbesarnya adalah Festifal film di Pusan, Korea Selatan.

Ya memang hanya sedikit dari kita yang tertarik pada sejarah. 

Selasa, 18 Desember 2012

Masih tetap si Bedil dan Kembang

The Legend Axl Rose (Saya foto dari big screen)


Saya bukanlah tipe orang yang suka pada keramaian, kerumunan, klub atau perkumpulan. Saya tidak akan bergabung di kerumunan orang-orang yang menyaksikan shooting sinetron di mall, juga tidak akan bergabung dengan kerumunan orang-orang yang menyaksikan bencana kebakaran. Jarang sekali saya bisa ditemukan diantara itu. Namun jika anda melihat sekumpulan pria berbaju hitam, setengah gondrong, berusia 20an akhir keatas, dan menuju ke sebuah konser rock, anda mungkin dapat menemukan saya.

Dan weekend kemarin, saya bersyukur berada diantara 10 ribuan orang yang menyaksikan konser band rock legendaris, Guns ‘n Roses (GNR).

Sebagai band favorit nomor 5, tentu pantang bagi saya untuk tidak menyaksikan mereka secara langsung. Apalagi saya sudah kehilangan kesempatan menonton band favorit nomor 6, Dream Theater di awal tahun, juga ketiadaan multi-event Java Rockingland tahun ini.

Saya pergi sendirian karena banyak alasan. Saya mungkin hidup dan lahir di generasi yang salah karena tidak satupun teman saya dari teman SD hingga teman kantor yang mau saya ajak nonton konser ini. Alasan mereka bermacam-macam, dari alasan logis hingga mengada-ada. Tidak semua orang suka musik rock. Jadi walaupun harus pergi sendiri, tidak masalah. Pergi konser memang pada intinya untuk menonton, bukan untuk mengobrol. Sendiri atau bareng-bareng sama saja.

Anyway, konser The most dangerous band in the world ini sebetulnya sempat ditunda secara kontroversial. Jadwal asli 15 Desember di Lapangan D Senayan mendadak diubah menjadi keesokan harinya di MEIS Ancol siang hari. Itupun TMCPoldaMetro yang mengumumkan lewat twitternya, bukan si penyelenggara konser. Terjadi kekhawatiran bahwa konser akan dibatalkan secara sepihak oleh Axl, seperti yang kadang dilakukannya. Untungnya hal itu urung terjadi di Jakarta.

Konser yang sempat tertunda nyaris dua dekade ini seolah mengobati rasa kangen penggemar lawas mereka. Ketika itu kehadiran mereka dibatalkan karena beberapa waktu sebelumnya konser band papan atas lainnya yaitu Metallica yang datang lebih dulu berakhir rusuh. GNR yang dianggap memiliki massa yang saat itu lebih banyak dari Metallica pada akhirnya batal datang. Banyak penonton konser yang hanyut dalam nostalgia era sekolah mereka dimana mereka besar dengan mendengarkan musik ini, tidak seperti anak-anak sekarang yang besar dengan mendengarkan musik … ah sudahlah.

GNR sekarang bukanlah band sama yang beranggotakan Slash, Izzy Stradlin, Duff McKagan dan Steven Adler yang menghuni Rock and Roll Hall of Fame. Axl telah memecat mereka semua lalu mengibarkan bendera baru GNR dengan personel-personel pilihannya yang berjumlah 7 orang. (Itu band rock apa boyband pelanggan salon?).

Axl nampaknya harus menggunakan 3 orang gitaris (Richard Fortus, DJ Ashba dan Ron Bumblefoot Thal) untuk mengisi dua pos legendaris yang biasa ditempati Slash dan Izzy Stradlin. Sepanjang pengamatan saya, Axl memang menginstruksikan ketiga gitaris yang memiliki kemampuan setara sebagai lead guitarist itu untuk secara bergantian memainkan solo di setiap lagu. Saya ambil contoh di lagu ballad fenomenal November Rain, ketiga gitaris itu bergantian mengambil porsi solo di bagian tengah dan akhir lagu.

Sepertinya Axl memang menjaga supaya tidak ada yang terlalu menonjol diantara ketiganya, tidak seperti era Slash dulu dimana popularitas dan pengaruh sang lead guitarist berkharisma kuat mengimbangi sang vokalis. Terdapatnya dua kepala dalam satu band tersebut terbukti bukanlah hal yang baik.

Performa kelas atas layaknya world class band mereka bawakan selama lebih dari dua jam dan dengan komposisi dua puluhan lagu, meskipun konser rock ini menjadi seperti acara nonton bioskop karena tersedianya kursi empuk dan hembusan udara dingin yang berasal dari AC. Konser rock rasa pertunjukan drama musikal. Tek teretektektek dung dung tek jess! 

Konser ini dibuka dengan lagu Chinese Democracy. Axl memang tidak banyak berinteraksi dengan penonton, namun Ron Bumblefoot sempat membuat saya tersenyum ketika mengajak penonton menyanyikan Indonesia Raya. Ya, dia memetik gitarnya dengan nada lagu kebangsaan kita sebelum masuk kepada intro lagu ballad Don't Cry. Nice one. Penonton lalu mulai berjingkrak dan sing along ketika lagu-lagu hits lawas mereka seperti Sweet Child ‘o Mine, November Rain, Patience, Knocking on heaven’s door, You Could be Mine dan ditutup dengan Paradise City dihadirkan.

Meskipun penampilan mereka luar biasa, namun tetap saja ada ciri yang hilang dari GNR, yaitu nuansa blues.

Keberadaan tiga gitaris yang menurut saya berkarakter hard rock membunuh jiwa blues yang sebenarnya membedakan band ini dengan band-band sejenis lainnya. Suara tiga buah gitar yang terlalu bising -mungkin untuk menutupi penurunan performa vokal Axl- dikombinasikan dengan ruangan tertutup nyatanya malah menambah noise yang muncul dari gitar, sehingga aroma klasik dan blues menjadi hilang. Missing Slash? Jelas.

Namun konser ini bagaimanapun adalah konser terkeren yang pernah saya tonton. GNR adalah band dengan cita rasa komplit. Mereka punya lagu keras, cepat dan bersemangat seperti Paradise City, everlasting seperti Sweet Child o’mine, ballad menyayat November Rain. Menyaksikan konser mereka seperti mengaduk-aduk mood, namun pada akhirnya menghasilkan mood positif.

Menyaksikan sang legenda Axl Rose langsung membawakan lagu-lagu penuh kenangan adalah kepuasan tersendiri yang akhirnya menghilangkan dahaga konser rock yang telah saya derita sepanjang tahun. Memang sempat “diganjal” dengan performa Mike Portnoy and friends beberapa waktu lalu, namun GNR tetaplah GNR.

Ya, GNR tetaplah GNR. No matter what they say.

Rabu, 12 Desember 2012

Krusialnya sebuah kuantitas


Apakah anda termasuk orang yang mengabaikan kuantitas dan terlalu mengedepankan kualitas?

Salah satu teori ekonomi mikro yang saya masih ingat sedikit-sedikit adalah teori kepuasan konsumen, dimana intinya adalah kepuasan konsumen dapat diukur secara kuantitatif. Misalnya, sebut saja Tuan Joko. Tuan Joko yang baru selesai melakukan olah raga memesan segelas es kelapa muda. Ternyata segelas tidak cukup, maka ia menambah lagi pesanannya. Ia terus menambah hingga 3 gelas berikutnya. Di gelas kedua, ia mencapai kepuasan maksimum, namun masih ingin lagi gelas ketiga. Di gelas ketiga, kepuasannya menurun, dan di gelas keempat ia kembung. Penjual menawarkan segelas lagi, namun Tuan Joko sudah tidak kuat lagi.

Kepuasan konsumen, dalam hal ini manusia dalam beberapa aspek memang bisa diukur dalam kuantitas.

Dulu saya senang menyaksikan acara Empat Mata yang dibawakan oleh Host lucu, Tukul Arwana. Acara itu awalnya seminggu sekali. Lalu karena banyak menyedot atensi, maka jam tayang acara itu diperbanyak hingga ada setiap hari. Meski sempat tersandung kasus cipika-cipiki dan sempat dilarang tampil hingga harus berganti menjadi Bukan Empat Mata, acara tetap berkibar.

Namun kini acara itu tidak lagi seheboh awalnya, tidak lagi se-berkibar awalnya. Terlepas dari berbagai kontroversi yang ditimbulkan acara itu, rasanya penonton mulai bosan karena acara tersebut terlalu sering tayang. Acara yang terlalu sering tayang akan berkurang eksklusifitasnya. Akan mengurangi antusiasme dalam menontonnya. Komentar masygul “Elu lagi elu lagi” pasti lambat laun akan muncul. Bukan kualitas yang dikedapankan, tapi kuantitas.

Dulu waktu SMA, acara Pensi (Pentas Seni) selalu menampilkan band-band dari sekolah. Suatu saat semua orang tercengang dengan kemunculan gitaris handal yang bisa memainkan lagu-lagu Metallica, Guns ‘n Roses dan lainnya dengan baik. Ia seperti menjadi dewa gitar baru di sekolah. Namun ketika lama kelamaan ia menjadi besar kepala dan sering show-off di panggung, orang akhirnya malah mengenang kepongahannya ketimbang kehebatannya.

Lagi-lagi, itu karena ia tidak bisa mengukur kuantitas.

Tapi, kuantitas yang kurang juga berbahaya, misalnya dalam sebuah hubungan.

Saya sudah beberapa kali kehilangan kontak dengan teman saya karena tidak bisa menjaga kuantitas hubungan. Kuantitas yang kurang dari sebuah hubungan pertemanan hanya akan menyebabkan alienasi saja karena ketika kita bertemu langsung dengan orang itu, mungkin saja orang itu sudah menjadi sosok yang sama sekali berbeda dari yang kita kenal. Itu karena kuantitas dan intensitas yang kurang dipelihara.

“Tidur itu yang penting berkualitas.” Apakah anda setuju?

Nyatanya, tidur anda tidak berkualitas jika anda harus ‘balas dendam’ untuk tidur disaat weekend. Berarti badan anda menagih hutangnya kepada anda. Yang namanya tidur berkualitas ya harus diukur pula dari kuantitasnya. Mau 6 jam, atau 4 jam sehari, bahkan 8 jam. Itulah tidur. Kalau hanya sejam atau dua jam sih bukan tidur.

Semua itu membawa saya pada sebuah kesimpulan sederhana: Kuantitas itu perlu dijaga, sebaik kita menjaga kualitas.

Selasa, 11 Desember 2012

Twitmu Harimaumu


 Di zaman sekarang, pemeo “Mulutmu harimaumu” sepertinya sudah mulai bergeser lebih luas lagi menjadi “facebookmu harimaumu” atau “twitmu harimaumu” yang berarti akun social media yang kita punya memang mewakili pemikiran kita.

Adri Subono mengeruk keuntungan lewat jualan tiket konsernya lewat twitter. Ia tidak perlu menyebar pamphlet atau susah payah menyebarkan brosur atau membuat spanduk untuk menjual tiketnya. Cukup ngetwit, orang-orang langsung berhamburan kerumahnya untuk menukarkan puluhan lembar uang pecahan seratus ribu atau lima puluhan ribunya hanya demi mendapatkan selembar tiket untuk menikmati sajian musik internasional.

Namun, ocehan di twitter bisa menjadi malapetaka. Coba lihat contoh lima kasus ini:

Kasus pertama:
Seorang karyawan ngoceh di twitter mengenai kekesalannya dengan seorang pegawai kantor pemerintahan dimana mereka berhubungan profesional. Si karyawan ini tidak menyadari bahwa akun twitter miliknya terkoneksi sedemikian rupa hingga terhubung dengan istri sang pegawai. Istri pegawai itu kemudian me-retweet ocehan itu ke suaminya. “Kasus” kecil itu kemudian selesai setelah sang karyawan itu meminta maaf.

Kasus kedua:
Dulu disaat konflik dualisme sepak bola sedang hangat-hangatnya, perang twitter seperti tiada habisnya soal ini. Salah satu akun pribadi pembela si A tiba-tiba menyerang seorang wanita yang menurutnya pembela si B. Si pembela A itu mencela si B dengan kata-kata yang tidak senonoh, yang akhirnya membuat si wanita tersinggung. Si wanita mengancam akan melaporkan twit si pembela A kepada polisi, namun si pembela A meminta maaf, akhirnya laporan dibatalkan.

Kasus ketiga:
Seorang juranalis diserang oleh kelompok penggemar sebuah genre musik karena dianggap menghina idola mereka, juga menampilkan informasi yang tidak akurat. Para fans tersebut tidak terima idolanya dihina, dan mereka mengecam sang jurnalis dengan ikut mengancam pekerjaan dari sang jurnalis. Kasus selesai setelah sang jurnalis meminta maaf melalui akun twitternya.

Kasus keeempat:
Sebuah akun anonim sepak bola yang memang terkenal nyinyir diancam oleh sebuah kelompok suporter karena memposting berita yang tidak akurat dalam websitenya. Akun nyinyir ini memang seperti sudah ditunggu-tunggu untuk melakukan kesalahan agar timbul celah bagi para pembenci untuk menyerang balik mereka. Melalui website dan akun twitternya, akun tersebut membuat pernyataan permohonan maaf.
Seakan tidak puas, admin dari akun anonim itupun dicari hingga akhirnya ketemu. Admin tersebut menanggapinya dengan santai saja. Hingga kini kasus tidak saya ketahui lagi kelanjutannya.

Kasus kelima:
Lain lagi dengan kasus seorang selebtwit, yang baru-baru ini diadukan ke polisi oleh seorang politisi terkait twitnya yang dianggap menuduh, memojokkan dan mencemarkan nama baik.
Selebtwit ini memiliki follower yang banyak (ya, namanya juga seleb) dan ia memang dikenal sering berkicau dan mengeluarkan analisa-analisanya tentang berbagai hal, dari sepak bola hingga politik. Politisi ini mempolisikan sang selebtwit karena dua twitnya yang memang “berani”. Sang politisi sebelumnya telah menuntut permohonan maaf dan ralat dari twit tersebut namun tidak ditanggapi oleh sang selebtwit.

***

Sangat luar biasa dampak dari twitter ini. Anda bisa menjual produk, meraup keuntungan, menggiring opini, bahkan menyerang orang lain melalui permainan jempol yang terjadi atas perintah otak anda. Ya, boleh jadi jempol anda menari-nari diatas keypad anda setelah rekening anda diguyur transferan dari pihak tertentu dengan tujuan tertentu pula.

Kasus kelima diatas baru pertama kali saya lihat di Indonesia. Menarik menyaksikan bagaimana kelanjutannya, juga menarik melihat apakah UU ITE dapat digunakan sebagai basis dalam kasus ini. Terlepas dari apa yang dituduhkan oleh sang selebtwit ke sang politisi benar atau salah, tindakan sang selebtwit ini jelas-jelas sangat beresiko. Bukannya kasus yang dia tuduhkan itu terungkap, yang ada masalah pencemaran nama baik ini yang ter-blow up.  

Saya jadi berpikir, bagaimana seharusnya kita bersikap dalam twitter. Di satu sisi, Indonesia adalah negara demokrasi dimana orang bebas berpendapat, namun di sisi lain Indonesia adalah negara hukum. Ya, teorinya sih begitu.

Saya yakin banyak kasus lain selain yang tersebut diatas, terutama di level “grassroots” atau perang twitter yang dilakukan oleh “regular twitter user” atau para user biasa yang bukan termasuk selebtwit. Dari umpatan kasar, penghinaan rasial bahkan ancaman-ancaman mengerikan tersaji namun gaungnya tidak kencang karena tidak melibatkan nama-nama beken.

Jadi, apa tujuan anda memiliki akun twitter?

Kamis, 06 Desember 2012

Memanfaatkan waktu

Saya turut berbahagia ketika salah satu teman baik saya Nina Ardianti memberi link website pribadinya www.ninaardianti.com. Bagi saya, Nina ini salah satu dari sedikit orang yang memberi dukungan ketika saya mulai menekuni hobi baru saya, yaitu menulis. Di website bikinannya itu (saya percaya itu bikinannya karena she’s a good learner), anda bisa melihat segala pencapaian yang diraihnya dengan usaha yang tentu saja tanpa kenal lelah. Saya lupa sudah berapa karya berupa buku-buku publikasi yang berhasil dihasilkannya. Banyak. Kalo mau berbicara soal produktivitas dalam berkarya sekaligus bekerja, dialah orangnya. Saya tanpa ragu bisa bilang kalo dia salah satu role model saya kok.


Anyway, ada salah satu posting di websitenya yang juga saya sangat setujui yaitu mengenai pengelolaan waktu untuk mengerjakan hal yang disuka. Itupun juga menjadi bahan pertanyaan orang-orang kepada saya. Pertanyaan "Kok sempet sih bikin beginian?" ketika saya ceritakan bahwa saya kini menulis sepak bola di beberapa website dan juga masih sempat rutin mengisi blog pribadi, bekerja, juga bertindak sebagai kepala keluarga. Dan ketika menuliskan posting ini, saya baru sadar bahwa ini adalah postingan ketiga saya dalam sehari, plus saya juga mampu menyelesaikan hitung-hitungan rumit pajak akhir tahun di hari yang sama.

"innamal a'malu binniyat" Begitu kira-kira bahasa hadistnya. Segala sesuatu itu bisa terealisasi karena kekuatan niat kita. Adanya niat juga akan membentuk sikap mental kita ketika ada saja hambatan yang datang.

Bahkan ada saja pertanyaan sinis seperti "Apa untungnya sih bikin beginian?" "Apa pentingnya sih bikin tulisan-tulisan beginian?" juga sering saya dengar. Dan respon saya selalu sama. Diam, dan terus mengerjakan apa yang saya kerjakan. Saya tidak peduli apakah tulisan saya akan diapresiasi atau tidak, dibaca orang atau tidak. Saya tetap akan menulis.

Well, saya belum pantas sama sekali untuk berbangga hati. Nyatanya, saya masih belum menelurkan satupun karya, pekerjaan saya juga kadang terganggu dengan kegiatan saya, istri saya juga masih suka komplain karena menganggap saya kurang bisa membagi waktu.

Memang ini proses, tapi saya yakin bahwa saya kini bergerak kearah yang benar. Saya merasa lebih bahagia dan lebih nyaman seperti ini, tidak seperti sebelumnya ketika saya masih bekerja super sibuk di tempat bekerja terdahulu dan hanya punya sedikit waktu untuk mengejar ketertarikan di bidang lain. 

Bicara waktu, di tempat kerja yang lama memang sedikit sekali waktu terbuang karena sebagian besar dipakai untuk bekerja. Mungkin ekstrimnya hanya seperenam dari 24 jam dalam sehari sajalah waktu tersisa diluar kantor, itupun hanya untuk beristirahat. Berada disitu terus menerus bisa mengubah saya menjadi robot. Hahaha.

Ya bukan berarti teman-teman saya yang masih bekerja disana itu adalah kumpulan robot ya. Toh selama mereka menikmati, akan selalu terpancar nilai-nilai manusia dalam diri mereka. Itu sih saya-nya aja yang emang gak kuat lagi bekerja disana.

Anyway, mengapa saya bisa seyakin ini? Karena setidaknya saya mengerjakan sesuatu yang saya sukai, dan itu sudah menjadi semacam tambahan nilai seru buat hidup saya yang sederhana ini.

Seperti kata Alvin Toffler, “Society needs people who take care of the elderly and who know how to be compassionate and honest. Society needs people who work in hospitals. Society needs all kinds of skills that are not just cognitive; they’re emotional, they’re affectional. You can’t run the society on data and computers alone.”

Dengan menulis dan mencoba berkarya kini, saya berharap akan menjadi bagian yang dibutuhkan oleh society sesuai teori Toffler itu.

Kisah teman baik saya itu memberi saya inspirasi, bahwa memanfaatkan waktu dan melangkah tanpa keraguan adalah keharusan. Karena waktu tidak akan pernah kembali dan jika kita hanya diam saja, waktu akan tersia-sia. Mari lanjutkan saja langkah kecil ini dan jangan pikirkan bagaimana akhirnya, karena hidup adalah soal proses.