Minggu, 19 November 2017

Radio Retro Pendobrak

"Di sini kita gak muter lagu Ed Sheeran, tapi di sini adanya Eddie Van Halen..."

Begitulah suara sang penyiar radio menyapa pendengarnya, termasuk saya yang secara kebetulan mampir di frekuensi siarannya. Saya langsung tahu, kata-kata itu menandakan bahwa kita berada di "frekuensi" yang sama. Benar saja, sejurus kemudian, lagu Jump milik Van Halen dan kemudian Lithium milik Nirvana meraung dan sesegera mungkin menyemarakkan audio standar mobil saya.

Saya termasuk jarang mendengarkan radio. Karena memang biasanya, radio didominasi musik-musik yang memang sedang terkenal pada jamannya. Kebetulan, zaman ini memang zaman now, zaman di mana musik Linkin Park dianggap lagu jadul.

Tetapi semakin lama saya mendengarkan radio ini, lagu-lagu yang diputar justru berkisar di tahun 80an hingga 90an. Barulah ketika sang penyiar menyempatkan waktu untuk cuap-cuap, dia bilang kalau radio yang bernama MOST RADIO di frekuensi 105.8 FM ini memang hanya memutar lagu-lagu pada era itu. Tidak ada lagu zaman now!

Radio memang memegang peran penting dalam menandai zaman. Program-program yang ditampilkan radio menggamparkan seperti apa keadaan saat itu. Berita-berita, diskusi-diskusi, celoteh dari para penyiar, jokes yang khas, termasuk lagu yang diputar menjadi penanda yang jelas akan sebuah zaman. 

Keberadaan Most Radio ini menandai meningkatnya semangat 80s-90s. Saat ini sudah begitu banyak acara-acara yang mengangkat tema dari dua dekade yang memang selalu dirindukan itu, dan dengan beradanya radio sebagai media yang amat penting dalam menandai sebuah kultur, maka semangat lawas (agar waras) dapat terpelihara.

Dilihat dari sisi lain, maraknya trend generasi zaman 80an dan 90an ini sebetulnya tidak terlalu mengherankan. Yang kini memberi sponsor dan menanamkan modalnya pada acara-acara dan media tentulah mereka yang besar pada era itu, yang kini sudah mulai "jadi orang" dan mapan secara finansial. Karena itu, bukan hal yang aneh jika mereka yang sudah mampu lepas dari kejaran inflasi dan tidak lagi menunggu-nunggu tanggal gajian itu sudah bisa memikirkan hal lain. Mereka ingin memberi ruang kemunculan kembali artis-artis favorit pada saat mereka tumbuh dewasa.

Keberadaan radio yang khusus memutar lagu-lagu era lawas harusnya sih memberi efek yang lebih masif. Jika acara-acara konser lawas hanya bersifat insidentil dengan mengedepankan nostalgia, kemunculan radio yang bisa didengar setiap saat menandakan keinginan besar untuk membawa era keemasan itu kembali ke era sekarang. Semangat untuk mendobrak dan terus eksis di tengah kejenuhan (dan mungkin sedikit rasa prihatin) kepada generasi kekinian.

Selamat datang, Most Radio!

Kamis, 16 November 2017

Padi Reborn dan Musik Zaman Now

Apa saja yang memiliki embel-embel "zaman now", sebuah frasa yang begitu sering digunakan tahun 2017 ini, memang seperti disikapi dengan sinis. Tidak terkecuali musik zaman now. Musik kekinian disebut banyak orang tidak dibalut dengan kualitas tinggi sebagaimana musik-musik zaman sebelum ini. 

Bahkan jika dibandingkan musik-musik yang muncul tahun 2000an awal, musik zaman now terdengar begitu jauh kualitasnya. Sang pembawa acara konser Padi Reborn, konser yang menampilkan band yang begitu besar namanya tahun 90an akhir dan 2000an awal yang tayang di salah satu stasiun televisi swasta, mengucapkan kalimat penutup acara yang begitu lugas. "Terima kasih, Padi. Dengan begini, kids zaman now jadi tahu seperti apa musik yang berkualitas." Well..

Begitu banyaknya band-band lawas yang melakukan reuni juga diimbangi makin maraknya acara-acara yang mengusung tema flashback, secara khusus adalah tema-tema 90an. Adanya gerakan-gerakan yang cukup marak namun sebetulnya tidak terstruktur ini, menunjukkan keprihatinan para pelaku seni terhadap semakin menurunnya kualitas lagu-lagu zaman sekarang. 

Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi yang mengubah haluan dari fisik menjadi digital, kini orang-orang cenderung tidak lagi menakar lagu atau musik dari kualitas aransemen yang ciamik dan lirik yang bermakna dalam. Digitalisasi penjualan karya dari musisi ini mengubah cara musisi berekspresi. Mereka kini hanya mengeluarkan lagu dalam bentuk single atau mini-album. Bukan lagi album secara utuh, yang mana dalam satu-dua lagu tercermin identitas dan idealisme seorang musisi (atau sebuah grup band). Contohnya, pada album Pandawa Lima milik band Dewa 19, ada lagu Sebelum Kau Terlelap yang cukup melenceng dari yang biasa mereka bawakan, atau banyak contoh lain di album-album milik Slank atau Gigi. Pendek kata, format album memberi ruang bagi para musisi untuk bernegosiasi dengan produser untuk memasukkan sekian menit idealisme mereka dalam album yang sudah penuh kompromi sana-sini. 

Gaya hidup orang zaman sekarang (khususnya orang-orang perkotaan yang menjadi penikmat karya seni musik) yang cenderung serba instan, terburu-buru, sibuk dan serba ingin cepat memang cenderung mengubah cara dalam menikmati lagu. Lagu-lagu pop ringan yang mudah dicerna, lebih bagus lagi ditambahi bumbu-bumbu kontroversi akan cepat sekali diterima. Atau melihat fenomena baper-baperan yang juga ala kids zaman now, lagu-lagu patah hati yang menunjukkan glorifikasi atas kesedihan menjadi komoditi yang begitu laris bak kacang goreng. Lagu-lagu itupun, karena memang dibuat dengan ringan dan instan, memiliki kisah edar yang mirip: diputar secara masif hingga orang muak mendengarnya, namun kemudian dengan cepat dilupakan dalam hitungan bulan saja dan tergulung lagu-lagu lain yang sejenis.

Maka ketika akhir pekan lalu saya disuguhi konser musik band Padi, yang akhirnya melakukan reuni dengan formasi lengkap, ada rasa haru yang tak terperi (tak terkatakan), juga rasa dahaga yang terpuaskan akan tontonan musik berkualitas.  

Sebelum eranya Payung Teduh, yang lewat lagu Akad-nya berhasil membuat jutaan pria terinspirasi untuk berani melamar kekasihnya, Padi lebih dulu membius anak-anak angkatan zaman saya. Lagu "Begitu Indah", "Sesuatu yang indah" atau "Ketakjuban" menceritakan betapa magisnya saat-saat kasmaran, lagu "Semua Tak Sama", "Seperti Kekasihku", "Kasih Tak Sampai" atau "Patah" mencerminkan susahnya move on, yang boleh jadi disebabkan permasalahan beda kepercayaan seperti yang terangkum dalam lagu "Sudahlah" yang kemudian membuatnya "Terbakar Cemburu" ketika ia menemukan bahwa kekasihnya direbut oleh "Sobat"-nya sendiri.

Berbicara lirik-lirik lagu Padi, mereka seperti sudah merasakan manis, pahit, getirnya dunia percintaan, yang ironisnya mereka sendiri rasakan, bayangan buruk tentang hidup yang tidak selamanya indah dan perjalanan yang tidak selamanya mudah malah menjadi kenyataan yang harus diterima band ini. Lagu "Bayangkanlah" akhirnya menjadi kenyataan hidup, dan Piyu sebagai leader dari band asal Surabaya ini pun mengakuinya, ketika ia sedikit meluangkan waktu untuk melakukan speech singkat sebelum memainkan lagu "Harmony". 

Piyu, seperti seorang yang baru sembuh dari sakitnya, juga seperti musisi yang kembali menemukan instrumen enam senar favoritnya, dengan lugas namun mengharukan menyampaikan tentang permasalahan pribadi yang sempat lama menghinggapinya dan kerikil-kerikil tajam lain yang sempat membuat hiatusnya band Padi, sebelum kemudian memutuskan untuk "turun gunung" dan kembali ke band yang membesarkan namanya.

Untuk Piyu, Fadly, Yoyok, Rindra dan Ari, semoga kalian tidak sekadar reuni. 

Rabu, 01 November 2017

Ayam Saus Coklat dan Makin Ngawurnya Kuliner Jaman Now

Rasanya belum beberapa hari sebuah pengumuman dibuat oleh salah satu restoran waralaba terkenal dari sebuah negara maju. Bahwa mereka, yang mengklaim sebagai pemilik asli resep ayam goreng tepung garing ini mengeluarkan varian saus baru. Setelah varian saus keju cair mereka keluarkan sekitar tahun lalu (dan menurut saya sih fail), kini mereka--seolah tidak kapok--malah mengeluarkan saus dengan rasa coklat.

Ya, coklat. Rasa manis bercampur gurih dan sedikit pahit khas coklat cair ini akan berpadu dengan rasa gurih, asin, garing, dan tekstur basah karena rendaman minyak goreng yang menjadi khas dari ayam goreng tepung ini. Buat gue sih, membayangkannya saja sudah bikin bergidik. Walaupun kemudian setelah banyak yang mencoba, coklat itu tidak berasa manis, tetapi pedas seperti layaknya saus sambal.

Memang sudah banyak jenis kuliner yang jelas-jelas menyalahi pakem dan "kodrat". Mulai dari martabak yang diberi topping macam-macam, sate ayam yang asin, keju yang menjadi bahan dasar kue bolu (bukannya pelengkap), hingga mie instan yang dibuat dengan rasa macam-macam telah mewarnai khazanah kuliner jaman now yang unik sekaligus nyeleneh.

Sesuai dengan pola pikir out of the box ala Generasi Millenial, Generasi Z hingga kids jaman now, sekarang udah gak jamannya lagi menjadikan bahan terenak dari makanan sebagai pelengkap. Dulunya keju atau coklat menjadi pelengkap kue dengan bahan adonan yang cenderung plain. Karena itu, kita akan lebih menantikan saat-saat menyenangkan yaitu menggado keju atau coklat yang terdapat di pinggiran kue. Karena memang sensasi menyantap keju dan coklat timbul karena begitu jarang dan sedikitnya bahan itu dalam sepotong kue yang kita makan. Ada konsep menunggu dan bersabar yang dimainkan di sini.

Bahan yang sedikit dan jarang tapi nikmat inilah yang dieksploitasi oleh pembuat kue untuk memainkan perasaan si penyantap kue. "Kalau mau ngerasain nikmatnya coklat atau keju, habiskan juga bolu yang rasanya plain ini".

Sekarang kan beda. Dengan prinsip life to the fullest yang diusung manusia-manusia modern, mereka sudah tidak mau lagi merasakan makanan yang rasanya datar, lalu menyisakan bagian enak di ujung. Kalau memang keju dan coklat bisa dijadikan bahan inti, kenapa tidak? Kalo emang rasa enak bisa dimunculkan terus dari awal hingga akhir, kenapa harus dijatah?

Jadinya sekarang, seluruh proses pencernaan mekanik yang dilakukan oleh mulut dan gigi kita berisi substansi-substansi "berat" yang rasanya kuat. Sehingga bagi kita yang tidak terbiasa, akan mudah sekali menimbulkan rasa begah.

Kembali ke si ayam goreng tepung, kini mereka menambah ramai khazanah kuliner dengan prinsip rasa yang dibikin "tabrak-menabrak" dengan kehadiran saus coklat. Rasa asin, gurih, manis, pedas dan pahit akan bertemu dalam satu ruangan di lidah, ditambah aroma coklat yang bertabrakan dengan gurihnya tepung dan renyahnya rendaman minyak goreng. Lidah kita inilah yang akan memberi pesan kepada otak tentang bagaimana rasanya sajian baru ini, apakah enak atau tidak. 

Tentunya, semua orang memiliki selera yang berbeda, dan satu realita yang memang mengesalkan: kita tidak bisa menghakimi hal subjektif yang sudah menyangkut selera. Seberapapun anehnya orang ini memakan ubi goreng dengan saus sambal, atau memakan tahu goreng dengan gula halus, atau mencocol pizza dengan kecap manis.

Sekarepmu lah, coy!