Selasa, 03 Februari 2015

Tahun Redam

“Solitude is the place of purification.”

Sebuah quote pendek dari Martin Buber, seorang rabi yang dengan mudah bisa Anda cari di google ini sepertinya menjadi kalimat yang saya pegang belakangan ini. Sebuah pernyataan yang dapat menunjukkan keinginan untuk kembali ‘murni’, atau jika terlalu membebani: memulihkan jiwa.

Entah mengapa, sepanjang tahun 2014 lalu, saya merasakan ‘bising’ yang amat sangat. Bising berupa tenggat waktu yang mencekik, perdebatan-perdebatan tak berjung, target-target yang sulit, juga acara-acara berkumpul dengan pembahasan topik yang amat berat. Setelah melalui semua itu, saya lega. Tapi tidak bahagia. Saya merasa kehilangan cermin diri, kehilangan waktu untuk merenung, kehilangan waktu untuk sendirian.

Saya memang sering menyediakan waktu untuk sendirian setiap hari. Ketika semua sudah tidur, saya biasanya melakukan kegiatan apa saja yang bisa saya nikmati sendirian. Tapi sepanjang tahun lalu, kegiatan yang saya lakukan pun ternyata untuk orang lain, bukan untuk diri sendiri.

Setelah menyadari hal ini, saya langsung berpikir untuk menjadikan tahun ini sebagai ‘tahun redam’. Tahun untuk lebih banyak berdiam diri, dalam artian positif, dan juga untuk lebih banyak mendengar dan mencerna, ketimbang melakukan aksi nyata.

Wujud dari hal ini, orang-orang akan melihat versi lebih diam dari saya yang sudah dikenal pendiam. Tidak usah dibayangkan, karena toh akan tercermin dari keseharian saya. Saya akan lebih jarang menelpon dan mengobrol, lebih jarang berbalas pesan, dan juga lebih jarang untuk berinteraksi di media sosial atau di group chat.

Saya juga ingin menahan diri untuk berkomentar mengenai hal-hal yang tidak perlu dikomentari, ambil pusing terhadap hal-hal yang tidak perlu dipusingkan, atau mempermasalahkan sesuatu yang sebetulnya tidak ada. Tidak perlu juga membicarakan dan memusingkan perilaku orang lain.

Saya ingin membuat hidup saya lebih sederhana.

Memang, saya tidak mungkin berdiam diri di gua seperti yang dilakukan para sufi, atau melakukan solo travelling untuk mencari tahu makna kehidupan seperti yang dilakukan para backpacker. Tanggung jawab yang saya miliki sebagai kepala keluarga sekaligus sebagai karyawan perusahaan tidak memungkinkan untuk melakukan itu.

Tapi yang pasti, saya akan lebih memilah-milah segala aktivitas yang akan saya lakukan, memilah-milah acara yang harus dihadiri, bahkan untuk tahap yang lebih besar lagi, memilah-milah apa yang saya konsumsi setiap harinya. Ada hal positif yang terjadi, yaitu saya kini menjadi tidak sekonsumtif biasanya. Saya kini sudah bisa meredam berbagai keinginan akan hal-hal yang sebenarnya tidak dibutuhkan.

Mungkin akan terlihat aneh bagi orang-orang sekitar, tapi ternyata setelah menjalaninya selama beberapa bulan terakhir, saya merasa lebih tenang. Dan ternyata saya juga baru menemukan bahwa kebahagiaan buat saya adalah ketenangan. Tidak bising, tidak berisik. Inilah hal yang saya rasa telah lama hilang. Dan saya senang karena telah menemukannya kembali.

Bukan pula berarti saya tidak akan bersedih jika seharusnya bersedih, gembira jika seharusnya gembira, atau marah jika seharusnya marah. Saya tidak bilang tentang menjadi robot tak berperasaan. Hanya saja, segala ekspresi dan emosi itu ingin saya tata lebih baik, sehingga dapat dikeluarkan dengan proper, tidak berlebihan, dan yang paling penting: pada tempatnya.