Kamis, 30 Mei 2013

Andrew Carnegie

Dalam sejarah negara Amerika Serikat, ada istilah “The Man Who Built America” merujuk pada industrialis yang kemudian memimpin negeri ini menjadi negeri superpower. Para industrialis ini dinilai mewariskan etos kerja, keterampilan dan tentunya pembangunan infrastruktur yang kelak menjadikan negeri ini makmur.

Terlebih, kisah hidup para industrialis ini juga menjadi inspirasi bagi generasi muda setelahnya, bahwa negeri ini mengijinkan orang untuk bermimpi. Siapapun bisa mencapai tujuannya tergantung seberapa besar impiannya dan seberapa keras ia mau bekerja untuk mewujudkannya.

Dianggap sebagai “The American Builder”, Andrew Carnegie bukanlah berasal dari keluarga kaya. Ia juga memulai bisnisnya dari bawah. Carnegie adalah seorang imigran asal Skotlandia kelahiran Dunfermline tahun 1835. Ia pindah ke Amerika Serikat di usianya yang ke-13 bersama kedua orang tuanya, William dan Margaret Carnegie ke negara bagian Pensylvania, tepatnya kota Allegheny.

Sepindahnya ke Pennsylvania, Carnegie bekerja di pabrik tenun untuk mendukung kehidupan keluarganya. Tidak hanya bekerja, Carnegie adalah seorang … kutu buku. Kegemarannya dalam membaca difasilitasi oleh Colonel James Anderson, perwira tinggi tentara yang tinggal kota Allegheny. Sang kolonel membuka perpustakaan umum untuk pekerja lokal setiap hari sabtu dimana Carnegie menghabiskan banyak waktu disana, bahkan meminjam banyak buku untuk dibacanya dirumah.

Buku-buku inilah yang membedakan Carnegie dengan pekerja-pekerja lainnya. Bukan hanya rajin, ia juga cerdas dan berwawasan luas berkat kegemarannya akan bacaan. Kelak, kegemarannya dalam membaca membentuknya menjadi penulis handal. Ia kemudian berpindah-pindah pekerjaan, dari menjadi kurir hingga operator telegraf. Karirnya kemudian melesat hingga ia meraih posisi superintendent di Western Division dari Pennsylvania Railroad, perusahaan jalur kereta api.

Carnegie memiliki cita-cita sebagai seorang pengusaha, sesuatu yang terdengar terlalu muluk-muluk pada era itu di kalangan pekerja seperti dirinya. Saat masih bekerja di perusahaan kereta api, Carnegie merintis usahanya sendiri juga di bidang perkeretaapian. Ia membuat jalan kereta api baru, kereta api dengan tempat tidur, hingga membuat jembatan dan lokomotif sendiri. Setelah usahanya mulai stabil dan menuntut waktunya lebih banyak, ia mengundurkan diri dari pekerjaannya.

Usaha baja Carnegie berkembang pesat. Perusahaan Carnegie Steel menjadi perusahaan baja terbesar di seluruh Amerika Serikat. Produksi baja yang Carnegie lakukan sejalan dengan pembangunan besar-besaran yang sedang gencar dilakukan oleh Amerika Serikat sehingga permintaan pada baja sangat tinggi.

Carnegie terus melakukan ekspansi usahanya dengan membeli perusahaan-perusahaan sejenis yang menjadi kompetitornya. Ia ingin menjadi pengusaha tunggal dari baja, melakukan monopoli atas komoditas ini. Cara-caranya dalam menggapai kesuksesan juga tidak melulu ia lalui dengan kerja keras semata, tapi juga kekejaman. Misalnya, ia memotong upah buruh, sesuatu yang kelak disesalinya di masa tua.

Carnegie Steel mendapat ujian terbesar dari seorang pebisnis minyak bernama John D. Rockefeller. Rockefeller adalah seorang industrialis ambisius seperti halnya Carnegie. Dengan penguasaannya pada minyak, Rockefeller merasa belum cukup. Ia kemudian mencoba memasuki dunia Carnegie, yaitu baja. Carnegie semula mengacuhkan keberadaan Rockefeller pada industri yang ia kuasai, karena menganggap Rockefeller tidak tahu menahu soal baja, seperti dirinya.

Carnegie salah. Rockefeller telah menemukan tambang baja baru di wilayah Minessota, tambang yang sebenarnya sudah diketahui oleh Carnegie, namun Carnegie menganggap tambang tersebut tidak potensial karena sulit diolah. Rockefeller tetap melanjutkan penambangan di Minessota, seraya terus mencari cara untuk mengolah sumber tersebut. Dan bisa ditebak, Rockefeller sukses.

Kesuksesan pengolahan itu membuat perusahaan baja tandingan Rockefeller berkibar. Dengan mematok harga yang lebih murah, Rockefeller membuat pelanggan Carnegie beralih padanya. Akibatnya, kinerja perusahaan Carnegie mengalami kemunduran signifikan. Carnegie merasa cukup dengan semua ini, ia lalu menemui Rockefeller. Tujuannya, jelas ingin mempertahankan kekayaannya dengan cara membeli perusahaan Rockefeller.

Setelah bernegosiasi dengan alot, Rockefeller akhirnya menerima tawaran Carnegie. Carnegie sadar bahwa hal ini memang harus dilakukan demi menjaga kelangsungan usahanya dan monopoli bajanya, meski konsekuensinya ia harus menyetor uang banyak pada seterunya.

Carnegie steel kemudian terus berkembang, sebelum datang lagi pengusaha kaya lainnya bernama J.P. Morgan. Morgan adalah seorang pengusaha listrik dan jaringan kerata api yang mencakup seluruh negeri. Dengan ambisinya yang besar, ia tidak ingin membuat perusahaan untuk menjadi kompetitor Carnegie, melainkan ia akan membeli Carnegie Steel.

Morgan melakukan pendekatan intens kepada tangan kanan Carnegie, Charles Schwab. Ia menjanjikan Schwab sebuah posisi yang tidak dapat ditolaknya, yaitu pimpinan perusahaan. Syaratnya, ia harus membantu Morgan dalam menggolkan pembelian Carnegie Steel. Morgan meminta Schwaab menanyakan pada Carnegie, berapa harga Carnegie Steel jika Morgan ingin membelinya.

Carnegie awalnya berat untuk melepas Carnegie Steel pada Morgan, meski pada akhirnya ia memang merasa inilah saatnya untuk berhenti. Inilah saat Carnegie untuk menikmati masa-masa kejayaannya dengan uang hasil penjualan perusahaannya. Akhirnya, pada tahun 1901 Carnegie memberikan angka pada Morgan sebesar 480 juta US$ (sekarang sekitar 13 miliar juta US$) yang kemudian disetujui oleh Morgan. Dengan deal ini, Carnegie praktis menjadi orang terkaya di dunia. Setelah dibeli Morgan, Carnegie Steel kemudian berganti nama menjadi US Steel.

Sejak Carnegie Steel menduduki puncak, Carnegie menyadari bahwa ia telah terlalu banyak mengambil dan terlalu sedikit memberi. Ia juga menyesali keputusannya dalam menekan upah buruh hanya demi kemajuan perusahaan bajanya. Penyesalan ini tidak terlambat, karena setelah penjualan Carnegie Steel, Carnegie berkonsentrasi penuh pada kegiatan filantropi, atau kegiatan menyumbangkan kekayaan pribadi demi kepentingan banyak.

Sebagai salah seorang pelopor filantropi era modern, Carnegie menyumbangkan hampir separuh kekayaannya senilai 350 juta US$ (sekarang sekitar 4.8 miliar US$) dalam bentuk perpustakaan, tempat yang disukai Carnegie sejak kecil. Carnegie juga membangun sekolah, balai pertemuan, dan bangunan-bangunan bermanfaat lainnya. Tidak hanya kepada Amerika Serikat, Carnegie juga membangun perpustakaan di berbagai negara berbahasa Inggris di dunia, termasuk tanah kelahirannya, Skotlandia.  

Warisan Carnegie memang besar dalam mencerdaskan bangsa lewat sumbangan perpustakaan, sekolah, maupun bangunan-bangunan lain yang penting bagi komunitas. Namun lebih dari itu, bangsa Amerika Serikat menganggap Carnegie berjasa dalam membangun Amerika Serikat hingga menjadi negara superpower dengan kemajuan industri yang pesat. Sebagai salah satu industrialis  dengan komoditi baja, ia telah membangun sebuah perusahaan raksasa yang menyambung hidup orang banyak dan memajukan bangsanya.

Ia telah mewakili spirit American Dream bagi generasi-generasi muda setelahnya bahwa semua berawal dari mimpi. Carnegie yang bukan dari keluarga kaya terbukti dapat menjadi miliuner dengan menggabungkan mimpi dan kerja kerasnya.

Setidaknya, begitulah kata orang-orang Amerika. 

Selasa, 28 Mei 2013

10 Lagu Paling Asik Saat Ini

Dinamis. Ya begitulah gue memandang hidup ini. Biarpun kata dinamis beda tipis dengan labil, tapi gue memandang hidup lebih baik dinamis ketimbang statis. Dinamis tapi tetep punya prinsip dasar, yang gue yakin pasti masing-masing orang punya. Tinggal bagaimana dia mau pegang erat itu prinsip dasar atau dia gadaikan demi harta, tahta atau wanita. *sedap* *ngelantur*

Begitupula di musik. Gue punya prinsip dasar dan persepsi bahwa musik terenak adalah rock. Ya, namanya juga persepsi dan sudut pandang. Musik rock sama-sama enak dimainin dan didengerin. Dan lagu-lagu favorit gue emang senantiasa berubah seiring banyaknya banyaknya lagu-lagu enak yang baru gue denger. Dan nampaknya, lagu-lagu baru itu sebagian besar adalah lagu-lagu lawas yang baru gue denger.

Gue jadi inget beberapa hari lalu temen gue minta share playlist baru gue, karena dia bosan sama playlist miliknya. Gue cuma bilang ke dia kalo playlist gue ya gini-gini aja gak berubah. Gak bakal ada lagu-lagu jaman sekarang. Oke, ini dia lagu-lagu yang lagi sering gue denger sekarang:

Hungry Heart – Bruce Springsteen
Lagu ini udah lama, rilis tahun 1980. Gue bahkan belum lahir. Ini salah satu lagu lawas yang baru gue denger. Ya, selama ini gue gak pernah tergabung dalam komunitas penggemar musik rock lawas, jadinya gue tau lagu-lagu enak jaman dulu hasil penelusuran sendiri. Kadang-kadang gue denger di KIS FM Rock Weekend, kadang-kadang gue denger di toko musik, kadang-kadang gue denger di film.

Nah, lagu catchy dan riang gabungan antara blues dan soft rock ini gue denger di sebuah film bertema zombie. Mungkin hubungannya dengan hungry, karena zombie memang selalu lapar ya. Lagu ini cukup tinggi kadar racunnya, paling banyak gue denger belakangan ini. Enak banget didenger dengan volume yang soft mengiringi aktivitas.

What Could’ve Been Love – Aerosmith
Lagu ini masuk kategori penghilang dahaga. Ya, ditengah-tengah lagu jaman sekarang yang ‘begitulah’ itu, ngedenger suara Steven Tyler yang begitu merdu mengalun bener-bener bikin semangat. Lagu ini sebenernya mirip sama lagu-lagu power ballad milik Aerosmith yang lain, tapi karena rilis tahun 2012, kedengeran lebih segar aja. Bener-bener kaya basahin tenggorokan dengan minuman dingin saat lagi haus-hausnya.

Just Like Tiger Woods – Steel Panther
Mungkin Steel Panther ini adalah satu dari sedikit band jaman sekarang yang masih mengusung genre Hair Metal yang tersohor itu. Entah kemana The Darkness sekarang, nampaknya mereka menghilang. Lagu Just Like Tiger Woods ini mengingatkan gue pada era keemasan genre ini. Segar, bertempo sedang tapi skillful.

Doom & Gloom – The Rolling Stones
Sebuah single crunchy dengan nuansa rock’n roll yang kental. Sebuah cerita mimpi aneh yang dirangkum menjadi sebuah lagu, dinyanyikan seperti meracau oleh Mick Jagger. Membawa kita pada kejayaan musik ini tahun 70an.

Hate Train – Metallica
Lagu Metallica yang Metallica banget. Mereka kembali membawakan nuansa album-album awal macam Kill ‘em All, Ride The Lightning dan Master of Puppets. Robert Trujillo yang enerjik memang membawa kesangaran segar pada musik-musik Metallica sekarang. Dengan chord E yang selalu menjadi ciri khas awalan lagu, juga permainan drum full speed dan full power dari Lars Ulrich, Metallica seakan masih ingin membungkam penggemar mereka yang menghujat album St. Anger.

Closer To The Heart – Rush
Sebuah lagu terpelajar dari Rush, band progressive-art rock yang hanya beranggotakan 3 orang. 3 orang legenda hidup tepatnya. Lagu Closer to the heart menampilkan kesempurnaan harmoni yang dihasilkan hanya dari 3 instrumen yaitu gitar, drum dan bass.

You’re Gonna Go Far, Kid – The Offspring
Seperti biasa, teriakan-teriakan dari sang vokalis bergelar PhD, Dexter Holland membahana dalam lagu-lagu mereka. Dengan ketukan drum konstan-cepat yang punk sekali dan permainan gitar khas Noodle, lagu ini sangat cocok didengar kala ingin mendapatkan mood booster.

Everything – Eric Martin
Gue telat mengetahui lagu ini, karena menurut gue lagu ini sangat cocok sebagai wedding song. Barisan kata-kata lebay, iringan string orchestra dan dominasi grand piano memang seperti sengaja dijadikan senjata utama lagu. Lagu ballad percintaan menye-menye tapi kece berdurasi 6 menit lebih ini memang kurang terkenal. Pernikahan lo akan hipster jika memasang lagu ini.

Turn it on again – Genesis
Mana yang lebih familiar buat anda? Phill Collins sebagai penyanyi solo atau sebagai vokalis sekaligus drummer Genesis? Coba deh sesekali tengok saat-saat Collins masih tenggelam dalam idealisme dan terbiasa menciptakan musik art-rock yang brilian dan tak terpikirkan, seperti di lagu ini.

Terbakar Cemburu – Padi
Bisa dibilang, ini adalah lagu Indonesia kekinian paling mengena buat saya. Sekaligus menandai vakumnya band Padi yang fenomenal ini, lagu ini adalah lagu yang sangat Padi karena melodi-melodi gitar dan lengkingan vokal seperti inilah yang membuat saya mengenal dan menggemari band ini. Belum lagi permainan syncope yang tidak dimaksudkan untuk sok jago, tapi memang keren dari Yoyok, salah satu drummer Indonesia favorit saya. Ayolah Padi, balik lagi dan bikin album fenomenal! Gilas habis mereka semua!

Senin, 27 Mei 2013

Narsistis Yang Menggelikan dan Hakekat Sebuah Perjalanan

Sifat narsis memang sudah sifat alami manusia. Hasrat ingin “berbagi” memang menjadi beda tipis dengan hasrat pamer. “Berbagi” bahwa kita sudah pernah memakan makanan enak tertentu, atau pergi ke tempat tertentu. Hasrat-hasrat tersebut menemukan tempatnya pada social media, tempat kita bisa dengan mudahnya memajang etalase kehidupan. Kebanggaan akan hasil foto perjalanan tentu akan afdol jika kita berhasil memajangnya di akun social media.

Hal itu tentu tidak salah. Toh gambar-gambar yang kita bagi tadi adalah hasil keringat sendiri, penuh perjuangan untuk mendapatkannya. Angle yang pas, kamera yang canggih, kemampuan memperhatikan detail kecil. Hasil kerja keras pula yang membuat kita mampu membeli makanan atau pergi ke suatu tempat. Halal. Sama sekali tidak ada yang salah dengan hal itu.

Terlebih, di social media, orang pada umumnya berhubungan dengan teman-teman yang berada dalam lingkaran kecil pergaulan mereka. Hal ini bisa diartikan bahwa lingkaran pergaulan tersebut memiliki kesetaraan dalam hal kemampuan ekonomi, tingkat pendidikan, juga intelektualitas. Sangat minim terjadi konflik. Lagipula jika sudah merasa tidak nyaman dengan posting seseorang, ada fitur ‘unfollow’, ‘unshare’, atau ‘unfriend’. Beres deh urusan.

Tapi untuk beberapa hal, tidak sesederhana itu. Yang paling aktual tentunya kejadian ricuh perayaan hari raya suci umat Buddha, Waisak yang jatuh pada akhir pekan lalu. Situs berita okezone telah menayangkan berita kericuhan yang terjadi seputar perayaan ini. Oke, mungkin saja ada andil kurangnya kordinasi panitia dengan penduduk setempat dan para turis. Mungkin juga ada unsur keterlambatan Bapak Menteri Agama yang mengganggu prosesi acara, mungkin juga hal-hal lain seputar prosedural dan perizinan yang memang kurang diperhatikan.

Tapi kita tidak bisa pungkiri bahwa ada andil yang tak kalah besar dalam kericuhan tadi. Sangat disayangkan bahwa yang saya maksud adalah tingkah no respect dari para turis. Bayangkanlah jika anda sedang berdoa khusyuk dengan cara anda, lalu suara celotehan gaduh membahana, belum lagi kilatan lampu blitz kamera-kamera mainstream DSLR akhirnya mengganggu ibadah anda. Belum lagi mereka yang memaki-maki batalnya pelepasan lampion akibat hujan deras turun.

Mereka memaki-maki batalnya pelampiasan lampion yang berakibat mereka gagal mendapatkan sebuah objek, tapi tidak memikirkan betapa terganggunya proses peribadatan orang lain.

Egoisme dan sifat yang tidak ada respect semacam ini  memang buah dari sifat narsis berlebihan. Namanya juga etalase kehidupan, orang tentu cenderung memajang hal-hal terbaik yang bisa dilihat orang. Pengalaman langka seperti prosesi waisak di Candi Borobudur memang masuk kriteria sebagai event yang keren dan kece untuk didatangi, malah bisa juga kita sebut hipster, tanpa kita berpikir bahwa prosesi itu adalah semata ritual keagamaan yang membutuhkan suasana tenang ketimbang ekspos berlebihan.

Saya pernah membaca, bahwa di Amerika Serikat dokter spesialis bedah plastik bisa mendapat penghasilan hingga 6 juta dollar setahun untuk mengoprasi wajah, hidung, hingga payudara (saya percaya di Indonesia sih tidak se-ekstrim ini). Setelah ditelisik, mereka memang melakukan hal itu salah satunya agar bisa dengan percaya diri memajang foto di akun social media mereka. Di era sekarang, first impression dari sisi penampilan memang dianggap lebih krusial ketimbang pengamatan mendalam terhadap karakter seseorang. Jika ingin berkenalan dengan seseorang, kita terbiasa mengintip akun social media orang tersebut sebelum bertemu langsung. We let the social media define us.

Kembali ke persoalan para traveller ini, saya jadi teringat sebuah posting sarkastis tentang perangai para traveller ini disini. Meski tidak sepenuhnya sependapat dengan tulisan tersebut, namun ada beberapa poin penting yang penulis tegaskan mengenai kurangnya kesadaran dari para traveller untuk setidaknya menjaga kemurnian destinasi wisata yang mereka datangi.

Saya pribadi not quite a traveller, karena terbilang jarang bepergian. Meski demikian, saya memang menyimpan keinginan untuk suatu saat dapat mengunjungi beberapa tempat di suatu belahan dunia. Semula, memang tujuan saya cukup cheesy untuk itu, dan tidak bisa dipungkiri memang keinginan untuk pamer tetap ada, meski hanya ke beberapa orang dekat.

Buku-buku bermutu tentang cerita perjalanan (misalnya 99 Cahaya di Langit Eropa oleh Hanum Rais) dan juga tulisan-tulisan seperti diatas lumayan membuka pikiran tentang bagaimana menyikapi sebuah perjalanan. Bahwa memperlakukan travelling sebagai eskapisme dan untuk kegiatan foto-foto narsis belaka hanya akan menghilangkan esensi dan makna dari sebuah perjalanan.

Perjalanan harus memberikan suatu pelajaran, perenungan, pengetahuan bahkan aksi nyata ketimbang sekadar menjadi bahan cerita “Saya sudah pernah kesini, kesitu, kesana…” ataupun penghias status social media macam. “3 hari 4 malam ke 3 negara, capek banget tapi senang.”

Rabu, 22 Mei 2013

My 20 silly things


“A simple things, where have you gone.” Begitulah potongan lirik lagu band Keane yang sangat banyak di-quote oleh orang-orang yang hidupnya mendadak sangat tertekan, entah karena fenomena puber atau karena sudah mulai mengalami mildlife crisis.

Hidup makin susah, ngapain juga serius-serius amat. Enjoy little things dan berbuat badung kadan-kadang boleh lah. Dengan demikian, saya coba mengingat-ingat hal-hal konyol yang pernah saya alami atau lakukan bersama teman-teman. Hal yang hanya bisa terjadi di masa lalu, hanya bisa ditertawakan di masa kini dan kemungkinan besar tidak bisa diulangi di masa depan.

1. Saya pernah mencuri singkong bersama teman-teman, dan lari terbirit-birit ketika kepergok.
2. Saya pernah mem-bully lawan tanding sepak bola yang songong dengan mengincar kepala si penjaga gawang. Berhasil karena wajahnya memerah akibat tendangan-tendangan saya. Setelah pertandingan selesai, kami nyaris berkelahi.
3. Saya pernah memecahkan lampu lapangan bola karena menabrak tiangnya, lalu karena teman-teman saya kabur, saya ikut kabur.
4. Saya pernah menjahili orang yang lewat depan rumah dengan memasang jebakan benang, jebakan lubang atau menyemprot wajah orang itu dengan semprotan air berbentuk suntikan.
5. Ketika manggung di sebuah acara, teman saya dengan telak salah memencet kunci gitar. Harusnya kunci A, dia memencet A minor. Dan itu bunyinya sangat santer terdengar. Sebagian penonton yang sepertinya mengerti lagu yang kami mainkan, wajahnya berubah bingung.
6. Ketika sedang berlatih di studio musik, saya pernah menyuruh teman saya untuk mencoba menggunakan Bass dengan 5 senar, karena 4 senar sudah biasa. Ketika mengetesnya, ia dengan percaya diri berbicara memakai mikrofon. “Oi, ini kok gak nyetem ya senarnya yang paling atas.” Lalu dijawab oleh teman saya yang lain (juga dengan mikrofon) “Kalo senar bass, senar 5 itu kunci dasarnya B, bukan E.” Seketika wajah teman saya merah padam sementara operator studio tertawa cekikikan.
7. Saya pernah menyuruh teman saya menyembunyikan sepeda teman saya yang lain, yang sedang berulang tahun. Ketika hendak pulang, ia mencari-cari sepedanya hingga matanya berkaca-kaca. Saya dan teman-teman menyembunyikan sepedanya dibalik sebuah pohon besar.
8. Saya pernah membentak teman saya yang malas berlatih sepak bola. Ketika itu, saya menghukumnya dengan menyuruhnya berlari dua putaran keliling komplek. Sementara teman saya yang lain mengawasi dengan sepeda.
9. Ketika sedang balap lari (balap lari biasa, bukan lomba), teman saya mendahului saya. Tidak terima, saya menjatuhkan badan ke punggungnya, lalu mendorongnya. Ia terjatuh dan saya menang. Tapi sesudah itu kakaknya yang perempuan mendatangi saya lalu mengomel tanpa henti.
10. Ketika bermain dirumah teman saya yang ibunya galak, saya sengaja menyembunyikan telur-telur ayam negeri miliknya. Saya pindahkan dari kulkas ke mesin cosmos penyimpan beras karena kesal. Lalu saya pulang.
11. Saya pernah naik angkot, lalu turun tanpa membayar. Masih belum mengerti kalo naik angkot itu bayar.
12. Saya pernah menonton 6 pertandingan sepak bola secara marathon. Dari jam 7 malam hingga 5 pagi.
13. Saya pernah mendengarkan 1 lagu berulang-ulang selama 6 jam, seperjalanan kereta api Jakarta-Semarang.
14. Saya pernah dihukum gara-gara tidak pernah mengerjakan latihan soal. Guru saya membentak. “Keluar! Kamu renungkan kesalahan kamu!” Bukannya merenung, saya malah main bola di lapangan.
15. Saya pernah menembaki ayam tetangga dengan pistol mainan yang pelurunya terbuat dari plastik.
16. Saya pernah bolos les pelajaran hanya untuk bermain sepak bola, saya selundupkan perlengkapan di tas sehingga tas saya sangat berat.
17. Saya pernah komporin teman agar putusin pacarnya. “lo mau pilih cewek atau sepak bola?” Tegas saya waktu itu karena kesal dengan kelakuan teman saya yang sering bolos latihan.
18. Saya pernah tidak mencukur rambut selama 4 tahun. Rambut saya yang keriting itu kemudian menghalangi pandangan teman-teman saya kepada papan tulis di kelas. Akibatnya, saya selalu duduk di bangku paling belakang bersama anak-anak bandel.
19. Saya sering meledek pengirim SMS mama minta pulsa atau penelpon yang menyebutkan kerabat dekat sedang sakit keras. Ledekan yang benar-benar membuat mereka marah.
20.  “Labil” adalah nama tengah saya jika menyangkut urusan percintaan. Saya bisa berubah sikap dan pendirian lebih cepat daripada Kotaro Minami berubah menjadi Satria Baja Hitam.

Rabu, 15 Mei 2013

Semoga Rock Tidak Mati

Dalam beberapa hal di dunia ini, saya merasa sendiri. Tidak mainstream, tidak seperti orang kebanyakan. Ya sebut saja saya tidak suka-suka amat pada pantai dan hanya suka musik rock.

Dalam hal musik rock ini, saya memiliki kegelisahan yang terkadang saya pikir memang subjektif, tapi ternyata setelah membaca tulisan dan mengobrol dengan beberapa orang, memang sudah banyak orang yang seperti saya: merindukan kejayaan musik rock dan muak dengan musik sekarang.

Ya, memang industri musik sekarang ini sangat memprihatinkan. Lagu-lagunya standar dan itu-itu saja. Menggunakan komputer di sana-sini sebagai penghias lagu bukannya seperangkat drum, bas dan gitar saja sebagai nyawa lagu. Coba deh dengerin lagu-lagu sekarang (saya yakin anda tahu lagu-lagu seperti apa yang saya maksud), lalu dengarkan lagi tahun depan. Pasti sudah basi dan terasa tidak enak lagi didengar. Lalu coba dengar lagi lagu seperti I'll be there for you-nya Bon Jovi atau 18 and life-nya Skid Row. Bandingkan dengan lagu sekarang yang baru rilis satu tahun lalu.

Musik rock sebenarnya sederhana. Dave Grohl bilang bahwa anda tinggal membeli seperangkat drum bekas, gitar butut, bass butut dan amplifier yang suaranya sudah pecah, lalu ajak teman-teman anda untuk bermain di garasi rumah anda, dan mainkan musik berisik. Sesederhana itu. 

Sekarang banyak band yang tidak memiliki modal kemampuan bermusik yang cukup namun bisa sukses, dan banyak pula yang sekadar ikut-ikutan lalu hanya menjadi one hit wonder. Saya tidak berprasangka buruk, saya tahu banyak sekali musisi dengan kemampuan bermusik tinggi, tapi mereka juga tidak bisa mengeluarkan lagu dengan solo gitar panjang dan beat cepat karena akan dianggap “terlalu bising” dan tidak sesuai dengan permintaan pasar.

Musik rock jelas pantas mendapat apresiasi lebih, jauh dari yang didapat sekarang. Bagaimana tidak, musik rock ini memiliki band-band serta tokoh-tokoh yang bisa dibilang ikonik, dari mulai Elvis Presley, John Lennon, hingga Jimi Hendrix. Ataupun legenda-legenda hidup seperti Mick Jagger, Bruce Dickinson atau Lars Ulrich.

Sekarang, penyuka musik rock malah dibilang seleranya jadul atau angkatan tua. Pada saat saya menonton Guns & Roses ataupun Mike Portnoy & friends, memang menyedihkan bahwa tidak ada teman saya yang mau diajak menonton, dan pada saat sampai di venue, penonton yang hadir memang berkategori om-om eksekutif muda sukses yang sebenarnya terlalu tua jika kita lihat mereka ber-headbanging.

Bukankah musik rock seharusnya musik anak muda? Bukankah anak muda seharusnya enerjik, dinamis dan tidak galau? Bukankah seharusnya mereka menjadikan patah hati atau putus cinta sebagai lucu-lucuan dan bukannya diseriusin sampai galau?

Acara-acara rock seperti malu-malu untuk digelar, baik skala besar maupun kecil. Program di radio yang menyajikan musik rock seharian penuh hanyalah Rock Weekend KIS FM. Dari namanya saja sudah ketahuan, acara ini hanya diputar pada akhir minggu, dan hanya sekali. Di mal dekat tempat tinggal saya, acara musik classic rock sebenarnya ada, tapi mereka menaruhnya di hari minggu malam, bukan prime time seperti jumat malam atau sabtu malam. Seolah musik rock dianggap seperti dibiarkan ada saja, tapi tidak dibina.

Keruntuhan industri musik memang ibarat tinggal menunggu klub Wigan Athletic terdegradasi dari EPL (dan memang sudah terjadi). Saat ini, terlalu banyak studio musik yang gulung tikar karena kurangnya minat anak-anak muda pada kegiatan ngeband, juga kurang musimnya acara pentas seni yang menghadirkan konsep full-band karena mereka menggantinya dengan konsep akustik minimalis. Bisa dibayangkan musik macam apa yang dimainkan oleh anak-anak yang lebih suka nongkrong di minimarket sambil ngobrol ngalor ngidul? Bukannya anak-anak yang main gitar 4 jam sehari untuk ngulik lagu-lagu Joe Satriani?

Untungnya masih ada secercah harapan. Setidaknya konser rock masih rutin digelar, artis-artis lawas masih diundang demi membakar kembali semangat rock yang mulai padam diantara generasi muda. Situs seperti www.jakartabeat.net banyak sekali menghadirkan tulisan-tulisan provokatif yang membakar semangat rock untuk generasi muda agar mereka tidak menjadi generasi yang membuat musik rock punah.

Mereka yang berada di jakartabeat tersebut saya yakin berusia sama dengan saya, atau lebih tua. Meneriakkan sisa-sisa kejayaan musik rock lewat tulisan-tulisan dan ajakan-ajakan mereka. Memperkenalkan kembali musik yang memang lebih layak untuk dikulik dan dipelajari agar tidak terjadi missing link di generasi sekarang terhadap kedahsyatan musik rock.

Rabu, 01 Mei 2013

My bands, my friends, my surroundings

Sebagai seorang yang antusias pada musik, selalu ada keinginan bagi saya untuk membentuk band dimanapun saya berkecimpung. Sudah beberapa band yang saya bentuk, atau band di mana saya menjadi anggota pelengkap. Ada yang bercita-cita tinggi, hanya sekejap, dan insidentil. Genrenya juga bermacam-macam. Inilah mereka:

Dreamer
Inilah nama band pertama saya. Kami bertemu dalam satu SMA. Sesuai namanya, kami memang hanya bermimpi. Band yang diisi oleh kumpulan anak muda labil dan bingung apakah mementingkan latihan band atau pacaran. Well, sebagai satu-satunya jomblo waktu itu di band ini, saya memang seperti tokoh antagonis yang pastinya tidak disukai pacar-pacar teman saya karena waktu latihan kerap mengganggu waktu mereka pacaran.

Band ini memainkan lagu-lagu khas orang baru belajar main musik. Lagu “band 3 kord” Green Day adalah yang paling sering kami mainkan. Saya memegang gitar di band ini. Kadang, kami juga memainkan Nirvana dan Metallica dengan kemampuan seadanya. Meski hanya sesaat dan tidak pernah manggung sekalipun, band ini adalah lambang perkenalan saya terhadap musik rock, yang sampai sekarang saya paling suka dibanding genre lain.

Setelah seorang personel (bassist) keluar karena merasa tidak cocok dengan personel lain, band ini kemudian bubar karena si vokalis dengan childish melarikan diri dan memilih untuk pacaran pada saat seharusnya mengikuti audisi tampil di acara sekolah.

Chicken Soup
Band kedua saya ini juga saya jalani di SMA. Setelah membubarkan Dreamer, saya bersama teman-teman baru yang menggemari band Dewa, Padi, dan Sheila on 7 yang saat itu sedang tenar memutuskan untuk membentuk band yang dinamakan Chicken Soup.

Nama ini diambil karena para personelnya berhati “chicken” alias pengecut dalam hal mendekati gebetan. Tapi secara skill, band ini jauh diatas Dreamer.

Saya masih memegang gitar, dan di audisi pertama kami gagal, padahal ekspektasi kami sangat tinggi saat itu. Semua kecewa, lalu personel band dirombak. Vokalis berganti, mengambil vokalis lain yang didepak oleh band lain. Pada saat manggung perdana, formasi band ini berubah total. Teman saya yang biasa bermain bass tiba-tiba memegang gitar, sementara sang keyboardis memegang bass.

Saat itu, memang saya kurang perhatian pada kualitas vokalis band kami. Bukan berarti vokalis kami jelek (ada 3 orang saat itu), tapi lebih karena tidak adanya pengaturan dan pembagian vokal. Kami terlalu sibuk mengurus aransemen lagu, sehingga abai pada kualitas vokal –hal yang membuat kami gagal lolos audisi.

Selepas lulus SMA, band ini praktis bubar, meski tidak ada kata bubar terucap.

Liar
Ini nama band yang asal terucap. Namanya juga asal, hasilnya pun kadang asal. Dalam band ini, saya mulai belajar main drum, yang akhirnya bertahan sampai sekarang. Di sini, saya bertemu seorang shredder guitarist yang sangat hobi untuk memainkan tehnik bergitar yang rumit. Ia penggemar Dewa era Ari Lasso, Guns & Roses, Mr. Big, dan Metallica. Band ini kemudian memainkan lagu-lagu tersebut.

Kesamaan genre yang kami usung membuat kami solid, namun kurangnya visi membuat kami jalan di tempat. Kami seperti katak dalam tempurung. Tidak bergaul dan tidak mencari network yang akan berguna bagi kami. Kami memang sempat manggung di beberapa acara, dan meninggalkan impresi positif. Tapi kemudian inkonsistensi permainan beberapa personel membuat band ini statis. Gitaris rhythm kami keluar karena memang dia angot-angotan, sementara bassist kami juga kemudian menyusul karena level permainannya tidak kunjung menyamai anggota lainnya.

Fireball
Dari personel Liar yang tersisa hanya 3, kami membentuk band dengan nama baru: Fireball. Saya mengambilnya dari sebuah judul lagu band Deep Purple. Dengan format minimalis ini, kami masih sanggup manggung di beberapa tempat, termasuk tempat ramai seperti mall. Kami lalu mencari-cari vokalis dan gitaris tambahan, pencarian itu berujung pada kedatangan dua orang teman eks personel band beraliran punk.

Kami sempat manggung sekali, sebelum kedua teman saya itu “menghilang” karena mereka kemudian bekerja diluar kota. Lalu saya mengajak seorang teman SMA untuk menjadi vokalis, dan hasilnya lumayan, meski sampai sekarang belum pernah tampil dimuka umum dengan formasi ini.

Kesibukan mengurus anak dan tempat kerja yang berjauhan membuat kami sulit berkumpul untuk latihan, padahal dengan band ini saya paling nyaman karena kesamaan genre. Sampai sekarang, sudah setahun lebih kami tidak berkumpul meski belum ada kata bubar.

Tax Freak
Ini adalah band paling megah yang pernah saya punya, baik secara materi lagu maupun tingginya level exposure. Band ini “banci” karena memainkan dua peran yaitu band kantor dan band senang-senang. Sebagai band kantor insidentil yang beranggotakan satu atau dua atasan, tentu ekspresi menjadi tertahan. Sebuah konsekuensi logis. Di sini, saya kembali memainkan gitar seperti jaman SMA dulu. Bersama band ini, saya harus juggling membagi waktu antara band dan pekerjaan. Dan memainkan peran ini memiliki tekanan yang memusingkan sekaligus menantang dan menyenangkan.

Sementara untuk versi “tanpa bos”, band ini memiliki keberagaman genre sesuai kegemaran para personelnya. Saya memainkan drum disini. Saya tidak bisa memaksakan genre rock pada anak-anak penggemar soul, pop atau R&B sebagai contohnya. Di band ini, saya belajar untuk menjadi pemain “pengiring” di mana kami memainkan lagu sesuai pesanan. Toleransi juga menjadi bagian penting dari band ini karena kami harus menyatukan berbagai ide yang datang dari preferensi pada genre berbeda.

Sampai sekarang, saya masih suka diajak latihan atau manggung oleh band ini, meski sudah tidak berada satu perusahaan dengan mereka. Setelah sempat berkoar-koar untuk menyeriusi band ini dan berencana membuat lagu sendiri, nampaknya mereka kini sudah lupa karena tenggelam terlalu dalam pada pekerjaan dan intensitas mengejar karir.

(No Name)
Band terbaru saya bersama teman kantor baru. Sebelumnya, katanya di kantor ini tidak pernah ada yang membentuk grup band, maka saya berinisiatif untuk membentuknya. Beranggotakan para mantan anak band dengan kemampuan merata dan tidak ada yang sangat menonjol, beda dengan di Tax Freak. Positifnya, kami besar di era yang berdekatan, dan menyukai genre yang relatif sama, yaitu rock sebagai dasar, dan lagu-lagu era 90an.

Setelah hanya beranggotakan 4 orang dan saya memainkan gitar, masuknya dua gitaris baru lalu menggeser saya ke posisi bass. Saya tidak memainkan drum karena sudah ada teman saya yang memang drummer. Formasi 6 orang ini berjalan cukup lancar dan kami telah menampilkan permainan bagus saat pertunjukan. Sayangnya, vokalis saya yang bersuara tinggi ini resign dari kantor.

Dan karena band ini memang sifatnya insidentil, sampai saat ini kami masih belum memikirkan lagi langkah selanjutnya. Oh iya, kalau saya sih akan belajar meningkatkan kemampuan bermain bass saja, instrumen yang belum saya kuasai benar.

***
Ya, demikian cerita band-band amatiran saya. Bagaimana dengan anda? 

Tentang Kepingan Memori dan Kontemplasi Stagnansi

Hari ini bukanlah hari yang baik buat saya. Bangun telat, akhirnya saya memutuskan mengendarai sepeda motor, bukan mobil seperti biasa. Saya kira tadinya ini keputusan bagus mengingat musim hujan (sepertinya) sudah usai. Tapi saya salah.

Hujan terus mengguyur kota Jakarta dari pukul 2 hingga maghrib, lalu berlanjut lagi hingga sekarang pukul 10 malam. Saya masih duduk di meja kerja untuk beres-beres sambil menunggu hujan reda, mengingat tidak ada persiapan jas hujan dari rumah. Akhirnya, saya berselancar.

Sedang bosan menulis atau membaca artikel sepak bola, saya membuka salah satu akun socmed yang telah lama saya cueki, Facebook. Dari berbagai klik dan penelusuran atas teman-teman, saya lalu menemukan seorang mutual friends yang ternyata teman saya saat SD dulu di Pasar Minggu. Teman-teman saya yang dari SD ini memang seperti tidak menjadi bagian hidup saya, karena saya masih terlalu kecil saat itu untuk mengenal mereka, bahkan mengingat nama dan wajah-wajah mereka. Tapi dari potongan-potongan kecil memori yang saya punya, akhirnya saya ingat beberapa orang teman, lalu asik berselancar kepada profil mereka, melihat-lihat foto mereka… yaa semacam aktivitas standar stalking lah.

Saya tidak akan add mereka as friend karena mereka sudah pasti sudah lupa dengan saya. Saya hanya 3 tahun sekelas dengan mereka, dari kelas 1 hingga kelas 3, sebelum kemudian saya pindah makin ke selatan, ke kota Depok.

Menemukan teman lama sama saja bertemu orang baru, tapi kita sudah kenal dia secara biodata, dan secara historis tentunya. Teman lama tersebut (apalagi teman masa kecil) tentunya sudah bukan lagi orang yang sama seperti yang kita kenal dahulu. Dan ketika saya mengklik satu persatu profil teman-teman lama yang saya ingat tersebut, saya hanya bisa tersenyum-senyum memandangi “etalase” kehidupan mereka yang telah mereka pajang di media sosial temuan Mark Zuckenberg ini.

Ada teman saya yang dulu anak orang kaya, kini menjadi seorang vokalis di sebuah band yang sepertinya ia bentuk bersama teman-teman kuliahnya. Ada pula teman saya yang menjadi staff IT di sebuah perusahaan, ada yang bekerja diluar negeri, ada yang bekerja sebagai pegawai pajak diluar pulau Jawa, dan lain-lain.

Wajah mereka masih tetap sama seperti dulu, saya seperti menyusun kepingan-kepingan memori lemah yang masih tersisa, mengingat-ingat wajah mereka, dan apa saja yang pernah saya lalui dalam waktu singkat masa kanak-kanak dengan mereka. Ah sayang sekali dulu belum ada kamera digital atau sejenisnya, sehingga foto-foto saya dengan mereka sudah raib entah kemana.

Lalu saya ingat-ingat lagi teman-teman lama saya yang lain. Dan setelah saya renungkan, hidup mereka sudah banyak yang jauh berubah dari kehidupan lama mereka. Bermacam-macam kehidupan terpampang dihadapan saya secara sesaat, membayangkan betapa dahulu kami masih sama-sama belajar di bangku sekolah. Meja yang sama coklat, kursi yang sama keras. Kini, masing-masing dari kami telah menduduki kursi yang boleh jadi berbeda. Bahkan, tidak sedikit yang bahkan belum memiliki kursi untuk menyandarkan lelah, karena kehidupan belum memberi mereka waktu untuk duduk bersantai.

Ah tanpa terasa hal ini membawa saya kemana-mana, termasuk bercermin pada diri sendiri. Dan ketika bercermin, saya bersyukur dengan segala kesederhanaan ini.