Minggu, 30 Agustus 2015

Empat Tipe Teman Yang Sebaiknya Kita Pertahankan

Semakin dewasa (tua!), dengan kesibukan pekerjaan yang seperti tidak ada habisnya dan juga keluarga yang harus diurus, kita akan semakin sedikit menghabiskan waktu bersama teman. Dan tentu saja kita jadi lebih selektif dalam memilih teman, berbeda dengan zaman sekolah dulu saat kita bisa berteman dengan siapa saja dan bisa menghabiskan waktu tanpa khawatir berlebih tentang hari esok.

Di lingkungan kerja, kita memang berteman, tapi tidak jarang hubungan pertemanan di sana hanyalah sebatas profesional. Banyak yang hanya memakai ‘topeng’, tidak sedikit pula sosok-sosok yang siap menunggu kita melakukan kesalahan untuk mengambil alih posisi kita.

Kita tetap membutuhkan teman-teman di luar kantor. Selain untuk memperluas wawasan, juga menghindari kejenuhan karena bertemunya elo lagi elo lagi. Lalu teman di luar kantor yang seperti apa yang sebaiknya kita pertahankan?

Si Cermin
‘Derajat’, visi, kemampuan finansial, selera, gaya hidup dan hobi orang ini kurang lebih sama dengan kita. Sangat menyenangkan memiliki figur seperti ini dalam hidup. Dengannya, kita jarang debat kusir, yang ada malah bertukar ide. Jika ada permasalahan, orang seperti ini juga mampu memberi saran yang membantu kita back on track. Karena satu ‘derajat’ tadi, jika kita membicarakan prestasi maka kita tidak akan dibilang sombong, dan jika membicarakan kemunduran, kita tidak akan dianggap lebay.

Si Role Model
Si role model adalah sosok teman yang memiliki pencapaian jauh di atas kita. Entah dari sisi spiritual, finansial, pengalaman hidup atau apapun itu. Sosok yang kita look up, atau sosok yang ingin kita tiru.

Kebalikan dengan si cermin, sang role model mungkin bukanlah orang yang paling enak diajak ngobrol, tapi ketika kita bertemu dengannya, kita akan terinspirasi dan termotivasi. Ya, kita kan hanya manusia biasa yang gak selalu stays on top. Dan kadang kita terlalu angkuh untuk meminta pertolongan orang lain untuk bangkit. Jika si cermin cenderung membawa hidup kita pada status quo, si role model ini selalu menantang kita untuk mencapai sesuatu yang lebih, atau setidaknya sesuatu yang baru.

Si Loyal
Seiring berlalunya waktu, teman seperti ini tidak pernah lupa dengan apa yang pernah dilalui. Dia akan selalu menghubungi untuk sekadar menanyakan kabar atau berbicara remeh temeh tanpa adanya agenda khusus. Dia jelas bukan tipe orang yang hanya datang ketika butuh atau ada maunya doang. Dia juga akan melihat sosok kita apa adanya, bukan dari atribut apa yang kita kenakan. Dalam beberapa kesempatan, kita dan si loyal akan bertukar hadiah atau hal-hal baik lainnya.

Si Simple
Teman seperti ini selalu membawa keceriaan. Bersama dia, bahkan kita bisa berbicara satir tentang kemalangan yang menimpa. Pemikirannya lebih sederhana dan cenderung memandang hidup dari sisi positif. Orang ini juga menghargai setiap perbedaan dan tidak akan memberi judgement dangkal dari satu sisi, seperti orang pada umumnya.

Rabu, 12 Agustus 2015

Bully

Ada beberapa jenis sifat dan perilaku orang yang saya tidak sukai. Salah satunya adalah sifat dan perilaku bullying. Bullying menjadi masalah bagi kebanyakan murid di sekolah. Korban bully ini tidak berdaya menghadapi intimidasi teman-teman sebayanya yang berbadan lebih besar dan berjumlah lebih banyak.

Jika kamu berpikir bahwa bullying akan berakhir selepas sekolah, maka kamu salah besar! Bullying, seberapa pun saya bencinya, tetap saya saksikan (dan kadang saya sendiri alami) meski sudah di dunia kerja.

Kadang hanya bully-bully kecil dalam pergaulan sehari-hari. Beberapa orang memang punya kecenderungan mem-bully. Kalau ngomong gak mau kalah, suka memojokkan orang, dan bangga sendiri. Mem-bully orang lain memberinya kepuasan batin.

Oh ya sudahlah, kalau bertemu yang seperti itu, ya kasih aja biar dia seneng. Daripada dia jadi stres.

Tapi, kadang memang saya gak tahan. Kalo cowok, saya jadi pengen nonjok mulutnya. 
 
Lha kalo cewek?

Cuekin aja. Anggap aja nyamuk yang lagi ngerubung di atas kepala. Gak berbahaya walaupun ngeselin. Kalau ada sapu lidi, ya sabet aja mereka pakai sapu lini. Kalau ada semprotan anti serangga, ya semprot aja.

Sekali lagi, anggap aja suara-suara mereka itu seperti suara nyamuk yang akan dengan mudah kamu lupakan.

Selesai!

Senin, 10 Agustus 2015

Menjadi Bunglon

Adaptasi. Begitulah yang ada di pikiran saya ketika mengingat hewan bunglon. Salah satu kelebihan bunglon dibanding hewan lainnya adalah kemampuan mereka mengubah warna kulit tergantung pada lingkungan sekelilingnya. Ia dapat menyerupai warna batu, batang pohon atau daun. Adaptasi yang dilakukannya tentu saja berguna untuk mengelabui pemangsa. Untuk bertahan hidup.

Saya sedikit melihat sifat diri saya pada hewan ini. Dalam keseharian, saya cukup mahir untuk bersikap tidak mencolok. Stay low. Dalam lingkungan pekerjaan, saya pun lebih sering menahan diri ketimbang mengeluarkan emosi. Begitu pula dalam hal lainnya di mana saya tidak terlalu larut dalam emosi. Poker face, ekspresi datar, sikap cuek dan tidak stand out

Saya juga menemukan sifat ini ketika menulis. Gaya penulisan dan tema tulisan yang saya buat akan tergantung kepada tempat saya menulis, juga siapa pembacanya. Saya bisa menulis dengan gaya berbeda antara di blog pribadi, blog sepak bola, juga situs-situs mainstream sepak bola. Saya tidak mematok diri pada satu gaya. Tujuan saya
 menulis adalah untuk berbagi informasi, karena itulah saya tidak terlalu mementingkan apa yang disebut ciri khas. 

Tidak punya ciri khas, tidak punya jati diri, tidak punya pendirian adalah sisi negatif dari cara hidup seperti ini. Tapi memang dalam banyak hal, hidup memang bukan soal saya sendiri. Saya hidup untuk memberi makan keluarga, karena itulah saya bekerja sebagai pegawai swasta dengan karir yang cukup nyaman, meskipun saya tidak sebegitunya mencintai pekerjaan kantoran ini. Hidup adalah bagaimana kita berperan. Ketika berada di kantor, saya berperan sebagai karyawan, dan saya selalu bersungguh-sungguh untuk untuk menjadi karyawan yang baik. 


Tetapi ketika berada di rumah, saya berperan sebagai suami dan ayah sekaligus melepas atribut karyawan. Saya berusaha menjadi sosok menyenangkan bagi anak, dan tidak akan bersikap serius seperti ketika berada di kantor. Begitu pula ketika nongkrong bersama teman-teman, sudah pasti saya melepas atribut kepala keluarga dan karyawan. Saya akan bersenang-senang dengan sungguh-sungguh, dan karena itulah saya jarang membawa serta keluarga ketika sedang bersama teman-teman.

Semua memang ada tempatnya. Ikan mas koki dan ikan cupang tentu tidak bisa disatukan dalam satu kolam.

Jumat, 07 Agustus 2015

Apa Yang Salah Dari Nonton Bioskop Sendirian?

Kemarin malam, untuk kali pertama dalam setahun lebih, saya pergi nonton bioskop. Film yang saya tonton adalah Mission Impossible: Rogue Nations. Lain kali saya akan bicara khusus tentang film ini, tapi singkatnya, semestinya judul Mission Impossible diganti dengan Ethan Hunt, karena menurut pendapat saya, semua yang ada di film ini (sejak sekuel pertama) adalah tentang seorang jagoan bernama Ethan Hunt.

Oke, sekian spoiler-nya. Kemarin, saya nonton film itu sendirian, seperti halnya saya nonton sendirian untuk banyak film lainnya. Bagi orang-orang modern -yang terbiasa terlalu banyak berbicara satu sama lain- nonton sendirian adalah hal yang aneh. Setidaknya, penilaian ini saya dapat dari beberapa orang yang saya kenal.

Apa tujuan nonton bioskop? Tentu saja untuk menonton film, bukannya untuk ngobrol. Tidak ada salahnya menonton film sendirian. Sejak jaman jomblo sampai kini saya sudah berkeluarga, saya masih suka nonton sendirian. Dan sepanjang itu pula komentar-komentar masih ada. Mereka bersikap seolah mereka adalah badan standarisasi pergi nonton bioskop, di mana teater bioskop adalah tempatnya orang pergi beramai-ramai, dan orang yang pergi sendirian adalah jomblo ngenes (jones), jomblo bingung (jombi) atau para antisosial aneh yang tidak punya teman.


Hal sama berlaku untuk kegiatan nonton bola. Katanya, bukan penggemar sepak bola kalau tidak suka nobar.

Manusia dengan segala standar yang mereka buat-buat. Dalam hidup yang mereka kotak-kotakkan.

Begitu pula ketika pergi makan. Apakah tujuan kita pergi ke sana? Tentu saja untuk makan. Bukan untuk ngobrol, bukan untuk berfoto. Bagi beberapa orang, pergi makan sendirian akan dianggap sama anehnya dengan yang nonton bioskop sendirian.

Padahal kalau kita memang ingin mengobrol, kita bisa memilih pergi kedai kopi -baik yang modern sampai yang kelas proletar-. Kalau memang ingin berdiskusi serius, kita bisa menyewa ruang meeting.

Itu kalau saya.

Pergi makan sendirian, atau nonton sendirian tidaklah aneh, sama dengan tidak anehnya mereka yang suka makan bareng-bareng atau nonton bareng-bareng. Yang aneh itu kalo pergi nonton berdua sambil gandeng-gandengan, peluk-pelukan dan mesra-mesraan dengan yang berjenis kelamin sama. HAHAHAHAHA.