Senin, 25 Agustus 2014

Setelah Elvis dan Beatles, Lalu Sekarang Apa?

Semalam, saya yang sudah cukup mengantuk menyempatkan diri untuk menonton sebuah talkshow di sebuah stasiun tv. Kebetulan, para bintang tamu yang hadir yaitu para vokalis band dari era 90an, menarik perhatian saya untuk menonton.

Pembicaraan antara host dengan narasumber awalnya berlangsung agak text book. Tapi lama kelamaan, para narasumber dengan pengetahuannya yang mumpuni di bidang musik memberi saya pengetahuan baru yang cukup menggelitik. Menggelitik untuk pertanyaan sesuai dengan judul entri tulisan ini.

Sebelum era sekarang, dunia musik seolah terbagi menjadi dua periode besar.Periode pertama adalah periode pertunjukan di mana gedung pertunjukan musik kerap dipenuhi penonton yang ingin menyaksikan sebuah konser musik. Pada masa itu, konser musik sudah berpadu dengan dunia pertunjukan sehingga hal-hal teknis semacam lighting, backing vocal, koreo dan sejenisnya juga sudah digarap –layaknya sebuah pertunjukan spektakuler.

Namun pertunjukan itu menampilkan seorang artis yang memainkan lagu orang lain, bukan lagunya sendiri. Elvis Presley yang notabene menjadi artis paling terkenal saat itu tidaklah memainkan lagunya sendiri, melainkan lagu yang orang lain tulis untuknya. Elvis, bagaimanapun tetaplah seorang musisi besar.Ia bernyanyi dan bermain gitar sama bagusnya, dan tentunya tampil di panggung dengan penuh kharisma. Ia adalah ikon saat itu. Elvis menandai sebuah era.

Setelah era Elvis berlalu, muncullah sekelompok pemuda dari Liverpool, Inggris yang kemudian membentuk sebuah band bernama The Beatles. Bedanya dengan Elvis, mereka menuliskan lagunya sendiri. Lirik, melodi, harmoni, ekspresi, hingga pembagian vokal juga mereka garap.Alih-alih meminta bantuan sekelompok penyanyi untuk menjadi backing vocal, mereka –seperti telah disinggung- membagi-bagi part vokal dalam lagu-lagu mereka. Jadilah sebuah band yang menampilkan lagu mereka sendiri, lalu menggabungkannya dengan unsur pertunjukan.

Apa yang dilakukan oleh The Beatles saat itu ternyata disukai oleh publik. Hal ini lantas menjadi sebuah revolusi di industri musik. The Beatles kemudian seperti kita ketahui memberi pengaruh kepada nyaris seluruh musisi pop setelahnya. Nada, notasi dan pola dari lagu-lagu pop maupun rock yang kita dengar sekarang bisa dibilang terinsipirasi dari Paul McCartney dkk.

Kemudian, band-band maupun penyanyi-penyanyi setelah Beatles yang mengembangkan apa yang dimulai. Pada era 70an, para musisi dengan bakat-bakat luar biasa kemudian menciptakan tehnik-tehnik baru sesuai dengan instrumen yang mereka kuasai, lalu menciptakan standar bahwa seperti inilah musik harus digarap. Lagu demi lagu diproduksi dengan amat serius, penuh cita rasa dan ekspresi yang maksimal.

Tehnik bernyanyi, mencipta lagu, kostum dan lainnya kemudian semakin dieksplorasi.Skill dan taste dari para musisi menjadikan lagu-lagu semakin variatif. Musik kemudian berkembang di bawah naungan industri kapitalis yang makin menyebarkan pengaruh ini ke seluruh dunia. Dari sekadar kegiatan bernyanyi di kamar mandi hingga menjadi industri yang amat masif. Musik pun bukan hanya sekadar trend, pertunjukan atau ekspresi semata, melainkan sudah menjadi gaya hidup dan budaya.

Kini adalah masa di mana penikmat musik (dan musisi?) seperti lelah untuk menggarap musik dengan level keseriusan dan kesempurnaan seperti generasi 70an atau 80an. Industri musik pun seperti turut mengamini bahwa pasar telah jenuh dengan musik-musik yang ‘berat’. Musik-musik yang lebih sederhana tidak masalah selama lirik yang dinyanyikan mudah diingat dan dipahami, juga para artisnya berpenampilan menarik.

Seakan sejalan dengan budaya instan dan serba cepat, kebanyakan orang juga tidak ambil pusing dengan kualitas lagu. (Mungkin) mereka kini mendengarkan lagu di tengah aktivitas yang mereka lakukan, jadi ya asalkan lagu-lagu tersebut membangkitkan mood untuk bekerja, ya tidak jadi soal. Lagu-lagu maupun musisi-musisi tersebut begitu mudahnya timbul semudah mereka tenggelam.

Dengan segala fenomena ini, industri musik kemudian memasuki era baru yang somehow ya seperti yang kita dengar selama ini.

Minggu, 03 Agustus 2014

Jadi, Metallica atau Megadeth?

Membanding-bandingkan adalah salah satu pekerjaan favorit manusia. Apple dengan Samsung (terlepas dengan adanya istilah apple to apple), Maradona dengan Pele (terlepas dari mereka berdua berbeda generasi), Jupe dengan DePe (terlepas dari.. ah sudahlah) dan lainnya. Alasan pun dicari-cari. Perselisihan sepele pun diangkat habis-habisan seolah kedua subjek memang seperti air dengan minyak yang tidak pernah bisa bersatu. Makin ribut, makin asik.

Namun di antara pembandingan-pembandingan yang ada, saya lebih suka melihat bagaimana orang-orang membandingkan dua band metal ternama, Metallica dan Megadeth (yang bukan penikmat musik mereka feel free to navigate away) yang seakan gak ada habisnya. Kebetulan, dua band ini hidup di era yang sama, juga menghasilkan karya-karya dengan produktivitas dan kadar kesuksesan finansial yang kurang lebih sama pula terlepas dari pasang surut yang mereka alami.

Saya tidak ingin menjadi orang ke-1233556789876543 yang turut membandingkan mereka. Menurut saya karena faktor seorang Dave Mustaine-lah kedua band ini terus dibanding-bandingkan. Seperti kita tahu, Mustaine yang notabene pendiri Megadeth adalah mantan gitaris Metallica yang pemecatannya diwarnai kontroversi. Kini Megadeth (Mustaine) dan Metallica nampak sudah akur, atau mungkin saja merasa sudah terlalu tua untuk terus berantem dan ngambek-ngambekan.

Dua band ini adalah alasan mengapa saya bisa mengapresiasi musik metal yang bising, berisik, brutal dan (kalau kata seorang teman) biadab. Cerita perkenalan saya dengan genre inipun cukup unik. Saya yang hingga berusia 15 tahun tidak pernah dengerin musik metal tiba-tiba merasakan adanya sensasi aneh saat pertama kali mendengarkan nomor ballad Metallica semacam The Unforgiven dan lagu-lagu metal nge-rock yang terdapat di album metal sejuta umat, Black Album. Dari sinilah lalu berlanjut ke pencarian pada Megadeth di mana saya kemudian menemukan lagu Trust pada album Crypticwritings.

Dua lagu tadi menjadi gerbang perkenalan saya dengan album-album mereka yang lain, meskipun hingga kini saya masih tidak hapal sebagian besar lagu-lagu mereka. Yah, mungkin saya hanya hapal 30-50% lagu-lagu mereka, itupun yang memang sering dibawakan saat mereka konser. Saya bukanlah penggemar sejati musik metal jika mengacu pada kuantitas menyimak album dari dua band ini, terlebih saya tidak mendengarkan band metal lain selain mereka.

Anyway, Metallica dan Megadeth mungkin benar bising, berisik, brutal dan mungkin saja biadab. Tapi saya telah mencapai tahap untuk bisa menilai bahwa kedua band ini memainkan musik yang berkelas, susah ditiru, dan tentu saja susah untuk diminati oleh para penggila musik easy listening. “Mainin lagu yang santai aja-lah, jangan yang bikin sakit kuping,” demikian kutipan yang saya ingat dari seorang vokalis band pop dalam wawancaranya di sebuah majalah remaja seolah menganggap musik metal adalah musik yang tidak enak didengar.

Musik metal juga kerap digenerelisasi sebagai pembawa pengaruh buruk. Mereka dikatakan mengajarkan kekerasan, satanis dan anti ketuhanan. Lirik-liriknya juga kerap bertema ajakan bunuh diri maupun pemujaan terhadap hal-hal yang dianggap tidak pantas. Musik yang enggak banget.

Namun tidak sedikit pula pembelaan yang pernah saya dengar.

“Musik metal buat sebagian orang mungkin hanya musik yang berisik, tapi buat saya musik metal adalah musik yang paling pol dalam penyaluran ekspresi,” ujar salah satu gitaris cewek metal yang saya lupa namanya.

“Untuk mengerti musik metal memang diperlukan intelegensi. Kecepatan dan kerumitan memang gak semua orang bisa ngikutin,” tutur salah seorang random person yang saya temui pada konser Megadeth di Jakarta tahun 2007 lalu.

Metallica dan Megadeth adalah band cadas dengan intelegensi tinggi. Tidak sekadar memainkan musik cepat dan teriak-teriak gak jelas, sebaliknya mereka mengusung standar tinggi dalam penggarapan album maupun konser. Tidak ada lip-sync performance seperti artis-artis acara musik pagi dengan penjoget cuci-jemur, tidak ada chord dan rhythm section sederhana dan ketukan konstan menjemukan.

Bagaimana dengan sisi melodi? Well, dua band ini adalah band cadas yang mungkin paling melodik, soulful dan memiliki ciri khas. Notasi yang diambil Metallica mungkin banyak didominasi kord E mayor dengan variasi di sekitarnya, ataupun A minor. Nuansa gelap, getir dan artikulasi yang jelas dan berat menjadi ciri khas James Hetfield, sang frontman Metallica. Sementara Dave Mustaine yang menjadi leader sekaligus songwriter Megadeth memiliki warna vokal yang lebih crunchy dengan artikulasi yang kadang sulit diinterpretasi. Lagu-lagu yang dihasilkan juga sebetulnya berbeda, meskipun banyak yang bilang mirip.

Untuk urusan harmonisasi, Megadeth menurut saya masih lebih unggul. Marty Friedman, Dave Ellefson dan Nick Menza (Friedman dan Menza bersama dua Dave adalah anggota dari Classic Megadeth) adalah pemegang instrumen yang Anda inginkan dalam sebuah band. Presisi, kecepatan, dan harmoni yang mereka hasilkan membuat musik Megadeth terdengar serumit musik jazz namun dibungkus kebrutalan musik metal. Ini pula yang menyimpulkan bahwa secara line-up personel, Megadeth memang masih unggul.

Namun musik bukanlah sekadar skill. Seberapapun seringnya Hammett ‘terpeleset’ memainkan solo gitar pada nomor-nomor ballad (sehingga terdengar amat kentara) dan seberapapun Lars Ulrich yang memainkan drum dengan ketukan semaunya, tidaklah menjadikan Metallica kalah kualitas dari Megadeth.

Karakter vokal Hetfield masih sulit ditandingi vokalis band manapun. Metallica juga menelurkan Black Album, album yang bukan hanya super sukses secara komersial, tapi juga membantu memperkenalkan genre Metal kepada penggemar musik genre lain di seluruh dunia. Banyak penggemar metal (termasuk saya) yang kemudian turut mendengarkan Megadeth dan band metal lain setelah mendengarkan Black Album.

Inilah yang menjadikan Metallica seakan lebih terdengar berkarakter dan berpengaruh, terlepas dari nyaris sempurnanya Megadeth dalam bermusik. Vokal Hetfield, notasi-notasi yang mereka mainkan dan keberanian mereka untuk memodifikasi musik (walaupun banyak berkompromi dan menanggalkan akar), namun membawa mereka pada level kesuksesan komersial yang berada sedikit di atas Megadeth.


So, who wins? I still don’t know.

Kamis, 29 Mei 2014

Penggalan Lirik Lagu Favorit

Langsung aja, tanpa basa-basi, berikut beberapa potongan lirik lagu yang gue kagumi:

Dumb by Nirvana
Kurt Cobain memang jenius. Ia menertawakan dan mempersetankan segala kemalangan yang terjadi kepadanya, termasuk saat dengan entengnya ia berkata punya lem jika hatinya patah. Sebuah puisi satir yang mengagumkan.

“I think I'm dumb
Or maybe just happy
Think I'm just happy
My heart is broken
But I have some glue
Help me inhale”

Hal buruk memang kerap terjadi. Shit happens. Tapi kita sendirilah yang sebetulnya menentukan bagaimana dampaknya untuk kehidupan. Dan Cobain mengatasinya dengan kepura-puraan. Pura-pura tidak sakit, pura-pura tidak peduli, daripada terlalu tenggelam dalam kegalauan tak jelas. Pura-pura aja, lama-lama juga terbiasa dan bangkit lagi. Dan pada akhirnya, dia mengakui bahwa being dumb itu gak selalu buruk. Menjadi satir memang tidak selalu jelek, bukan?

"I'm not like them
But I can pretend
The sun is gone
But I have a light
The day is done
But I'm having fun”

Spirit of Radio by Rush
“Begin the day with a friendly voice
A companion, unobtrusive
Plays that song that's so elusive
And the magic music makes your morning mood”

Ini adalah bait pembuka dalam lagu mahakarya ciptaan Geddy Lee dan kawan-kawan. Suara cempreng Lee berpadu dengan permainan gitar skillful John Rutsey dan ketukan drum ajaib Neil Peart menjadikan band ini sebagai panutan berbagai band lainnya yang memainkan progressive rock. Sebagai salah satu suhu dalam genre ini, Rush jelas memiliki sesuatu untuk dikatakan soal industri musik, yang semakin lama semakin menggerus integritas dan kemurnian demi komersialisasi.

“One likes to believe in the freedom of music
But glittering prizes and endless compromises
Shatter the illusion of integrity”

Ya sudahlah, berbicara soal industri, memang benar adanya jika industri bergerak mengikuti pasar. Angka penjualan adalah segalanya, karena dari perspektif mereka sendiri inilah cara untuk survive. Dinding studio musik dan tempat konser yang berdebum akan kalah keras dengan suara para salesmen. Penggambaran yang brilian.

“For the words of the profits are written on the studio wall, Concert hall.
Echoes with the sounds, of salesmen”

Champagne Supernova by Oasis
Noel Gallagher pernah bilang kalo lagu ini gak punya makna yang spesifik, tergantung bagaimana kita saja yang mengartikannya. Ya, mungkin aja Noel emang bikin lagu ini sambil “high”.

"How many special people change? 
How many lives are living strange? 
Where were you while we were getting high?
Slowly walking down the hall 
Faster than a cannonball 
Where were you while we were getting high? 
Someday you will find me 
Caught beneath the landslide 
In a champagne supernova in the sky” 

Entah kenapa gue lebih milih untuk mengartikannya sebagai melankolia persahabatan. Kehilangan sosok teman dan sahabat, yang jarang bertemu karena kesibukan. “How many special people change / how many lives are living strange,” tidak lebih adalah perasaan kehilangan melihat sosok sahabat spesialnya telah berubah menjadi orang asing. Lagi-lagi barisan kata-kata metafor yang keren.

Walk by Foo Fighters
Gue selalu suka lirik optimis yang penuh pengharapan (meski agak klise), seperti lagu ini contohnya.
A million miles away your signal in the distance
To whom it may concern
I think I lost my way getting good at starting over
Every time that I return

Learning to walk again
believe I've waited long enough where do I begin?
Learning to talk again
Can't you see I've waited long enough? Where do I begin?"

Lirik ini menggambarkan sebuah kegagalan, entah hubungan atau apapun. Tapi orang ini siap untuk memulai lagi dari awal. “Learning to walk again. Can’t you see I’ve waited long enough? Where do I begin?” Kalo kita ngeliat videoklipnya, terpampang jelas apa yang membuat Dave Grohl muak dan penat. Lihat aja deretan nama artis mainstream yang terpampang gamblang di situ.

Washington is Next! by Megadeth
Ketertarikan Dave Mustaine pada politik memang bukan rahasia lagi. Dalam beberapa lagu Megadeth seperti Peace Sells, but who’s buying, Holy Wars atau The World Needs a hero sudah dijelaskan kemuakan Mustaine pada dunia yang kerap mempermasalahkan perbedaan sekecil apapun, dan dijadikannya alasan untuk berperang. Di lagu Washington is Next ini, Mustaine lebih gamblang lagi menyuarakan pemikirannya.

“The quiet war has begun with silent weapons
And the new slavery is to keep the people poor and stupid; "Novus Ordo Seclorum"
 How can there be any logic in biological war?
We all know this is wrong, but the New World Order's Beating down the door
Oh, something needs to be done”

Dan di bait ini, Mustaine betul-betul memperlihatkan siapakah new pharaoh wanna be. Sudahlah, ini sudah menjelaskan semuanya.

“The word predicts the future and tells the truth about the past
Of how the world leaders will hail the new Pharaoh
The eighth false king to the throne
Washington is next!”

Itulah lirik-lirik keren versi gue sendiri. Sebenernya masih banyak lagi sih, tapi ini aja dulu. Gue gak punya lirik love song favorit sih, karena mereka sebetulnya sama aja, kalo gak obsesif ya masokis. 

Minggu, 06 April 2014

For My Daughter


Udah seminggu lebih kamu lahir, dan di tengah badai kesibukan, akhirnya baru sekarang saya sempat menuliskan catatan kecil yang simple ini.

Kedatanganmu ke dunia melengkapi kakakmu yang telah datang dua tahun sebelumnya tentu melengkapi hidup kami sebagai orang tua, setidaknya begitulah premis yang telah dibangun oleh masyarakat kita. "Udah sepasang deh, udah lengkap deh," ya, saya memang ikut mengamininya meski tanpa harus mengunggah foto-fotomu setiap hari lalu memberinya caption menarik. Dan sepertinya saya juga tidak akan memakaikanmu jumper-jumper bertema klub sepak bola karena alasan yang akan saya kasih tau lain waktu.

Mungkin sebagai sosok ayah, saya gak akan banyak menuntut kamu nantinya, seperti halnya saya menuntut kakakmu yang laki-laki. Bagaimanapun kamu anak perempuan. Saya tidak akan membiarkanmu bergelut terlalu larut dengan gelimang dunia. Tidak usah dengarkan pendapat-pendapat modern itu, karena saya sendiri tahu apa yang saya lakukan.

Ini bukanlah bentuk arogansi orang tua, melainkan bentuk perlawanan dan bentuk muaknya saya pada apa yang terjadi pada dunia dalam satu dekade ngawur ini, dan dekade-dekade yang entah akan seperti apa dan bahkan tidak akan terukur oleh formula derivatif sekalipun. Sebuah dekade yang makin menipiskan peran moral dan konservatisme, menertawakan segala nilai luhur, me-leluconkan orang-orang baik dan alim, lalu menabrakkannya dengan nilai konsumerisme, narsisme dan hedonisme yang kian hari kian menggelikan.

Tidak, saya tidak akan menyuruhmu untuk membenci segala spot light dan hingar bingar itu. Saya malah menantangmu kelak untuk menjadi agen perubahan, mendobrak segala hal-hal menggelikan itu dengan tanganmu sendiri. Saya hanya tidak ingin kamu tumbuh sebagai pengikut setia apapun yang ada dihadapanmu tanpa kamu melihatnya lebih dalam lagi. Intinya, jangan melakukan sesuatu hanya karena semua orang melakukannya. Tidak berarti hal yang disukai orang lain itu benar, dan tidak semua hal benar disukai orang lain. Jadilah orang yang memiliki value.

Memang tugas saya sebagai orang tua untuk mengajarkanmu tentang dunia, bahwa dalam beberapa hal, memang berlaku hitam dan putih. Tapi jangan membuatnya menjadi kaku. Ketahuilah semua, lalu pilihlah yang benar-benar sesuai dengan prinsip, tentunya prinsip yang tidak sekenanya. Jangan biarkan kebebasan berpikir dan berekspresi berlebihan yang berlaku sekarang ini menjadikanmu budak liberalisasi tanpa arah yang nantinya berujung pada hidup yang akan kamu sesali. 

Saya akan mencoba menjadi orang tua yang tidak megalomania menceritakan pencapaian, atau berkata "I've told you" setiap kali kamu melakukan kesalahan. Saya hanya menunjukkan, kamulah yang menentukan.

Tumbuhlah menjadi perempuan yang cerdas, salihah dan lemah lembut, meski tidak jarang hidup akan memaksamu berlari kencang, bersimbah peluh, menyikut, menendang, menghindar, atau bahkan diam sama sekali. Lagi-lagi saya tekankan untuk memiliki prinsip dan karakter yang kuat sehingga kamu bisa menentukan apa yang akan kamu lakukan, karena dalam hidup tidak ada istilah undo, tidak bisa diulang dan dihapus.

Jadilah pengagum seni, mainkan berbagai alat musik, berolahragalah dan lahaplah berbagai bacaan. Jadilah perempuan yang berbudaya dan tangguh. Lihatlah ke bawah dan jauhi kesombongan, jangan menganggap hidup ini money-sentris karena sampai di manapun, akan ada langit di atas langit. The more things you get, the more you want. Hidup ini hanyalah perjalanan singkat, just bring what you need.

Mungkin sudah terlalu banyak kata ‘jangan’ yang saya ucap, tapi memang beginilah dunia yang saya pahami. Penuh dengan jebakan, di samping keindahan. Kunyahlah semua yang renyah, dan ada kalanya kamu dipaksa mengunyah yang kamu tidak sukai. Tapi saat keraguan tiba, makanlah, lalu buanglah jika memang tidak sanggup, kalo kata Frank Sinatra. Memiliki anak bagi saya adalah tanggung jawab seumur hidup yang tidak bisa ditawar-tawar. Untuk itu saya tidak akan main-main dengan masa depanmu, dan jangan heran jika saya kelak akan menatap tajam lebih dulu siapa laki-laki yang kelak mengetuk pintu rumah untuk membawamu pergi menikmati hari yang cheesy.

And last but not least, baik-baiklah selalu dengan kakakmu dan jadilah anak yang meringankan jalan papa dan mamamu nanti di alam kubur, padang mahsyar dan shiraatal mustaqim, agar kita dapat berkumpul lagi suatu saat nanti. Oh, tentu saja saya akan selalu mendoakan keselamatan, kesehatan dan kebahagiaanmu. 

Minggu, 02 Maret 2014

The Art Of Selingkuh

Entah kenapa, belakangan ini cerita hidup gue diisi oleh fragmen perselingkuhan. Eits, maksudnya bukan gue yang selingkuh, coy, tapi orang-orang yang gue kenal.

Gue di sini bukan hendak menghakimi, hanya mencoba menempatkan diri pada situasi ini. Tanpa dihakimi pun, dan dengan pledoi secanggih apapun, yang namanya selingkuh tetep aja salah. Selingkuh, apalagi jika dilakukan saat sudah berumah tangga, adalah jelas sebuah pengkhianatan akan janji pernikahan yang pernah kita ucapkan dengan khidmat dan sungguh-sungguh di hadapan penghulu, mertua, orang tua dan tamu-tamu undangan. Sesuatu yang kadang-kadang diucapkan sambil terisak, entah karena merasa terharu atau berat.

Tapi poinnya adalah, kini semakin banyak aja kasus selingkuh ya. Memang sih gak pernah ada yang iseng membuat infografik berupa data statistik tentang berapa jumlah orang yang berselingkuh, pekerjaan bidang apa yang paling banyak kasus perselingkuhannya, apa sebab orang melakukan perselingkuhan dan lain-lain. Tapi dari berbagai penuturan dan cerita yang gue dengar sendiri, sedikitnya 3 dari 10 orang teman gue pernah melakukan tindakan ini, baik selingkuh secara fisik (“jajan”) maupun selingkuh secara perasaan yang berlanjut pada hubungan terlarang.

Kalo kata beberapa orang, ada sensasi yang didapat ketika berselingkuh. Adrenaline rush karena selalu takut ketahuan berpadu dengan benih-benih cinta yang muncul seperti layaknya yang kita alami jaman sekolah dulu. Menegangkan sekaligus menyenangkan, merasa kembali muda. Ngeri-ngeri sedap. Gitu katanya. That's the art of selingkuh. 'Art'? well, segala sesuatu yang ditambah unsur 'art' akan terlihat kece dan keren.

Mendengar cerita-cerita itu, gue jadi mensyukuri 'kekurangan' yang gue miliki. Gue orangnya gak romantis, cuek, simple, datar, gak trendy, gak keren, gak gaul, gak pinter ngomong, gak punya selera dan aktivitas yang mainstream. Teman-teman baik gue pun kebanyakan cowok. Jadi bisa dibilang kalau gue gak punya 'peluru' untuk berselingkuh, gak punya kelebihan yang bisa menarik perempuan lain. Pendek kata, gue gak punya faktor penarik untuk berselingkuh. Ada tembok tinggi yang memang secara natural gue buat sendiri yang gue yakin gak ada yang bisa memanjat, apalagi menjebolnya.

Gue gak akan naif berkata bahwa gue adalah pria yang hatinya bersih dan gak akan mungkin melakukan sedikitpun tindak perselingkuhan. Segalanya bisa terjadi, hidup gak bisa ditebak, manusia memang berbuat salah. Gue juga gak bisa mengklaim bahwa gue adalah suami yang setia tanpa cela, karena memang sampai detik ini gak ada satupun perempuan yang menggoda (atau potensial menggoda), atau memang gue belum melewati fase ini. Elo gak bisa mendapat peringkat 1 di kelas jika elo belum menaklukkan soal-soal sulit. Elo gak bisa mengklaim kalo lo orang baik kalo belum diuji. 

Manusia memang berbuat salah. Gue berbuat salah. Sering. Tapi mudah-mudahan enggak dalam aspek yang satu ini.

"Got a wife and kids in a Baltimore Jack
I went out for a ride and I never went back
Like a river that don't know where is flown
I took the wrong turn and I just keep going

Everybody's got a hungry heart
Everybody's got a hungry heart
Lay down your money and you play your part
Everybody's got a hungry heart

I met her in a kingstown bar
We fell in love I know it had to end
We took what we had, we ripped it apart
Now here I am got a kingstown again

Everybody need a place to rest
Everybody's want to have a home
Don't make the difference what nobody said
Ain't nobody wants to be alone" 


Hungry Heart-Bruce Springsteen

Ya, manusia memang selalu lapar dan gak pernah terpuaskan.