Sabtu, 24 November 2018

Timnas Senior yang Berprestasi di Level Junior Namun Melempem di Level Senior

Tanpa bertanding, kiprah tim nasional (timnas) senior Indonesia dipastikan terhenti di babak penyisihan grup Piala AFF 2018. Kepastian ini diperoleh setelah kesebelasan Filipina berhasil menahan imbang Thailand dengan skor 1-1 pada hari Rabu (21/11). Dengan demikian, Indonesia yang baru meraih tiga poin dari hasil satu kemenangan atas Timor Leste dan dua kekalahan dari Singapura dan Thailand, tidak dapat mengejar poin Thailand maupun Filipina.
Kegagalan ini sebetulnya patut disayangkan. Pasalnya, Indonesia mengukir hasil-hasil positif dalam turnamen-turnamen kelompok usia muda sepanjang tahun 2018. Diawali timnas U-16 yang berhasil meraih gelar Piala AFF, lalu diteruskan timnas U-23 yang berhasil menembus babak 16 besar Asian Games, hingga timnas U-19 yang nyaris lolos ke Piala Dunia U-20 andai tidak dikalahkan Jepang. Penampilan bagus di Piala AFF 2018 bagi timnas senior semestinya dapat menjadi penutup yang manis yang dapat memberi afirmasi bahwa sepak bola Indonesia memang tengah bangkit.
Dengan kegagalan di Piala AFF 2018 ini, apakah dapat diartikan bahwa sepak bola Indonesia kembali jalan di tempat, atau malah mengalami kemunduran karena pada ajang yang sama tahun 2016, Indonesia berhasil melaju hingga ke babak final?
Kalimat-kalimat menghibur seperti “Timnas Indonesia mendapatkan pelajaran berharga dari pergelaran Piala AFF 2018” kurang tepat untuk digunakan pada kegagalan kali ini. Pasalnya, kalimat-kalimat sejenis inilah yang kerap kali diapungkan sebagai pelipur lara tiada guna setiap tim nasional menemui kegagalan. Pada kenyataannya, tidak ada pelajaran yang diambil, dan prestasi tim nasional senior tetaplah seperti ini.
Namun demikian, tidak adil apabila publik melampiaskan kekecewaan karena kegagalan ini kepada staf pelatih maupun pemain. Bagaimanapun, mereka telah berjuang dan bertarung dengan kemampuan terbaik. Jangan lupakan bahwa pelatih maupun pemain yang ada merupakan produk dari pembinaan dan kompetisi yang ada.
Berkaca dari dua hal tersebut, publik dapat menilai sendiri apakah PSSI selaku induk organisasi sepak bola Indonesia telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Terdapat beberapa hal yang cukup mengganggu persiapan tim nasional jelang Piala AFF bergulir, yaitu masih berlangsungnya kompetisi liga dan juga kepastian mengenai pelatih yang memimpin tim.
Idealnya, kompetisi liga sudah selesai ketika Piala AFF berlangsung, sehingga klub maupun pemain dapat berkonsentrasi penuh dalam mendukung agenda tim nasional. Namun apa daya, kita tentu ingat ketika proses dimulainya liga beberapa bulan lalu terus diganggu kejuaraan-kejuaraan seremonial penuh pencitraan tak berfaedah, hingga pelaksanaan liga diundur.
Permasalahan selanjutnya timbul terkait pelatih. Kepastian tentang status Luis Milla Aspas, pelatih yang membesut tim nasional sejak tahun 2016, baru didapat kurang lebih sebulan sebelum Piala AFF dimulai. Lagi-lagi, Milla menuding PSSI tidak profesional dalam menjalankan kontrak karena beberapa bulan menunggak gaji. Meski pihak PSSI belakangan mengungkapkan bahwa persoalan ini telah selesai, Milla sudah kadung kecewa. Target tinggi tetapi gaji telat dibayar? Bukankah upah harus dibayar sebelum keringat kering? Kalau prinsip sesederhana ini saja tidak paham, tidak usah berani deh pasang target tinggi.
Bima Sakti kemudian ditunjuk sebagai pelatih kepala setelah Milla tidak memperpanjang kontrak. Meski ia merupakan asisten pelatih asal Spanyol ini dalam dua tahun terakhir, namun karena minimnya pengalaman, hasil yang terlihat di lapangan pun terlihat. Permainan tim nasional Indonesia, meski terlihat masih menggunakan pendekatan yang telah diwariskan Milla, namun tidak menunjukkan kematangan taktik.
Hal ini terlihat jelas dari tiga laga yang telah dijalani, di mana tidak terdapat pergantian cara bermain untuk menanggulangi permainan lawan, karena yang semata dilakukan sebatas mengganti pemain yang ada dengan pemain yang berkarakter serupa. Febri Haryadi dan Irfan Jaya dirotasi dengan Riko Simanjuntak dan Andik Vermansyah. Hanya sebatas itu saja. Tanpa bermaksud mengecilkan peran Bima Sakti, dari sini barulah terasa betul hilangnya senetuhan dari Milla.
Meski demikian, publik patut melihat sisi positif bahwa terdapat kemajuan yang sebetulnya sudah diperlihatkan oleh timnas Indonesia, juga sepak bola Indonesia secara umum pada tahun 2018 ini, walaupun sedikit. Beberapa di antaranya adalah sudah kuatnya karakter permainan tim nasional dari segala kelompok umur. Tim nasional U-16 maupun U-19 sudah mampu bermain dengan sabar, penuh percaya diri, tidak lagi mengandalkan dribel yang heroik dan kutak-kutik terlalu lama, juga insting-insting naluriah tak terukur yang sejenis.
Namun tetap saja, kemajuan ini harus menular ke timnas senior. Di level senior inilah prestasi diharapkan datang, bukan di level junior. Pertanyaan klasik yang belum kunjung terjawab pun kembali mengemuka: Mengapa timnas Indonesia berprestasi di kelompok usia muda, namun jeblok di level senior? Dari situlah PSSI dapat mengevaluasi efektivitas kompetisi usia muda dan kompetisi liga profesional, pembenahan kualitas wasit, dan pendidikan pelatih. Karena prestasi timnas akan banyak tergantung dari efektifnya program-program itu.

Minggu, 14 Oktober 2018

Karena Jakarta Memang Keras

Beberapa waktu silam sempat baca thread di Twitter tentang kerasnya hidup di beberapa kawasan di Jakarta. Buat anak yang hidup normal dari kecil, lalu sekolah dengan bener, lalu dapet kerjaan di perkantoran mewah, mungkin hal-hal begini gak pernah ditemui, hanya sebatas dengar cerita orang lain. Buat yang kesehariannya kerja di kantoran mewah, lalu menghabiskan weekend nongkrong di mall besar, tinggal di perumahan mewah atau apartemen yang selalu dijaga satpam, mungkin kerasnya ibukota hanya mitos.

Tapi pasti ada aja lah pengalaman-pengalaman menyebalkan sekaligus ngeri-ngeri sedap meski hanya sesekali. Misalnya ketika kebetulan harus naik kendaraan umum karena suatu keperluan mendesak, ketika tidak sengaja berjalan melewati pasar atau terminal, ketika transit di stasiun untuk menuju ke suatu tempat, atau ketika terpaksa berjalan menyusuri titik-titik yang dikenal rawan kejahatan.

Tatapan-tatapan kosong tak bersahabat, maling-maling kelas teri yang senantiasa mengincar apa yang kita kenakan bagai gerombolan hyena, hingga polah preman yang memang selalu ingin mencari masalah. Inilah yang harus siap kita hadapi sebagai pengais rejeki ibukota.

Gua sendiri punya beberapa pengalaman soal itu. Gak banyak sih, dan mungkin buat elo yang baca, mungkin gak seberapa.

Preman di Stasiun Juanda
Banyak sekali kejahatan terjadi dengan latar belakang stasiun kereta. Waktu stasiun dan kereta rel listrik Jabodetabek belum serapi sekarang, gerbong kereta dan stasiun kereta adalah rumah bagi bermacam-macam orang. Pedagang asongan, pengamen, pengemis, preman, pengangguran, tukang parkir, anak punk, alay, anak sekolah, karyawan, orang tua. Ada pula suara tangisan bayi, pekikan emak-emak bercampur jadi satu dalam etalase komunal yang membikin hati tidak nyaman. Jangan pula coba-coba masuk ke toiletnya.

Waktu masih SMA, gue dan beberapa kawan pengen nyari sepatu di daerah Pasar Baru, makanya gue naik kereta sampai stasiun Juanda supaya ngirit ongkos dan waktu tempuh. Baru aja turun, suasana di stasiun udah bikin kewaspadaan meningkat. Bau pesing bercampur bau sampah makanan-makanan busuk sudah menyambut ketika baru melangkahkan kaki ke peron. Sejauh mata memandang, banyak gelandangan tidur di bangku besi atau bersandar seadanya di pilar-pilar. Lalu di tangga, banyak pengemis duduk berbaris. Di lantai bawah, ada sekelompok bapak-bapak main catur sambil memegangi puntung rokok yang sudah mau habis, sekelompok tukang ojek main gaple sambil teriak-teriak, anak-anak kecil berlarian sambil saling berteriak dengan makian kasar, juga preman-preman lokal yang memerhatikan penumpang yang baru turun.

Gue menangkap beberapa pasang mata preman itu mengintai kami, anak-anak sekolah lugu yang seperti mangsa lemah bagi mereka. Benar saja, ketika mendekati pintu keluar, salah seorang preman yang usianya seumuran kami memanggil-manggil dari kejauhan. “Woi! Woi! Anak mana lo pada? Ayo pada ke sini!” 

Sebuah panggilan familiar buat kami, anak-anak sekolah 90an yang sering menghadapi teror pemalakan dari anak sekolah lain atau dari preman sekolah yang sedang mencari jati diri. Kami mempercepat langkah. Si preman pemula tahu gelagat kami yang berusaha kabur. Tak mau kehilangan mangsa dan gagal dalam proses inisiasi di tongkrongan, dia mulai berlari kecil. "Senior-seniornya" hanya memerhatikan dari jauh. Mendengar langkah itu, kami bergegas masuk ke komplek pertokoan Pasar Baru yang ramai. Kami berhasil lolos, sementara si preman bau kencur itu mengoceh dan mengancam. “Awas lu pada nanti ye, gue tungguin lo di pintu keluar!”

Ancaman itu membuat perasaan tidak tenang. Kami lalu mencari-cari rute lain untuk jalan pulang dan memilih naik bus Patas AC buat pulang ke rumah.

Sopir Taksi Jagoan
Masih di stasiun, kali ini kejadiannya di stasiun Jatinegara. Gue bersama keluarga ketika itu baru pulang dari Surabaya. Bokap memang gak biasanya ngajak turun di stasiun ini, karena biasanya kami turun di Gambir. Alasannya lebih dekat menuju ke rumah. Kami pun mendapati suasana kumuh di stasiun itu, berbeda jauh dengan di Gambir.

Baru kami turun dan hendak mencari taksi, bapak-bapak paruh baya menawarkan ‘bantuan’. Ia lalu membawa kami ke sebuah taksi yang bukan Blue Bird. Ketika sampai, sopir taksi bermata sayu ini hanya diam saja. Ia tidak membantu membawakan barang, dan ketika kami masuk pun ia sama sekali gak tersenyum. Gue mulai merasa khawatir.

Keanehan berlanjut. Setelah menyalakan mesin, si bapak-bapak calo tadi mengetuk jendela sopir dengan kasar, yang kemudian dibuka dengan gestur malas dari si sopir sayu. Si sopir lantas mengeluarkan uang seribuan untuk si calo, yang langsung dibalas dengan gebrakan. “Kok cuman seceng? Kurang nih!” bentak si calo. “Ah bacot lo!” Si sopir taksi yang tadinya tak bersuara tiba-tiba berteriak seperti itu sembari melemparkan uang logam seratusan ke arah si calo dengan kasar. Gue yang duduk di kursi depan kaget, sementara bokap dan nyokap mencoba menyarankan si sopir untuk memenuhi permintaan si calo.

Tapi si sopir tetap bergeming. Ia malah bergegas jalan, kali ini sambil mengeluarkan makian selangkangan ke si calo, yang kemudian dibalas dengan pukulan ke body mobil. Taksi pun meninggalkan stasiun Jatinegara dengan tergesa, dan gue terdiam. Baru beberapa detik menginjakkan kaki di Jakarta udah ketemu beginian. Beginilah wajah asli kota ini.

Sepanjang jalan, si sopir taksi sama sekali gak mengajak ngobrol. Ia nampak masih kesal. Tambahan lagi, kelihatannya doi baru mengalami malam yang berat. "Mungkin baru ribut sama istrinya," batin gue. Cara menyetirnya jadi ugal-ugalan, tapi gue gak berani negor. Paling-paling hanya nyokap gue yang sesekali memekik karena ketakutan, dan bokap gue sesekali ngingetin dia untuk pelan-pelan. Tapi tetap aja si sopir jagoan ini gak menggubrisnya.

Untungnya, perjalanan ini berhasil kami lalui dengan selamat sampai di rumah. Nyokap pun langsung protes ke bokap. “Udah deh, lain kali turunnya di Gambir aja.”

DVD Binatang di Glodok
Dulu pas eranya DVD dan VCD, banyak yang berburu film porno di kawasan Glodok. Bener aja, pas gue ke sana bareng teman-teman, kepingan DVD bercover gambar porno ini sampai berkarung-karung banyaknya. Dijual murah pula di tempat emperan pinggir jalan. Kalo gak salah, harganya cuma 4 ribu rupiah per keping.

Ada satu teman gue yang tergoda untuk beli, tapi dia kemudian kecele karena begitu dipasang di pemutar film, isinya adalah video kehidupan aneka binatang, beda jauh dengan covernya. Padahal, tempat yang beneran jual film biru itu letaknya agak masuk ke dalam, dan film-film itu letaknya disamarkan dengan film-film normal lain. Harganya pun lebih mahal, di kisaran 10 ribu - 20 ribu per keping.

Anak Orang Kaya Manja Setan Jalanan
Pernah suatu kali gue pulang larut malam sekitar jam dua pagi karena harus menyelesaikan pekerjaan mendadak di kantor. Saat itu gue bawa mobil sendirian. Lagi enak-enak nyetir dengan kecepatan sedang di dekat Pasar Rumput, mobil di belakang gue main-mainin lampu dim. Gue waktu itu di ruas kanan. Bukannya dia lewatin gue dari kiri, dia malah terus main-mainin lampu jauh supaya gue yang minggir.

Karena lagi malas meladeni, gue pun mengalah dan minggir. Mobil geblek itu pun melewati gue sambil main-mainin pedal gas.

Tibalah gue di sebuah lampu merah, dan gak taunya mobil laknat itu sedang berhenti. Saat sejajar, gue sempat tengok ke kaca mobil itu, yang ternyata gelap. Gue gak mikir macem-macem sampai kemudian dia kembali mainin pedal gas. Norak banget, kaya anak kecil baru pertama kali nonton Fast & Furious.

Lampu berganti hijau, dia tancap gas dan ngebut. Gue cuma geleng-geleng lalu kembali ambil jalur kanan.

Eh gak lama kemudian, gue melihat lagi mobil sinting itu berjalan pelan di jalur kiri. Gue lewatin aja dong, walau pikiran mulai was-was. Bener aja, beberapa detik kemudian si jahanam kembali beraksi main-mainin lampu dim. Kali ini gue mulai kesel, dan gue bersikeras gak mau minggir. Gitu terus kejadiannya sampai lampu merah lagi. Dia kembali menyejajarkan mobilnya dengan gue, tapi tetep gak buka kaca, hanya main-mainin pedal gas.

“Dasar anak kecil cemen. Mungkin di sekolahnya dia terlalu sering kena bully kakak kelas.”

Dia pun terus melakukan itu. Mengintimidasi dengan lampu dim dan mengikuti gue sampai ke Depok! Gue pun berencana ngerjain anak ileran ini dengan membawanya ke daerah dekat rumah dan gue supaya dia kesasar biar tau rasa. Untungnya dia kayaknya udah bosen dan mungkin dia sadar karena udah main kejauhan. Mungkin juga udah ditelpon sama bokapnya yang nyariin mobilnya. Pas gue akhirnya belok ke arah jalanan dekat rumah, dia pun gak ikutan belok. Pastinya dia tersadar tiba-tiba sampai di planet Depok. Lumayan deh, gue jadi gak ngantuk, dan tanpa gue sadari, hanya setengah jam gue habiskan perjalanan dari kantor ke rumah, padahal biasanya satu jam lebih. 

Sebetulnya masih ada pengalaman-pengalaman unik lain. Contohnya: Sekelompok preman menyiram kaca dengan air sabun keruh dan memaksa minta duit, tukang parkir yang seenak jidatnya minta bayaran 20 ribu, pemotor yang nabrak spion tapi ketika diklakson langsung mengacungkan jari tengah, anak-anak kecil yang menunggui gue selesai makan lalu meminta sisa tulang ayam, aktivis kampus bohongan dengan jaket seadanya yang meminta-minta uang untuk membantu korban bencana, para pengemis yang menggunakan monyet untuk meminta-minta di dekat pintu tol, abang opang di kawasan industri yang terlihat gusar ketika tahu gue menggunakan ojek online, gerombolan berpeci yang menggetok mobil taksi yang gue tumpangi karena mereka anggap menghalangi jalan, mas-mas alim yang masih keranjingan judi bola, seorang mantan teman kantor yang dipenjara gara-gara menggelapkan uang klien, expat mantan kantor yang hobi bawa mbak-mbak idabul ke dalam ruangan kerjanya, sopir taksi bapak paruh baya yang dikasih tau jalan malah ngeyel dan marah-marah gak jelas, sopir ojek yang ngajak ngobrol terus-terusan ujung-ujungnya minjem duit dan ugal-ugalan ketika gak dikasih pinjem, penjaga toko yang judes dan sering ribut soal uang kembalian, operator pom bensin yang ngakalin meteran bensin, operator pintu tol yang sengaja ngejatohin uang kembalian, mekanik bengkel yang suka nawarin suku cadang "belinya lewat saya aja, mas", sopir taksi yang marah ketika uang kita kegedean, sopir taksi yang ngoceh gak habis-habis ketika diminta mengantar ke jalan tembus yang sempit, motor yang lewatin trotoar dan lebih galak ketika ditegor, preman komplek sok galak di komplek (tapi cemen di luar komplek), pak ogah yang memaki ketika gak dikasih uang, tukang parkir minimarket yang menyumpahi tabrakan ketika gak dibayar oleh seorang ibu-ibu motor matic, peminta sumbangan bermodal map lusuh dan kertas entah asli atau bohongan, pengamen yang cerita baru keluar dari penjara, mbak-mbak penjaga toko baju metal yang minta nomor henpon, tukang tambal ban yang menolak kerjaan dengan alasan sudah malam, bapak-bapak yang pura-pura salah ambil tas di restoran, bapak-bapak yang asal ambil koper di bagasi bandara, bapak-bapak komplotan copet henpon di angkot, dan lain-lain. 

Bad souls di Jakarta inilah yang ikut membentuk Jakarta yang keras. Mereka di sekitar kita, dan karena itu kita harus 'sadar ruang'.

Minggu, 23 September 2018

Hilangnya Sebuah Kehilangan Besar

Pada suatu sore yang sejuk, gue sudah berseragam lengkap di pinggir lapangan sepak bola. Mamang manajer tim meminta gue bersiap-siap untuk masuk. 

"Dit, sana pemanasan, bentar lagi elu masuk," pintanya. 

Gue pun bersiap mengenakan sepatu berwarna putih yang sudah kesempitan, juga kaus kaki yang tidak standar karena terlalu pendek. Kardus air mineral pun gue sobek untuk gue jadikan pelindung kaki karena gue gak bawa. Gue pun bangkit melakukan pemanasan seperti layaknya atlet betulan sambil sesekali menengok ke arah penonton yang mulai membludak. Seperti ingin menyapa mereka, atau sekadar melambaikan tangan seperti seorang superstar. Tapi niat itu gue urungkan, dan itu sama sekali tidak gue sesali.

Tapi sejurus kemudian, ketika si Mamang bersiap menyerahkan secarik kertas pergantian pemain untuk diberikan kepada panitia pertandingan, gue mendadak berubah pikiran.

"Bang, gue kagak jadi main deh."
"Lah, emangnya ngapa?"
"Kagak ngapa-ngapa, ngasih kesempatan aja buat yang muda-muda"

Mamang manajer yang juga didampingi Pak RW pun hanya menggeleng-geleng melihat kelakuan gue ini. "Ah elu. Bisanya ngeles doang." Gue pun nyengir-nyengir.

Mungkin ini telat banget, tapi ketika selangkah lagi melangkah ke lapangan, tiba-tiba gue seperti kembali ke dunia nyata. 

Pikiran kembali ke kubikel kantor, laptop, dan ordner. Bayangan kehidupan monoton penuh dengan kepura-puraan itu. Tapi ya namanya juga butuh.

"Kok bisa-bisanya di umur segini gue melakukan aktivitas fisik yang terlalu berat saat berakhir pekan. Badan mulai melebar dan memasuki fase degeneratif, rapor merah di medical report...bisa-bisa gue ambrol di tengah lapangan. Hmm, tapi gue harus sok cool dan gak banyak omong soal ini." Pikir gue dalam hati.

Gue pun kembali duduk, melepas sepatu, mengganti kaus, membeli telor gulung dan menyesap kopi sachet (gak mau main bola, tapi makan sembarangan. Sama aja dong, Maleehh), lalu menikmati jalannya pertandingan sebagai penonton. Nyaring sekali terdengar suara pemandu pertandingan berlogat Betawi-Depok yang begitu kocak terdengar. Juga terdengar sayup-sayup pekikan dan teriakan emak-emak yang khawatir anaknya kena sleding. Man, betapa indahnya sore itu. Kadang, elo hanya harus menikmati hal-hal kecil untuk mengadapi permasalahan besar seputar menjadi orang dewasa. Kejujuran, spontanitas, dan tertawa lepas memang obat mujarab setelah sehari-hari jaim dan bermain peran menghadapi orang-orang, yang sebetulnya tidak ingin kita hadapi.

Tapi hal ini juga membuat gue berpikir keras. Sepuluh-lima belas tahun lalu, gue bisa memohon-mohon untuk bisa main di lapangan ini di hadapan banyak orang, tapi ketika kini kesempatan itu datang, gue malah melewatkannya. Agaknya, impian ini sudah lama terevisi, dan kejadian ini hanya memberi afirmasi saja.

Gue tahu, saat itulah gue sudah kehilangan sebuah kehilangan besar. Ini senada dengan judul sebuah artikel bucin dari buku serial Chicken Soup yang gue baca pada tahun 90an akhir. Sebuah cerita yang intinya tentang cowok yang nyesel karena gak berani ngajak jalan gebetannya. Kala itu, gue membaca artikel itu untuk meyakinkan diri dan berani mendekati gebetan. 

Dan, gue sekilas menertawai diri kenapa dulu sempat jadi bucin. Untung aja gak sempat jadi seperti si Bujang Rimba, yang sering muncul di iklan pas lagi nonton Youtube itu.

Balik lagi ke soal hilangnya sebuah kehilangan besar tadi, gue baru sadar bahwa gue kini sudah sangat kehilangan rasa kehilangan tidak main sepak bola. 

Menjadi dewasa telah membunuh keinginan-keinginan lain yang dulunya mudah saja untuk dilakukan. Terlalu banyak pertimbangan, terlalu banyak kekhawatiran, terlalu banyak pikiran ini-itu, yang padahal belum tentu terjadi. Tidak lagi mau bermain bola semakin menegaskan hal itu. 

Pada akhirnya, gue punya versi sendiri tentang "Hilangnya Sebuah Kehilangan Besar." bedanya, ini bukan lagi soal bucin seperti dulu. Lebih gawat lagi, ini sudah seperti membuang separuh jiwa jauh-jauh demi mempertahankan eksistensi sebagai a professional pretender.


Minggu, 16 September 2018

Mobius, Gagalnya Sebuah Honey Trap

Buat yang doyan dengan film-film spionase namun kental dengan drama dan percintaan, film Mobius (2013) bisa menjadi pilihan. Gue baru nonton film ini semalam ketika ditayangkan di TV kabel, dan karena serunya film ini, gue sampai rela melewatkan sebuah pertandingan Serie A Italia pada jam yang sama.

Spionase memang sebuah kegiatan rahasia pemerintah untuk tujuan tertentu. Yang terlibat dalam praktik ini bukan orang-orang sembarangan. Meski hanya tahu dari film, namun tentu saja ini menggambarkan kenyataan yang ada. Film mungkin memberi terlalu banyak bumbu untuk kepentingan penikmatnya yang memang menantikan sebuah pertunjukan, dan bahkan bumbu-bumbu ini kadang mengalahkan esensi dari filmnya. Ibarat masakan, kadang sambalnya lebih utama ketimbang daging atau ayamnya. Tapi di Mobius, unsur drama dari sebuah operasi honey trap saja sudah jelas akan mengalahkan tujuan utama dari operasinya. Di sini, justru intrik dan roman dari dua tokoh, yaitu Gregory Lioubov dan Alice Redmond menjadi inti dari film.

Dilihat dari nama, sudah jelas asal muasal dari kedua tokoh ini. Gregory adalah seorang Rusia dan Alice adalah seorang Amerika. Cerita di film ini mengisahkan romansa terlarang yang terjalin antara dua kutub yang berbeda haluan dan tujuan.

Akan tetapi karena mereka berdua berada dalam naungan dua agensi besar, FSB dan CIA, kisah cinta ini berubah dari hubungan sembunyi-sembunyi menjadi sebuah honey trap. Seperti diketahui, honey trap adalah sebuah taktik yang lumrah digunakan dalam praktik spionase, yaitu meminta agen menyamar dan bahkan mengizinkannya terlibat dalam hubungan emosional dan intim dengan salah satu orang penting dari lawan demi memperoleh informasi-informasi yang sifatnya rahasia, yang tujuan akhirnya tentu saja melucuti dan melumpuhkan lawan.

Awalnya, keterlibatan dua agen ini adalah untuk menyelidiki seorang oligarki Rusia, Ivan Rostovskiy. Berlatar Eropa (Monako, Moskwa, London), film ini juga menyajikan tiga bahasa untuk dialog, yaitu Prancis, Rusia dan Inggris. Rostovskiy dicurigai atas kegiatan-kegiatannya pencucian uang dan kejahatan transaksi finansial.

Gregory dan Alice awalnya berada di pihak yang sama. Alice, seorang ahli finansial yang mengklaim seorang diri meruntuhkan Lehman Brothers ke dalam krisis, juga pernah meramalkan krisis terhadap negara Spanyol, adalah seorang Amerika yang dilarang bekerja di negaranya karena keruntuhan Lehman Bros yang ia sebabkan. 

Ia kemudian diminta untuk menyelidiki Rostovskiy oleh FSB, yang juga bekerjasama dengan agensi Monako dan Prancis. Alice yang memang memiliki pesona, lantas membuat Rostovskiy terpikat dan malah ingin merekrutnya. Rostovskiy bahkan tertarik secara romansa juga kepada Alice. Ketika Alice dianggap tidak terkendali dan malah membahayakan misi, pimpinan FSB meminta Gregory untuk ikut menyeldiki Alice.

Ketika akhirnya Gregory menemui langsung Alice, ia langsung merasakan hal yang lain. Ternyata hal itu juga dirasakan Alice. Singkat cerita, mereka pun melakukan hubungan terlarang dan sering sekali bertemu. Dan ternyata lagi, keberadaan Alice juga dimanfaatkan oleh....CIA. 

Kisah ini kemudian berkembang lebih jauh, di mana keterlibatan CIA yang juga memiliki keinginan untuk menangkap Rostovskiy. CIA pun mengintai dari jauh misi ini bagaikan seekor singa yang sabar dalam mengincar mangsanya. Dalam misi ini, CIA juga melihat peluang lain, yaitu menyabotase FSB. Situasi inilah yang kemudian membuat Alice berdiri di dua pijakan, alias menjadi agen ganda.

CIA pun mengorkestrasi operasi menjadi sebuah honey trap. Mereka menggunakan Alice untuk menyabotase FSB lewat Gregory, padahal Alice juga tidak tahu bahwa Gregory adalah agen FSB. Alice sendiri tidak tahu bahwa hubungan romansanya dengan Gregory dimanfaatkan oleh CIA, karena yang ia pahami adalah bantuannya kepada CIA akan membersihkan namanya di kampung halamannya, tanpa ada sangkut pautnya dengan Gregory atau FSB.

Honey trap ini memang berhasil menyabotase FSB, di mana reputasi pimpinan teras FSB tergerus akibat keterlibatannya di saga Rostovskiy ini. Tapi bagi Alice dan Gregory, honey trap ini ternyata tidak menghalangi romansa yang telah mereka jalin dengan penuh emosional. Pada akhirnya, tagar #lovewins juga berlaku di film ini, di mana hubungan keduanya berlanjut meski awalnya berbeda kubu. Api romantisme ini sukses dikipas-kipasi oleh sutradara Eric Rochant di antara konflik geopolitik tingkat tinggi dan transaksi-transaksi finansial yang bisa meruntuhkan sebuah perusahaan besar atau sebuah negara besar.

Minggu, 05 Agustus 2018

Si Doel The Movie: Galeri Realita Yang Bukan Nostalgia Belaka

Saat para lelaki jomblo akut termehek khusyuk di atas flyover atau di tangga darurat karena 'modus-modusnya' tak kunjung meluluhkan hati para gebetan, Bang Doel malah ikut termenung dan menangis di atas trem yang membawanya ke pusat kota Amsterdam. Padahal, Bang Doel berada di antara dua wanita cantik, Sarah dan Zainab, yang sama-sama mencintainya dengan tulus. Kenapa mesti kaya begitu, Bang Doel? Kok jadi ibarat tikus mati kelaparan di lumbung padi? 

Kira-kira begitulah premis ngasal yang saya pertanyakan kepada Bang Kasdullah, atau dikenal dengan Doel, anak Betawi asli, mantan penarik oplet yang akhirnya sampai juga ke ibukota Belanda, negara yang juga episentrum filosofi Total Football yang termahsyur itu.

Doel yang kembali muncul mewarnai khazanah perfilman Indonesia setelah empat belas tahun lamanya menghilang (tidak pakai istilah purnama, seperti film yang satunya lagi itu), memang pintar sekali menarik minat penonton 90an yang begitu haus dengan yang namanya nostalgia. Berangkat dari serial 'pendobrak' yang mewarnai masa kecil tontonan berkualitas anak-anak 90an, Si Doel pun menjadi idola. Bukan hanya bagi anak Betawi, tapi juga bagi sebagian anak-anak Indonesia.

Film Si Doel sedari dulu memang menawarkan bumbu utama tragedi dan kesedihan, yang tentu saja diselingi komedi dalam bentuk pemarahnya Mandra, liciknya Mas Karyo, genitnya Engkong Ali, dan slebor-nya Atun. Tragedi yang disiarkan memang tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Meninggalnya Babe Sabeni, berantakannya percintaan Mandra dengan Munaroh, cinta Koh Ahong kepada Zainab yang terus bertepuk sebelah tangan, hingga kabur-kaburannya Mas Karyo setiap mendengar suara kang kredit panci yang datang menagih hutang.

Kini setelah 14 tahun berlalu dan kembali dalam bentuk film layar lebar, Doel pun masih menawarkan bumbu yang sama. Sebelumnya, saya kasih spoiler alert dulu ya, tapi memang sulit menuliskan komentar film ini tanpa menyebutkan inti ceritanya. Yang jelas,  kemalangan, cinta segitiga, cinta bertepuk sebelah tangan, hingga kelucuan yang ditimbulkan Bang Mandra masih menjadi bumbu-bumbu lezat di film ini. Namun jangan khawatir, ada satu lagi tambahan konflik dan haru-biru bagi Bang Doel, yaitu tentang kegetiran hubungan ayah-anak yang terpaksa harus dipisahkan benua dan samudera.

Doel memang masih menjadi potret anak Betawi membanggakan. Diceritakan sebagai satu-satunya anak Betawi yang 'mentas' di kampungnya, dalam artian mampu menyelesaikan kuliah sampai tingkat sarjana, yang oleh Babe Sabeni disebut sebagai 'Tukang Insinyur'. Doel juga mampu 'menyingkirkan' para pesaing dalam memperebutkan posisi di sebuah perusahaan yang bonafide, dan Doel mampu memperistri seorang wanita cantik keturunan Eropa yang kaya raya. Sebuah versi American Dream dari seorang anak Betawi.

Meski kehidupan telah membawanya jauh dari penarik oplet menjadi seorang insinyur lepas, Doel tetap rajin sembahyang dan megaji hingga di negeri Belanda sekalipun. Doel juga masih sering merenung, pola pikirnya makin filosofis, tindak-tanduknya selalu dipikirkan, dan ia juga makin berkharisma. Perangai dan pembawaan seperti inilah yang kemudian membawanya kepada persoalan yang bittersweet dengan dua wanita cantik sekaligus. Sarah dan Zainab sama-sama mencintainya dengan tulus, meski terlihat jelas hati Doel lebih berat ke Sarah.

Penonton pun diajak menyelami sendiri jalan cerita yang terjadi selama empat belas tahun terakhir. Dalam waktu nyaris dua windu ini, banyak sekali yang sudah berubah, yang kemudian makin menambah bumbu tragedi dan kesedihan dalam film. Bang Mandra yang masih membujang dan jadi pengangguran, Atun yang jadi single mother setelah ditinggal mati Mas Karyo, Mak Nyak yang sakit keras, Koh Ahong yang masih aja ngejomblo meski pabrik batako miliknya makin berkembang, hingga Hans dan Doel yang bernasib sama: ditinggal isteri masing-masing.

Balutan tragedi ini bercampur aduk dalam satu bingkai film, yang dengan apik dipaparkan sepanjang kurang-lebih 90 menit lamanya. Menjadikan film ini seperti layaknya galeri realita yang harus dihadapi dengan perjuangan yang tangguh, alih-alih mempertontonkan hegemoni dan hedonisme. Meski berlatar di Amsterdam, namun Hans dan Sarah diperlihatkan memiliki kehidupan pekerja atau usahawan biasa, bukannya sebagai gambaran orang kaya Eropa yang bebas plesiran dan mem-posting makanan enak, karya seni nan eklektik, bangunan kuno Eropa yang kaya akan sejarah, atau suasana pedesaan yang kental nuansa folk seperti halnya gambar dalam kemasan-kemasan produk makanan atau minuman mereka. 

Seperti yang Hans bilang kepada Doel ketika melihat Doel yang asyik menikmati kota, Hans pun mengungkapkan sebuah potret realita. Ia yang sebagai penduduk asli di Amsterdam sudah tidak bisa lagi menyelami kedamaian dan keindahan kotanya sendiri, seperti yang Doel rasakan sebagai turis. Bagi Hans dan jutaan penduduk Amsterdam lainnya, jika malas, maka ia akan tergeser dan tertendang. Amsterdam tidaklah ubahnya Jakarta, ibukota yang lebih kejam daripada ibu tiri.

Doel pun tidak digambarkan telah memiliki kehidupan yang sangat mapan. Katakanlah, ia belum mampu memanjat hingga tangga tertinggi di korporasi yang bengis, dan mungkin karena idealismenya, ia memilih bekerja sendiri sebagai tenaga ahli lepas. Doel juga mungkin menjalani hidup seperti kita-kita, yang hidup sebagai bagian dari sandwich generation yang harus menanggung beban bukan hanya untuk keluarga kecilnya, tetapi juga keluarga besar. Mungkin karena alasan inilah, plus karena Emaknya sakit keras, Doel masih tinggal di rumah orang tuanya, bukannya di rumah sendiri yang dicicil dengan program KPR berjangka panjang sekaligus berbunga mencekik seperti yang dialami kebanyakan kita-kita ini, tidak pula mengemudikan mobil Jepang mewah kreditan, malah menggunakan jasa taksi daring ketika berangkat ke bandara.

Tapi dari perspektif film, bisa saja memang kehidupan Doel sengaja dibuat masih menempel dengan masa lalunya. Rumah yang sama, oplet yang sama, warung yang sama. Hanya saja kini Mandra sudah dibikinkan kamar di belakang rumah, tidak lagi dibiarkan tidur di oplet atau bale sambil dinyamukin. Karena Mandra pula, film ini jadi seru dan lucu. Mandra yang multi-talented namun underrated ini memang berjasa besar menyemarakkan film. Bahkan, Mandra tidak hanya menunjukkan kekonyolan yang bikin malu Doel seperti halnya saat ia cuek mengenakan sarung di depan Bandara Schipol. Dalam satu bagian, Mandra juga berubah menjadi sosok paman yang mengemong Doel yang masih saja tidak bisa bersikap tegas kepada wanita-wanita di sekelilingnya meski sudah jadi bapak-bapak. Mandra seolah ingin mengembalikan jati diri Doel sebagai anak Betawi, yang harusnya tetap bersikap santai dan tidak berpikir terlalu berat ketika sedang dirundung masalah.

Tanpa Mandra dan celetukannya, film ini memang hanya nostalgia belaka. Tapi dengan Mandra, film ini membungkus nostalgia yang penuh makna sekaligus canda. 

Minggu, 22 Juli 2018

Degeneratif

Ketika saya lebih suka langsung pulang ke rumah selepas bekerja ketimbang ngopi di kafe, dan ketika saya merasa bahwa kurang tidur lebih berbahaya daripada kurang gaul, saat itulah saya merasa mulai menua.

Ternyata, saya tidak sendirian. Ketika bertemu beberapa teman-teman seangkatan, mereka juga mengatakan hal yang senada. Mereka bilang kalau sofa buluk di rumah, anak-anak yang lincah dan istri yang cerewet di dalam rumah yang masa cicilannya masih panjang adalah tempat paling nyaman di dunia. Lebih nyaman daripada kantor, kafe atau tempat nongkrong. Mindset yang bapak-bapak banget kan?

Ada tanda-tanda lain yang tidak hanya dari berupa mindset atau pola pikir saja. Tanda-tanda ini malah berupa yang kasat mata dan sifatnya fisikal terjadi. Saya kasih beberapa contoh.

Seorang teman yang dulunya saya kenal cukup fit karena ia memang rajin berolahraga, tiba-tiba menceritakan tentang kejadian tak biasa yang baru saja ia alami di lapangan basket.

Ketika sedang bermain bola basket santai sepulang dari kantor, ia berbenturan dengan kawannya dalam perebutan bola rebound. Biasanya, ia dapat dengan mudahnya menemukan keseimbangan sehabis benturan, tapi pada saat itu, ia langsung terpental dan terjatuh, dan bahkan ia butuh uluran tangan dari temannya untuk bangkit. Lutut, engkel dan pinggangnya sudah tidak kuat lagi menahan berat badannya yang baru saja terpental. Seketika, ia pun merasa tua, dan mulai sekarang ia tidak lagi berlagak seperti Karl Malone di masa jaya.

Lain lagi dengan teman saya satu lagi. Tanda-tanda fisik ia alami, bahkan ketika tidak berolahraga. Ia mengaku kini mudah mengantuk dan tidak terlalu doyan makan. Ketika saya sedang makan siang dengannya, ia hanya mengemil dan malas 'makan berat'. Ia hanya membeli setangkap roti dan segelas kopi untuk makan siang, padahal dulunya sering makan porsi besar nasi padang atau nasi rames. Di atas jam 8 malam, matanya juga sudah mengantuk, dan ia mengaku tidak sanggup lagi untuk bekerja lembur seperti halnya sepuluh tahun silam.

Dari dua cerita itu, ternyata memang benar kalau saya dan teman-teman seangkatan memang tengah mengalami faktor yang sering diucapkan dengan nada meledek, yaitu 'Faktor U', alias Faktor Umur, yaitu kondisi di mana Tuhan mulai mengambil sedikit demi sedikit kelebihan fisik yang sebelumnya kita nikmati. Selamat datang, fase degeneratif!

Dengan begini, saya jadi perlu mengatur ulang skala prioritas, memperkecil lingkaran pergaulan, dan memfokuskan diri pada hal-hal yang memang harus saya lakukan saja. Sesederhana itu.

Sebuah cara hidup yang sesederhana pergi ke toilet, yaitu selesaikan urusan, bersihkan, lalu tinggalkan. Jangan terlalu banyak dipikirkan.

Ps: Buat yang ngeledek "Tua", mendingan pikir-pikir lagi karena gak ada yang menjamin kalo elo bakal masih dikasih umur untuk bisa merasakan umur kaya gue sekarang. Hahahaha.

Alternate Universe

Sembari jari tangan tetap mengetik di laptop kantor, mata saya mencuri pandang ke sudut kanan bawah monitor: melihat jam. Alangkah kagetnya saya ketika waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Bagi para workaholik, jam sembilan malam mungkin baru permulaan. Ibarat seniman, inspirasi sedang meluap-meluapnya. 

Tapi maaf, saya bukan dan tidak pernah menjadi seorang workaholik. Saya bahkan tidak mau ikut-ikutan memposting tulisan bertema glorifikasi akan kesibukan bekerja yang memperlihatkan betapa dibutuhkannya saya oleh perusahaan.

Malam itu adalah malam minggu. Malam di mana seekor kerbau yang badannya luar biasa kuat itu pun sedang tertidur pulas setelah lelah seharian membajak sawah. Saya tidak mau sih dibandingkan dengan kerbau, yang saya inginkan adalah pulang ke rumah, menikmati waktu tidur singkat yang berkualitas, dan mengumpulkan tenaga lagi karena hari senin sudah dekat dan rutinitas berjibaku dengan para komuter akan segera kembali.

Selama perjalanan pulang naik kereta, pikiran saya menerawang ke masa dua dekade lalu. Tepat tahun 1998, saya masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Bersiap mengikuti ujian akhir, saya teringat betul bahwa saya sama sekali tidak merasa terbebani untuk bisa masuk sekolah favorit. Karena itu memang bukan impian saya, melainkan impian orang-orang terdekat.

Saya punya impian sendiri, yang sayangnya tidak pernah benar-benar terwujud. 'Tidak pernah benar-benar' ini maksudnya adalah saya setidaknya sudah berhasil mencapai beberapa tonggak penting, tapi tidak pernah benar-benar menjalaninya dalam keseharian, seperti orang LDR aja.

Konsep 'menjalani hidup orang lain' dan menjalankan profesi yang 'baik di mata orang lain' akhirnya saya telan. Kadang bikin pengen muntah kalau saya ada hal-hal yang bikin jengkel. Tapi pada akhirnya, saya harus menerima. Saya pun menemukan narasi yang lebih positif ketimbang menyikapi dengan sinis terus menerus. Yah, misalnya kata-kata 'menjalani impian orang lain' bolehkah diganti menjadi 'membahagiakan orang-orang terdekat' atau 'menjalani hidup yang bermanfaat'.

Seandainya saya bisa memutar waktu ke bangku SMA, saya mungkin akan memaksa orang tua saya untuk bersekolah di fakultas sastra untuk menjadi penulis. Bukan penulis yang suka mengarang buku sih, tapi maksudnya menjalani hidup dengan menulis, bukan berhitung atau berbicara, apalagi berdebat.

Ini adalah dunia paralel yang saya akan jalani jika memilih jalan ini. Saya mungkin akan bekerja sebagai redaktur di sebuah penerbitan, koran atau majalah. Atau mungkin malah memulai karier dari bawah sebagai reporter, lalu kemudian berangsur menjadi editor atau produser. 

Enak sekali membayangkan itu. Memiliki akses tak terbatas pada event olahraga di stadion besar, memotret dari dekat atlet-atlet berjibaku di lapangan atau gelanggang, membidik dukungan para penonton, mewawancarai pelatih. Rasanya hal itu sudah menyenangkan saya. Berada di stadion lebih saya nikmati daripada berada di gedung pencakar langit.

Saya mungkin akan tetap berambut gondrong, tidak punya mobil.. hanya punya motor bebek nyaman yang jarang dipakai berboncengan. Saya juga akan menghadapi risiko kamera dirampas oleh petugas keamanan, tulisan didikte atasan, tulisan dihina oleh geng mas-mas genius, hingga tulisan dikritik oleh netizen yang maha benar dengan segala firmannya... 

Dan entah kenapa, kalau saya menjalani hidup di alternate universe ini, saya yakin kalau saya masih nyaman menjomblo di usia 35an. Gak tau kenapa, cuma perasaan aja.

Pada alam yang nyata, bukan alternate universe, saya mengambil jalan aman. Menjadi "orang lain", saya membangun profil yang bisa diterima dengan baik oleh orang-orang. 

Bermain peran. Saya menjadi karyawan di gedung bertingkat tinggi yang memakai baju rapi, dan saya mengenal beberapa teman ambisius yang doyan menciptakan suasana hostile di kantor tapi menampakkan senyum berseri-seri di media sosial.

Menjalani hidup predictable seperti ini terlihat lebih keren. Orang-orang di LinkedIn mengagumi profil saya dan tempat kerja saya, keluarga mendukung, para kerabat memandang dengan positif saat lebaran, dan kawan-kawan semasa sekolah juga memberikan selamat ketika kami berkumpul di acara reuni.

Ini memang jalan yang aman, tapi ini bukan jalan impian. Sayangnya, saat kita sadar tentang apa yang harus kita lakukan untuk hidup, semuanya sudah terlambat, dan jika kita nekat untuk berpindah jalan, maka kita mungkin akan terkena masalah baru.

Sekali lagi, jalan ini adalah milik orang-orang terdekat, di mana saat ini saya mendedikasikan hidup saya untuk mereka.

Tapi saya yakin, akan ada saatnya suatu hari nanti saya akan menuju alternate universe. Entah bagaimana jalannya.

Jumat, 09 Februari 2018

Jabatan

Setelah enam tahun bekerja di perusahaan yang sama, akhirnya saya keluar juga. Tawaran ini datang tepat waktu saat saya memang sudah kepengen berganti suasana dan belajar ilmu baru. Uniknya, saya pindah ke sebuah perusahaan dengan nama populer berawalan huruf D, sama seperti perusahaan sekarang dan sama dengan tempat saya bekerja sebelumnya.

Pertanyaan-pertanyaan dari para kolega pun berdatangan. Umumnya mereka menanyakan empat hal: 1. Naik gaji berapa persen; 2. Posisi/jabatannya apa; 3. Nama kantor baru; 4. Lokasi kantor baru.

Di antara pertanyaan itu, saya paling sering mendapatkan yang nomor 2. Entah berapa orang yang menempatkan persoalan posisi atau jabatan itu sebagai prioritas utama. Jadi, jika mendapatkan kenaikan posisi, maka poin-poin lainnya bisa diabaikan. Pokoknya, posisi lah yang utama. Karena konon katanya posisi ini akan menentukan seberapa besar gaji yang diterima, fasilitas yang dinikmati, dan tentunya hal yang kini sangat mengemuka: GENGSI.

Posisi memang bukan hal sepele. Menyepelekan posisi atau jabatan berarti tidak menghargai perjuangan diri sendiri yang sudah bersusah payah menapaki tangga curam korporasi yang bengis, penuh intrik, drama dan sikut-menyikut. Dan jangan lupa, sejelek-jelek sikap adalah meremehkan diri sendiri. Jadilah banyak sekali orang begitu bangga memaparkan perjalanan kariernya kepada sanak saudara, kerabat atau teman sekolah untuk dijadikan ukuran atau patokan kesuksesan manusia modern.

Dan belakangan ini, entah kenapa saya sering banget melihat teman-teman memajang foto bareng acara kumpul-kumpul kece. Mereka yang fotonya dipajang ini tentunya bukan orang sembarangan. Ada bos besar, ada investor tajir, atau ada pula mereka yang menduduki posisi strategis. Berfoto dengan orang-orang sukses seperti ini tentu saja membanggakan, dong. Kita berada satu circle dan mungkin saja satu grup whatsapp dengan para "big man". Foto-foto pun dengan gampangnya kita kasih kepsyen kece: Bersama bos PT A, juragan PT B, dll. Kalo elo gak punya jabatan kece yang bisa ditulis dengan indah di bagian kepsyen foto, jangan harap deh bisa ikutan nongkrong. Ora sudi!

Dengan membaurkan diri bersama orang-orang sukses, maka kita akan tertular dengan kebiasaan dan tindak-tanduk mereka. Sukses pun akan gampang diraih. Sukses apa? Ya sukses secara materi lah: Rumah mewah, mobil mewah, liburan mewah. Dan semua itu bisa kita dapatkan jika kita punya JABATAN.

Kalo gitu, saya mah apa atuh..

Sabtu, 27 Januari 2018

Lini Masa Saya 2012-2018

Mengamati lini masa di media sosial, terutama Twitter dan Facebook memang gak selamanya menyenangkan, tapi bisa juga mengasyikkan dan bisa juga diambil lucu-lucuannya. Gue sih lebih sering ambil lucu-lucuannya. Mereka yang berantem, gue yang ketawa-ketawa ngeliatnya. Ambil gorengan, seduh kopi, dan lihatlah keriuhan dunia maya ini dari tahun 2012 hingga awal 2018:


2012 - Di Twitter, lini masa gue ramai dengan kemunculan blog-blog sepak bola baru dengan penulis-penulis baru pula. Senjakala dari era ngeblog, tapi mulai melahirkan penulis-penulis sepak bola baru. Banyak sekali yang membagikan tautan tulisan-tulisannya yang tentunya bergaya lebih segar dan beda. Saat itu, karena semuanya masih baru, masih saling ramah dan hormat. Beda dengan dua tahun ke depannya. Hahaha. Tapi, di tahun inilah saya baru tahu yang namanya "Twitwar". Kalo di "anak bola Twitter", ada pendukung dua kubu besar yang saling perang di Twitter. Semua ini gara-gara dari dualisme di tubuh PSSI itu tuh.

2013 - Mulai bermunculan komunitas-komunitas. Dari mulai komunitas penulis sepak bola, makin banyaknya pencinta jersey, hingga sampai ke komunitas lari yang sangat masif. Tiba-tiba semua orang rajin lari pagi, rajin mengunggah statistik dari kegiatan lari paginya. Lari pagi bukan lagi milik abang-abang yang pakai kaos kutang bolong-bolong dan sepatu capung. Tapi lari pagi diikuti para esmud, mahmud dan anak-anak gaul yang tentunya sangat wajib hukumnya untuk memakai baju, celana, sepatu, kaos kaki, topi, kacamata hitam, dan gadget mahal. Sementara di Facebook, banyak sekali yang terganggu banget sama yang suka ngasih invitation untuk main game, dan banyak yang marah-marah pula sampai mulai unfollow dan unfriend.

2014 - Percayalah, tahun 2013 jelas gak ada apa-apanya dibanding 2014. Tahun 2014 ini jelas masa yang paling tidak menyenangkan, terutama di Facebook. Apa lagi sebabnya kalau bukan Pilpres, atau pemilihan presiden langsung. Dua kubu besar bertarung, dengan para pendukung yang sangat fanatik, saling menyebar kebencian dan menebar opini-opini yang belum tentu valid. Susahnya, para pendukung ini sudah berkacamata kuda, dan sudah malas melakukan kroscek. Dari fenomena ini, kita bisa menyaksikan para sahabat lama, temannya teman, tetangga, saudara dan kerabat saling bermusuhan karena perbedaan pilihan. Unfollow, unfriend dan bahkan putus silaturahmi tentu sangat banyak terjadi pada tahun ini. Untungnya, masih ada Piala Dunia yang lumayan menyegarkan lini masa.

2015 - Sisa-sisa kekecewaan dari yang kalah masih ada, belum lagi yang dimabuk kemenangan. Mulai keluar mantra "Gue cuma berpendapat, kalo gak suka silakan unfollow/unfriend". Tapi secara umum mulai mereda. Oh iya, di Twitter, cukup marak terjadi group bully yang dilakukan oleh "mereka yang pintar", yang ditujukan kepada mereka yang lingkar otaknya tidak sebesar mereka. Bully juga dirasakan oleh penulis-penulis yang tulisannya jelek. Peribahasa "Buah jeruk buah delima. Tulisan buruk jangan dihina." tidak berlaku bagi mereka. Sungguh sadis dan menakutkan, apalagi mereka kerap menyerang hal-hal personal yang jauh sekali di luar konteks. Oh iya, di tahun ini pula angkatan 90an yang sekarang berusia 30an terus menyuarakan glorifikasi akan begitu menariknya masa kecil mereka, mainan-mainan mereka, makanan-makanan mereka, tontonan-tontonan mereka, plus menghakimi generasi kekinian yang kebanyakan main gadget dan makan micin. Secara personal, gue juga harus akui tidak tahan melihat beberapa postingan, terutama postingan yang pamernya berlebihan atau postingan yang ngebelain kaum "yang itu tuh", yang gue sih udah gak mau menerima debat lagi lah soal mereka. Ngawur pokoknya.

2016 - Para perundung ini mulai basi sendiri dan kehabisan bahan. Teman-temannya juga udah mulai gak saling nyahut karena mulai sibuk dengan pekerjaan, mulai kenal duit, dan ada juga yang sudah menikah, punya anak dan sekarang berganti fokus perhatian. Di tahun ini, kita cukup sering melihat teman-teman kita meng-upload foto-foto anak, yang tentunya lebih menyenangkan untuk dilihat. Jadinya 2016 cukup sepi lah di Twitter, kecuali mungkin debat tanpa ujung antara sepak bola menyerang dan sepak bola ultra-defensif yang sesekali meramaikan lini masa. Tahun ini juga banyak yang beralih ke Path, yang katanya lebih "private", juga Instagram yang lebih catchy dan lebih mampu menampung kebutuhan narsis dan pamer. Facebook? Tahun ini kembali menghangat untuk menyongsong Pilgub 2017, dan temanya sungguh tidak menyenangkan dan mudah sekali digoreng-goreng oleh para provokator karena menyangkut SARA.

2017 - Twitter mulai ramai kembali, terutama di sini dengan kehadiran akun gosip versi Twitter, yang menyaingi popularitas akun-akun gosip di Instagram. Di Facebook, ramai pula soal Pilgub Jakarta yang tidak kalah ramainya dengan Pilpres 2014. Semangat-semangat kebencian yang masih tersisa dan terpercik pun kembali dikobarkan. Mulai lagi mengisi lini masa dengan seruan-seruan ini-itu, nyinyirin ini-itu, baik secara langsung atau pake kode-kode, dan situasi ini dimanfaatkan dengan cerdik oleh akun-akun bayaran penebar hoax. Mulai jugalah para netijen yang "pintar dan berilmu" ini menyerang para orang alim, seolah mereka yang lebih pintar. Kids zaman now juga semakin beraksi dengan postingan-postingan ngawur mereka, memamerkan terlalu cepatnya mereka dewasa, juga membuat kita selaku kelas menengah ngehe semakin geleng-geleng kepala. 

2018 - Entah mau kaya gimana ya. Di Twitter, awal tahun ini diramaikan dengan perseteruan antara dua orang yang gue gak kenal, yang entah kenapa harus muncul di lini masa. Yang jelas mata ini tidak bisa menghindar untuk melihat kecenderungan orang-orang untuk berkomentar ngaco atas segala sesuatu yang belum tentu dia paham benar. Dan tentunya, semakin banyak fitnah. Namanya juga akhir zaman. Hadapi sajalah, setidaknya tahun ini ada Piala Dunia. Nantinya bulan Juni, mereka yang biasanya gak ngikutin bola akan ramai mem-posting tentang bola supaya kedengeran gaul dan update.

Minggu, 21 Januari 2018

Dolores O'Riordan, Ronaldinho, dan Kebebasan

Mungkin udah agak basi jika gue menuliskan ini. Karena sekitar pekan lalu, ada dua perpisahan mengharukan yang melibatkan dua orang yang amat terkenal, yaitu Dolores O'Riordan dan Ronaldo de Assis Moreira atau lebih dikenal dengan Ronaldinho. Mereka berdua memiliki profesi berbeda, dan perpisahan yang terjadi juga berbeda. Jika Dolores meninggalkan dunia untuk selama-lamanya, maka Ronaldinho, diwakili Roberto Assis, sang kakak yang juga merangkap sebagai agen, mengumumkan pengunduran diri alias pensiun dari dunia sepak bola. Sudah terlalu banyak orang membuat tulisan tentang mereka.

Kenapa gue merasa tetap perlu menuliskan guratan kata demi kata untuk kedua orang ini? Karena buat gue, keduanya adalah simbol dari kebebasan memilih dan bertindak. Seorang rebel sejati yang kemudian disukai banyak orang, dan barangkali amat sedikit yang membenci keduanya. Gue juga termasuk sering menikmati pertunjukan mereka.

Dolores adalah vokalis dari band The Cranberries, band asal Republik Irlandia yang namanya begitu mendunia pada era 90an saat genre Alternatif berbalas panggung dengan genre Grunge pasca meredupnya Hair Metal. Melalui The Cranberries yang mengusung musik dasar pop sederhana yang dipadukan dengan rock inilah Dolores mengekspresikan perasaan dan meluapkan emosi tanpa ragu, tanpa kompromi.

"Aku tidak ingin (dikenal sebagai) vokalis berwajah cantik dan berbadan seksi, aku hanya ingin bebas untuk membuat lagu," ujar Dolores suatu ketika dalam sebuah wawancara. 

Kebebasan yang ditunjukkan Dolores memang tidak sekadar ikut-ikutan. Dolores bukanlah poser dan tidak pula mengikuti arus utama, trend dan kemauan label mayor. Gaya bernyanyinya amat orisinil, sulit untuk menemukan penyanyi wanita yang bergaya seperti dirinya sebelum ia muncul. Yang muncul kemudian meniru gayanya tentu banyak. Ia juga bisa dengan mudahnya meramu lagu demi lagu yang hampir di setiap albumnya mengandung material hits, meski tidak juga ia lepas sedikitpun idealisme.

"Ketika saya membuat album, saya tidak mengharapkan kesuksesan secara komersial, bahwa album itu akan laku terjual atau tidak. Yang terpenting bagi saya adalah kejujuran di dalam album yang saya keluarkan. Bagi saya, ketenaran tidaklah penting," tambah Dolores.

Gue pernah melihat sendiri bagaimana Dolores tampil secara langsung. Selain komunikatif dan ramah, Dolores juga mampu menyanyikan lagu-lagu band-nya semirip ketika proses rekaman. Membuktikan bahwa suara wanita berusia 46 tahin ini bukanlah tiru-tiruan atau poles-polesan. Auto tune? Gak level! Padahal, semula ia bukanlah penyanyi yang diperhitungkan akan meraih ketenaran dan kesuksesan luar biasa.

Apa yang dipertunjukkan Dolores mungkin mirip dengan Ronaldinho. Dengan ciri khas fisik bergigi tonggos dan jauh dari kata ganteng, Dinho bukanlah David Beckham atau Cristiano Ronaldo, pria necis dan trendi yang begitu digilai wanita. Bahkan konon karena wajahnya yang (maaf) jelek itu tadi, salah satu direktur Real Madrid menolak untuk merekrutnya, karena disebutnya tidak baik untuk brand dunia milik Madrid. Si direktur itu pastinya keki setengah mati karena ia kemudian melihat sendiri publik Santiago Bernabeu malahan berbalik memberi Ronaldinho hal yang sebelumnya hanya terjadi pada Diego Maradona, yaitu standing ovation setelah menunjukkan performa mengagumkan dalam sebuah laga El Clasico. Sebuah pukulan telak yang seharusnya membuat si direktur menyingkir untuk bersembunyi di gua selama bertahun-tahun.

Datang dari keluarga miskin dan menemukan bakat sepak bolanya di jalanan di kota Porto Alegre, Ronaldinho juga bukan figur nyaris sempurna seperti Ricardo Kaka. Ia seringkali menunjukkan perangai konyol, terlihat bermalas-malasan, tidak disiplin menjaga berat badan, akrab dengan kehidupan malam, bergaul dengan wanita.. yang semua itu seakan menunjukkan bahwa ia hanya manusia biasa tanpa pencitraan.

Tapi hebatnya, dengan kemampuan mengolah bola yang tiada bandingannya di dunia ini (gue berani mengatakan ini, karena menurut gue, ia bahkan lebih baik daripada Diego Maradona dalam hal menggiring bola), ditambah dengan senyum dan tawa yang selalu ia tunjukkan tanpa menurunkan wibawa sedikitpun, Dinho sudah pasti memiliki pesonanya sendiri, yaitu kegembiraan yang selalu ia tularkan kepada siapa saja. "Ketika bola berada di kaki Anda, itu adalah kesenangan. Seperti Anda mendengar musik, dan Anda akan ingin menularkannya kepada orang lain. Saya tersenyum karena sepak bola memang menyenangkan. Mengapa harus serius? Tujuan Anda bermain semestinya adalah menyebarkan kesenangan," ujar Ronaldinho tentang filosofinya dalam bermain.

Sepasang kaki yang lengket dengan bola, otak yang seperti selalu berpikir di lapangan, mata yang selalu waspada dan fokus yang amat jarang terlepas dari lapangan menjadi ciri khas permainan Dinho. Ia selalu ingin bebas. Bebas menggiring bola dari sisi kiri lapangan menuju ke tengah, melakukan trik elastico yang membuat bola begitu sulit diambil dari kakinya, juga melakukan tendangan-tendangan akrobatik dengan sangat mudahnya. Ronaldinho jelas adalah satu dari 10 pemain terbaik yang pernah gue tonton, terutama ketika dia masih berbaju Barcelona.

"Fiesta! Kalian semua pasti mencintai sepakbola. Seringai dengan gigi kelinci, rambut ikal berkilauan, dengan goyangan ibu jari dan kelingking... Sepatu bersepuh emas dan antusiasme bak anak-anak. Genius yang murni dan tulus... bagaimana orang tidak jatuh cinta kepadanya?" tulis Sid Lowe, seorang jurnalis Inggris yang menetap di Spanyol.

Dua orang ini, Dolores dan Ronaldinho, jelas membuat gue iri. Bukan hanya karena kesuksesan yang mereka raih, tapi tentu saja karena mereka meraihnya tanpa mengorbankan idealisme dengan tetap melakukan apa yang mereka suka. Sulit sekali mencapai hal seperti itu, dan bagi gue, mendobrak dengan cara seperti itu di zaman sekarang yang makin keras, kesuksesan yang mereka raih adalah cerita yang lebih luar biasa daripada kisah kesuksesan seorang workaholic atau penemu yang sering kita temui di rak buku bagian motivasi atau pengembangan diri.

So to hell with what you're thinking
And to hell with your narrow mind
You're so distracted from the real thing
You should leave your life behind. Behind.

'Cause I'm free to decide. I'm free to decide
And I'm not so suicidal after all
I'm free to decide. I'm free to decide
And I'm not so suicidal after all
At al, at all, at all.

Free to Decide - The Cranberries

Jumat, 19 Januari 2018

Mulut

Manusia punya rasa dan opini terhadap orang lain, entah itu valid atau tidak, didasari objektivitas atau subjektivitas, atau dilandasi pengalaman pribadi atau hanya sekadar denger cerita orang lain. Tapi sebagai orang dewasa, tentu tidak semua rasa dan opini itu harus diketahui orang lain. Bayangkan jika seluruh dunia jujur dan membuka "topeng", mungkin dunia ini sudah rata dengan gurun pasir karena ketersinggungan dan kebaperan. Ya, sudah banyak contoh peristiwa pertikaian di dunia ini yang berasal dari mulut yang tidak bisa dijaga.

Terlebih di era keterbukaan media sosial yang terkadang keterlaluan ini, gosip bisa tersebar cepat, bahkan kepada orang yang tidak kenal sekalipun. Berkaca dari buanyaknya capture-capture-an chat dari media whatsapp, posting-an medsos, bahkan insta-story yang umurnya hanya 24 jam yang juga tidak luput dari capture, maka gosip akan cepat sekali menyebar seperti virus.

Maka dari itu, pada tahun ini, target saya sih gak muluk-muluk. Yaitu lebih berhati-hati lagi menjaga mulut, dan terutama sikap. Karena lebih baik gak update dan ketinggalan berita daripada gak enak-enakan sama orang gara-gara persoalan remeh gosip. Banyak sekali persoalan berasal dari mulut yang tidak bisa dijaga, yang merusak pertemanan yang padahal sudah dibangun bertahun-tahun lamanya.

Siapa saja bisa terkenal di era saling viral-mem-viralkan seperti ini. Orang biasa bisa saja kena bully para penggiat medsos hanya karena salah ngomong. Salahnya sekali, kepikirannya berhari-hari. Sanksi sosialnya juga parah, dari cuma kena bully, sampai dimusuhin beneran. Bahkan dalam tingkatan yang lebih parah, cela-mencela ini bisa merembet sampai serangan terhadap hal-hal personal, keluarga atau orang-orang dekat. Serangan salah sasaran yang udah gak sehat, gak nyambung, gak sesuai konteks, dan terutama gak menyelesaikan persoalan.

Sayangnya, kita gak bisa komplen akan beratnya sanksi sosial di era kekinian ini. Realitanya sudah begitu.

Padahal, balik lagi, kita cuma manusia yang gak bisa berbuat bener terus sepanjang hari. Kita juga kadang bisa melakukan kesalahan terhadap teman sendiri, sadar atau tidak. 

Tapi, sekali lagi, kita gak bisa mengontrol reaksi orang lain akan perbuatan kita. Yang bisa kita kontrol adalah perbuatan kita sendiri, atau dengan kata lain, mulut kita sendiri. Itulah musuh terbesar kita. Kalau penyakit datang dari perut, maka dosa dan masalah kita kebanyakan berasal dari mulut. 

Sejatinya, mulut diciptakan untuk berbicara yang baik-baik saja. Berbicara seperlunya, berbicara hanya yang kita paham, dan mengunyah yang halal serta gak berlebihan. Gak perlu lip service, bohong-bohongan, gosip-gosipan, jatuh-menjatuhkan, hasut-menghasut, nyinyir-menyinyir. Gak usah juga kita makan yang bukan porsi kita.

Tapi, untuk kesekian kalinya kita bilang, kita cuma manusia. Bukan malaikat. Untuk itulah ada yang namanya maaf-memaafkan, paham-memahami, lupa-lupain, cuek-cuekin, ketawa-ketawain. Karena memang begitulah manusia yang memang tempatnya dari kesalahan, kesilapan dan lupa. Padahal dia udah tau, tapi tetep aja bikin salah. Ya emang begitu. 

Mulai sekarang, marilah jaga perkataan. Lebih baik lagi, mulailah berbuat adil sejak dari pikiran, supaya yang jelek-jelek di pikiran itu gak sampai terucap dari mulut.

Kamis, 04 Januari 2018

INTP and Proud

Baru-baru ini, kantor tempat saya bekerja mengadakan semacam personality test sekaligus workshop dengan metode Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) bagi karyawannya. Apa itu MBTI? Silakan ketik di mesin mencari, hasilnya bakal bertebaran. Test ini juga bisa dilakukan sendiri secara daring, dan gratis pula. Silakan dicoba.

Hasil test akan menempatkan kita pada satu dari 16 tipe kepribadian menurut MBTI. Kutub terbesar dan yang utama masih dibagi antara  si Introvert (I) dan Ekstrovert (E). Membedakan si I dan si E ini bukan hanya dari pembawaan sehari-hari yang banyak omong atau pendiam, tapi lebih kepada bagaimana kita mendapatkan energi, apakah dari kegiatan menyendiri atau bertemu dengan orang lain. 

Ada pula pembanding cara kita dalam menginterpretasi sebuah persoalan, apakah lebih dominan menggunakan panca indera dan data (Sensing/S) atau lebih dominan menggunakan intuisi dan teori (iNtuition/N). Lalu selanjutnya apakah pengambilan keputusan kita lebih didasari perasaan dan emosi (Feeling/F) ataukah logika rasional (Thinking/T). Terakhir, bagaimanakah kita menjalani hidup secara umum, apakah lebih suka dengan terencana, konvensional dan sistematis (Judging/J) atau lebih spontan dan fleksibel (Perceiving/P).

Yang jelas, kalo buat saya sih test MBTI ini sangat akurat dalam memperlihatkan keseharian. Catat: keseharian kita. Yang namanya keseharian, bisa jadi dipengaruhi kebiasaan. Contohnya, seorang introvert bisa saja menjadi ekstrovert karena tuntutan pekerjaan. Artinya, hasil dari MBTI ini lebih memperlihatkan apa yang memang terlihat, tetapi boleh jadi bukan kepribadiannya yang sebenarnya.

Kalau saya sih kebetulan, apa yang terlihat memang apa yang sebenarnya. Hasil test saya ternyata INTP, karena memang saya memang seorang INTP. Silakan baca sendiri seperti apa ciri-ciri seorang INTP, ya seperti itulah saya.

Kebaikan lain dari MBTI test dan workshop-nya ini adalah orang lain jadi tahu bahwa introvert adalah bentuk kepribadian, bukan kekurangan. Secara populasi, introvert memang kalah banyak daripada ekstrovert, lebih-lebih suaranya. Stigma negatif dari menjadi seorang introvert sudah saya rasain sejak di bangku sekolahan. Dulu, guru-guru saya sering menganggap saya orang yang pasif, gak percaya diri, dan pemalu. Sementara teman-teman dan keluarga juga menganggap saya terlalu pendiam, kuper dan lebih parah lagi: sombong. 

Memang sudah seharusnya edukasi tentang hal ini diperbanyak, sehingga orang tidak lagi menalar secara dangkal dan memberi label negatif hanya karena orang lain memiliki pembawaan yang berbeda. Sebetulnya ini bukan masalah kalian introvert atau ekstrovert. Percayalah, introvert dan ekstrovert saling membutuhkan. Bukankah lebih penting menilai kualitas pembicaraan? Buat apa sedikit ngomong, tapi sekalinya ngomong malah ngomongin orang. Buat apa banyak omong tapi gak ada isinya. Dan yang paling penting, bukankah kita harus mengerti kapan harus berbicara dan kapan harus diam?

Bicara tentang hasil INTP, ternyata saya jadi satu-satunya INTP di divisi saya. Mungkin juga, dalam satu kantor hanya saya yang INTP. Mungkin lho ya. Gak heran juga sih, karena dari banyak penelitian, INTP memang salah satu yang paling sedikit dari populasi manusia. Hanya 3% saja. Ya wajar aja jika saya yang INTP ini sering dianggap aneh oleh mereka yang berbeda. Karena ya itu tadi, mereka cuma bisa melihat apa yang terlihat di depan, dan langsung diomongin aja tanpa mikir-mikir panjang.

Saya amat menikmati menjadi seorang INTP, walaupun kenyataannya seorang INTP seperti saya ini tidaklah cocok bekerja di divisi yang berhubungan dengan uang dan hitung-hitungan. Bukannya saya gak bisa ngitung, tapi lebih kepada aspek lainnya, yaitu seorang yang bekerja di divisi finance, accounting atau pajak jelas tidak bisa mengandalkan intuisi dalam melakukan pekerjaannya. Dia juga gak boleh berjalan di luar sistem, karena dalam kerjaan seperti ini tentu sudah dipagari aturan-aturan yang kaku. Namanya juga berurusan dengan duit. Kerjaan seperti ini juga sifatnya rutinitas, padahal saya gak suka banget yang namanya hal-hal rutin, rapi, formil, tradisional dan gak memerlukan banyak kreativitas.

Terjawab sudah kalau memang saya salah jurusan! Kalau tahu begini, dari dulu saya ambil kuliah jurusan sastra atau seni aja, bukannya pajak. Pantes aja kerjaan ini mudah membuat saya burnout dan capek. Saya juga gak heran kalau saya sering banget terpikir untuk beralih profesi saja. Untungnya, saya orangnya cukup jago dalam berpura-pura.

Gak semua orang bisa dapetin pekerjaan yang sesuai passion dia, apalagi dibayar mahal untuk itu. Rasanya, banyak orang yang bernasib seperti saya. Saya sih udah lama berdamai dengan kata-kata passion itu karena aspek logika saya yang mendorong saya untuk melakukan apa yang memang harus dilakukan, alih-alih apa yang saya sukai. Pilihan yang saya ambil ini telah membawa saya pada kehidupan yang sekarang, yang amat saya syukuri. Dan hanya karena pekerjaan saya bukanlah pekerjaan yang saya sukai banget, bukan berarti saya akan asal-asalan mengerjakannya.

Tenang aja, bakalan ada waktu untuk mengerjakan apa yang saya suka setelah semuanya cukup. Pasti bisa. Gak ada yang gak mungkin bagi seorang INTP. Hahaha.