Minggu, 22 Juli 2018

Degeneratif

Ketika saya lebih suka langsung pulang ke rumah selepas bekerja ketimbang ngopi di kafe, dan ketika saya merasa bahwa kurang tidur lebih berbahaya daripada kurang gaul, saat itulah saya merasa mulai menua.

Ternyata, saya tidak sendirian. Ketika bertemu beberapa teman-teman seangkatan, mereka juga mengatakan hal yang senada. Mereka bilang kalau sofa buluk di rumah, anak-anak yang lincah dan istri yang cerewet di dalam rumah yang masa cicilannya masih panjang adalah tempat paling nyaman di dunia. Lebih nyaman daripada kantor, kafe atau tempat nongkrong. Mindset yang bapak-bapak banget kan?

Ada tanda-tanda lain yang tidak hanya dari berupa mindset atau pola pikir saja. Tanda-tanda ini malah berupa yang kasat mata dan sifatnya fisikal terjadi. Saya kasih beberapa contoh.

Seorang teman yang dulunya saya kenal cukup fit karena ia memang rajin berolahraga, tiba-tiba menceritakan tentang kejadian tak biasa yang baru saja ia alami di lapangan basket.

Ketika sedang bermain bola basket santai sepulang dari kantor, ia berbenturan dengan kawannya dalam perebutan bola rebound. Biasanya, ia dapat dengan mudahnya menemukan keseimbangan sehabis benturan, tapi pada saat itu, ia langsung terpental dan terjatuh, dan bahkan ia butuh uluran tangan dari temannya untuk bangkit. Lutut, engkel dan pinggangnya sudah tidak kuat lagi menahan berat badannya yang baru saja terpental. Seketika, ia pun merasa tua, dan mulai sekarang ia tidak lagi berlagak seperti Karl Malone di masa jaya.

Lain lagi dengan teman saya satu lagi. Tanda-tanda fisik ia alami, bahkan ketika tidak berolahraga. Ia mengaku kini mudah mengantuk dan tidak terlalu doyan makan. Ketika saya sedang makan siang dengannya, ia hanya mengemil dan malas 'makan berat'. Ia hanya membeli setangkap roti dan segelas kopi untuk makan siang, padahal dulunya sering makan porsi besar nasi padang atau nasi rames. Di atas jam 8 malam, matanya juga sudah mengantuk, dan ia mengaku tidak sanggup lagi untuk bekerja lembur seperti halnya sepuluh tahun silam.

Dari dua cerita itu, ternyata memang benar kalau saya dan teman-teman seangkatan memang tengah mengalami faktor yang sering diucapkan dengan nada meledek, yaitu 'Faktor U', alias Faktor Umur, yaitu kondisi di mana Tuhan mulai mengambil sedikit demi sedikit kelebihan fisik yang sebelumnya kita nikmati. Selamat datang, fase degeneratif!

Dengan begini, saya jadi perlu mengatur ulang skala prioritas, memperkecil lingkaran pergaulan, dan memfokuskan diri pada hal-hal yang memang harus saya lakukan saja. Sesederhana itu.

Sebuah cara hidup yang sesederhana pergi ke toilet, yaitu selesaikan urusan, bersihkan, lalu tinggalkan. Jangan terlalu banyak dipikirkan.

Ps: Buat yang ngeledek "Tua", mendingan pikir-pikir lagi karena gak ada yang menjamin kalo elo bakal masih dikasih umur untuk bisa merasakan umur kaya gue sekarang. Hahahaha.

Alternate Universe

Sembari jari tangan tetap mengetik di laptop kantor, mata saya mencuri pandang ke sudut kanan bawah monitor: melihat jam. Alangkah kagetnya saya ketika waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Bagi para workaholik, jam sembilan malam mungkin baru permulaan. Ibarat seniman, inspirasi sedang meluap-meluapnya. 

Tapi maaf, saya bukan dan tidak pernah menjadi seorang workaholik. Saya bahkan tidak mau ikut-ikutan memposting tulisan bertema glorifikasi akan kesibukan bekerja yang memperlihatkan betapa dibutuhkannya saya oleh perusahaan.

Malam itu adalah malam minggu. Malam di mana seekor kerbau yang badannya luar biasa kuat itu pun sedang tertidur pulas setelah lelah seharian membajak sawah. Saya tidak mau sih dibandingkan dengan kerbau, yang saya inginkan adalah pulang ke rumah, menikmati waktu tidur singkat yang berkualitas, dan mengumpulkan tenaga lagi karena hari senin sudah dekat dan rutinitas berjibaku dengan para komuter akan segera kembali.

Selama perjalanan pulang naik kereta, pikiran saya menerawang ke masa dua dekade lalu. Tepat tahun 1998, saya masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Bersiap mengikuti ujian akhir, saya teringat betul bahwa saya sama sekali tidak merasa terbebani untuk bisa masuk sekolah favorit. Karena itu memang bukan impian saya, melainkan impian orang-orang terdekat.

Saya punya impian sendiri, yang sayangnya tidak pernah benar-benar terwujud. 'Tidak pernah benar-benar' ini maksudnya adalah saya setidaknya sudah berhasil mencapai beberapa tonggak penting, tapi tidak pernah benar-benar menjalaninya dalam keseharian, seperti orang LDR aja.

Konsep 'menjalani hidup orang lain' dan menjalankan profesi yang 'baik di mata orang lain' akhirnya saya telan. Kadang bikin pengen muntah kalau saya ada hal-hal yang bikin jengkel. Tapi pada akhirnya, saya harus menerima. Saya pun menemukan narasi yang lebih positif ketimbang menyikapi dengan sinis terus menerus. Yah, misalnya kata-kata 'menjalani impian orang lain' bolehkah diganti menjadi 'membahagiakan orang-orang terdekat' atau 'menjalani hidup yang bermanfaat'.

Seandainya saya bisa memutar waktu ke bangku SMA, saya mungkin akan memaksa orang tua saya untuk bersekolah di fakultas sastra untuk menjadi penulis. Bukan penulis yang suka mengarang buku sih, tapi maksudnya menjalani hidup dengan menulis, bukan berhitung atau berbicara, apalagi berdebat.

Ini adalah dunia paralel yang saya akan jalani jika memilih jalan ini. Saya mungkin akan bekerja sebagai redaktur di sebuah penerbitan, koran atau majalah. Atau mungkin malah memulai karier dari bawah sebagai reporter, lalu kemudian berangsur menjadi editor atau produser. 

Enak sekali membayangkan itu. Memiliki akses tak terbatas pada event olahraga di stadion besar, memotret dari dekat atlet-atlet berjibaku di lapangan atau gelanggang, membidik dukungan para penonton, mewawancarai pelatih. Rasanya hal itu sudah menyenangkan saya. Berada di stadion lebih saya nikmati daripada berada di gedung pencakar langit.

Saya mungkin akan tetap berambut gondrong, tidak punya mobil.. hanya punya motor bebek nyaman yang jarang dipakai berboncengan. Saya juga akan menghadapi risiko kamera dirampas oleh petugas keamanan, tulisan didikte atasan, tulisan dihina oleh geng mas-mas genius, hingga tulisan dikritik oleh netizen yang maha benar dengan segala firmannya... 

Dan entah kenapa, kalau saya menjalani hidup di alternate universe ini, saya yakin kalau saya masih nyaman menjomblo di usia 35an. Gak tau kenapa, cuma perasaan aja.

Pada alam yang nyata, bukan alternate universe, saya mengambil jalan aman. Menjadi "orang lain", saya membangun profil yang bisa diterima dengan baik oleh orang-orang. 

Bermain peran. Saya menjadi karyawan di gedung bertingkat tinggi yang memakai baju rapi, dan saya mengenal beberapa teman ambisius yang doyan menciptakan suasana hostile di kantor tapi menampakkan senyum berseri-seri di media sosial.

Menjalani hidup predictable seperti ini terlihat lebih keren. Orang-orang di LinkedIn mengagumi profil saya dan tempat kerja saya, keluarga mendukung, para kerabat memandang dengan positif saat lebaran, dan kawan-kawan semasa sekolah juga memberikan selamat ketika kami berkumpul di acara reuni.

Ini memang jalan yang aman, tapi ini bukan jalan impian. Sayangnya, saat kita sadar tentang apa yang harus kita lakukan untuk hidup, semuanya sudah terlambat, dan jika kita nekat untuk berpindah jalan, maka kita mungkin akan terkena masalah baru.

Sekali lagi, jalan ini adalah milik orang-orang terdekat, di mana saat ini saya mendedikasikan hidup saya untuk mereka.

Tapi saya yakin, akan ada saatnya suatu hari nanti saya akan menuju alternate universe. Entah bagaimana jalannya.