Thilafushi: Photo from Dailymail |
Apakah yang Anda ketahui dari
Maladewa? Pantai-pantai berpasir putih? Air laut berwarna biru muda yang sangat
cocok dipakai untuk kegiatan snorkling? Penginapan mewah yang hanya bisa
dibayar untuk Anda yang punya uang berlebih? Pemandangan yang sangat keren
untuk dipampang pada akun social media? Gambaran surga dunia?
Bagaimanapun Anda memandang
Maladewa, atau Maldives, Anda mungkin perlu mencari tahu tentang daerah di sana
bernama Thilafushi. Googling, maka Anda
akan temukan. Rasanya begitulah pemeo umum yang berlaku pada era digital
modern saat dunia telah memilih untuk mengungkap seluruh rahasianya.
Saya yang telah lebih dulu
melihat tayangan dokumenternya di sebuah saluran televisi berbayar kebetulan
telah mengakses berbagai berita dan artikel yang memuat salah satu pulau yang
terdapat dalam gugusan pulau di selatan India ini.
Kencangnya promosi pariwisata,
menjamurnya tiket murah, dan berbagai pengalaman seru yang dituangkan oleh para
penulis perjalanan telah mengubah wajah banyak tempat di dunia. Kini banyak tempat yang semula damai, terkucil dan
tidak banyak yang memperhatikan berubah menjadi tempat komersil yang penuh
dengan manusia-manusia haus liburan, yang telah menabung sepanjang tahun untuk
menuju tempat-tempat ini dengan berbagai macam tujuan. Sesuatu yang sayangnya
kebanyakan berdampak negatif pada kelestarian lingkungan, meskipun menghasilkan
perputaran devisa pariwisata secara masif yang tentu saja akan didukung oleh
yurisdiksi manapun.
Kembali ke Thilafushi, okelah saya
jelaskan sedikit meskipun Anda sudah melakukan googling. Thilafushi adalah
salah satu pulau kecil buatan seluas 7 km yang dibangun pada tahun awal 90an.
Thilafushi ‘dikorbankan’ untuk menjadi tempat penampungan sampah raksasa bagi
negara liliput ini. Kini, seperti yang teruang dalam Wikipedia, Thilafushi
sudah menjadi ‘pulau gunung sampah’ yang ‘didatangi’ 330 ton sampah per hari. Sebagai
informasi, seorang turis yang berkunjung ke Maladewa meninggalkan 3,5 kg sampah
setiap harinya.
Gunung sampah di "surga". Picture from Wikipedia |
Persoalan limbah pariwisata
memang sejatinya adalah masalah klasik yang sepertinya hingga kini belum
terselesaikan. Pemerintah Maladewa nyatanya memang memilih untuk melakukan
lokalisasi pada sampah-sampah ini dengan cara mengorbankan sebuah pulau untuk
dijadikan tempat pembuangan sampah akhir. Namun setelah sampah menggunung di
pulau ini, mereka seolah tidak mengetahui bagaimana penanganan selanjutnya.
Lokalisasi sampah semacam ini bagaikan
menaruh sedikit demi sedikit barang tidak terpakai di gudang rumah kita secara
terus menerus, tanpa pernah kita membuang barang-barang lama untuk menggantikan
barang-barang yang baru kita tempatkan.
Bukannya bermaksud untuk nyinyir
dan menghakimi para turis, namun jika kita mengetahui hal buruk jarang terlihat
dan terekspos semacam ini, setidaknya kita dapat memikirkan sesuatu untuk
diperbuat, meskipun hanya sekadar membuat tulisan di ruang publik dunia maya
seperti yang saya sedang lakukan.