Selasa, 26 November 2013

Trouble In Paradise

Thilafushi: Photo from Dailymail

Apakah yang Anda ketahui dari Maladewa? Pantai-pantai berpasir putih? Air laut berwarna biru muda yang sangat cocok dipakai untuk kegiatan snorkling? Penginapan mewah yang hanya bisa dibayar untuk Anda yang punya uang berlebih? Pemandangan yang sangat keren untuk dipampang pada akun social media? Gambaran surga dunia?

Bagaimanapun Anda memandang Maladewa, atau Maldives, Anda mungkin perlu mencari tahu tentang daerah di sana bernama Thilafushi. Googling, maka Anda akan temukan. Rasanya begitulah pemeo umum yang berlaku pada era digital modern saat dunia telah memilih untuk mengungkap seluruh rahasianya.

Saya yang telah lebih dulu melihat tayangan dokumenternya di sebuah saluran televisi berbayar kebetulan telah mengakses berbagai berita dan artikel yang memuat salah satu pulau yang terdapat dalam gugusan pulau di selatan India ini.

Kencangnya promosi pariwisata, menjamurnya tiket murah, dan berbagai pengalaman seru yang dituangkan oleh para penulis perjalanan telah mengubah wajah banyak tempat di dunia. Kini  banyak tempat yang semula damai, terkucil dan tidak banyak yang memperhatikan berubah menjadi tempat komersil yang penuh dengan manusia-manusia haus liburan, yang telah menabung sepanjang tahun untuk menuju tempat-tempat ini dengan berbagai macam tujuan. Sesuatu yang sayangnya kebanyakan berdampak negatif pada kelestarian lingkungan, meskipun menghasilkan perputaran devisa pariwisata secara masif yang tentu saja akan didukung oleh yurisdiksi manapun.

Kembali ke Thilafushi, okelah saya jelaskan sedikit meskipun Anda sudah melakukan googling. Thilafushi adalah salah satu pulau kecil buatan seluas 7 km yang dibangun pada tahun awal 90an. Thilafushi ‘dikorbankan’ untuk menjadi tempat penampungan sampah raksasa bagi negara liliput ini. Kini, seperti yang teruang dalam Wikipedia, Thilafushi sudah menjadi ‘pulau gunung sampah’ yang ‘didatangi’ 330 ton sampah per hari. Sebagai informasi, seorang turis yang berkunjung ke Maladewa meninggalkan 3,5 kg sampah setiap harinya.

Gunung sampah di "surga". Picture from Wikipedia

Persoalan limbah pariwisata memang sejatinya adalah masalah klasik yang sepertinya hingga kini belum terselesaikan. Pemerintah Maladewa nyatanya memang memilih untuk melakukan lokalisasi pada sampah-sampah ini dengan cara mengorbankan sebuah pulau untuk dijadikan tempat pembuangan sampah akhir. Namun setelah sampah menggunung di pulau ini, mereka seolah tidak mengetahui bagaimana penanganan selanjutnya.

Lokalisasi sampah semacam ini bagaikan menaruh sedikit demi sedikit barang tidak terpakai di gudang rumah kita secara terus menerus, tanpa pernah kita membuang barang-barang lama untuk menggantikan barang-barang yang baru kita tempatkan.


Bukannya bermaksud untuk nyinyir dan menghakimi para turis, namun jika kita mengetahui hal buruk jarang terlihat dan terekspos semacam ini, setidaknya kita dapat memikirkan sesuatu untuk diperbuat, meskipun hanya sekadar membuat tulisan di ruang publik dunia maya seperti yang saya sedang lakukan.