Selasa, 26 November 2013

Brendon Grimshaw: Petualang, Pelestari Lingkungan

Brendon Grimshaw. Photo by Theflyingtortoise.blogspot.com

Nama Brendon Grimshaw mungkin asing bagi Anda. Ia bukanlah ahli agama, bukan atlet ternama, bukan aktor terkenal, bukan ilmuan terpandang, bukan sosialita yang banyak berseliweran di pesta-pesta terkemuka, bukan selebtweet yang penuh pencitraan, bukan pula politisi yang pandai bersilat lidah. Ia hanyalah seorang pria sederhana berasal dari Yorkshire, Inggris dengan keinginan yang sederhana yaitu melestarikan alam dengan caranya.

Tahun 60an, takdir membawa Grimshaw bertugas di negara gugusan pulau kecil di timur Afrika, Seychelles. Seychelles adalah negara kecil berpenduduk hanya 85.000 orang dengan banyak pantai-pantai indah belum terjamah, yang juga dalam sejarahnya merupakan tempat persembunyian para perompak, termasuk harta karunnya. Saat bekerja sebagai editor di surat kabar negeri itulah ia mengumpulkan uang dalam jumlah sangat besar saat itu, yaitu 8.000 pound untuk membeli sebuah pulau kecil kosong seluas 0,089 km bernama Moyenne.

Moyenne hanya berjarak 1 jam dari pulau Mahe, pulau utama Seychelles tempat ibukota Victoria berada. Tahun 1973, atau satu dekade setelah membeli pulau ini, Grimshaw memutuskan untuk pindah permanen. Moyenne, yang semula tidak memiliki apapun dan hanya berupa daratan kecil di tengah samudera Hindia, diubah secara drastis oleh Grimshaw bersama dengan orang yang ia pekerjakan yaitu pria lokal bernama Rene Antoine Lafortune.

Jika miliuner-miliuner Rusia dan Arab membeli pulau tropis sekitar wilayah ini untuk dijadikannya tempat peristirahatan sunyi dan mewah, maka Grimshaw tidaklah demikian. Ia dan Lafortune menanam 16.000 pohon, termasuk 700 pohon mahoni. Mereka juga membangun penangkaran bagi burung-burung, juga memelihara 120 ekor kura-kura raksasa yang terancam punah.

Lokasi Moyenne Island. Photo by Dailymail


Kerja keras terus dilakukan Grimshaw dalam mentransformasi pulau ini. Ia tidak menikah, sesuatu yang kelak disesalinya meskipun paham sepenuhnya bahwa dalam realitanya kisah cinta tidaklah seindah ending film produksi hollywood. Tidak akan ada wanita manapun yang sudi menemaninya untuk hidup di sebuah pulau kosong terpencil tanpa adanya mal dan pusat hiburan. Grimshaw sudah hidup dengan realita tersebut, dan berdamai dengannya. Grimshaw sudah cukup puas karena ayahnya, Raymond, sempat menghabiskan waktu bersamanya di pulau itu hingga meninggal. Adiknya juga kini tinggal di pulau Mahe bersama suaminya.

Grimshaw jelas tidak melakukan semua ini untuk uang. Sudah beberapa kali miliuner menawar pulau ini berpuluh-puluh kali lipat dari harga belinya, namun ia selalu menolak. Ia tidak ingin surga yang telah ia bangun ini diubah menjadi resor-resor mewah komersial. Ia memilih menghabiskan masa tuanya sebagai petualang, sebagai sahabat para binatang dan alam di pulau kecilnya, ketimbang menghadiahi sendiri dengan mansion mewah di negerinya yang dapat diperolehnya hasil penjualan pulau Moyenne yang telah ia bangun.

Upaya Grimshaw melindungi pulau ini berhasil. Setelah dua puluh tahun lebih, pemerintah Seychelles menjadikan Moyenne sebagai taman nasional. Dengan demikian, pulau tempat pelestarian kura-kura raksasa, burung-burung dan tanaman-tanaman tropis akan terbebas dari ancaman privatisasi. “Ia adalah Robinson Crusoe modern” ujar Joel Morgan, Menteri Lingkungan Hidup Seychelles, menyamakan Grimshaw dengan seorang petualang terkenal yang mampu bertahan hidup sendiri di sebuah pulau.

Juli 2012 lalu, Grimshaw telah wafat pada usia 87 tahun. Ia dimakamkan di liang lahat yang telah ia persiapkan semasa hidupnya, bersebelahan dengan makam ayahnya di pulau Moyenne. Ia menyusul Lafortune, koleganya yang telah pergi lima tahun sebelumnya.

Kisah inspiratif Grimshaw adalah kisah penuh pengorbanan, kesederhanaan, pengabdian dan kebesaran hati seorang yang begitu besar perhatiannya pada kelestarian lingkungan. Ia tidak banyak bicara, hanya berbuat. Boleh jadi, ia sempat berharap untuk menemukan harta karun bajak laut terkenal Oliver Levasseur. Namun seperti yang dikemukakan oleh Simon Reeve dalam artikelnya, Grimshaw sudah dari dulu menerima tawaran para miliuner yang tertarik pada pulaunya, jika memang uang menjadi tujuan.



Trouble In Paradise

Thilafushi: Photo from Dailymail

Apakah yang Anda ketahui dari Maladewa? Pantai-pantai berpasir putih? Air laut berwarna biru muda yang sangat cocok dipakai untuk kegiatan snorkling? Penginapan mewah yang hanya bisa dibayar untuk Anda yang punya uang berlebih? Pemandangan yang sangat keren untuk dipampang pada akun social media? Gambaran surga dunia?

Bagaimanapun Anda memandang Maladewa, atau Maldives, Anda mungkin perlu mencari tahu tentang daerah di sana bernama Thilafushi. Googling, maka Anda akan temukan. Rasanya begitulah pemeo umum yang berlaku pada era digital modern saat dunia telah memilih untuk mengungkap seluruh rahasianya.

Saya yang telah lebih dulu melihat tayangan dokumenternya di sebuah saluran televisi berbayar kebetulan telah mengakses berbagai berita dan artikel yang memuat salah satu pulau yang terdapat dalam gugusan pulau di selatan India ini.

Kencangnya promosi pariwisata, menjamurnya tiket murah, dan berbagai pengalaman seru yang dituangkan oleh para penulis perjalanan telah mengubah wajah banyak tempat di dunia. Kini  banyak tempat yang semula damai, terkucil dan tidak banyak yang memperhatikan berubah menjadi tempat komersil yang penuh dengan manusia-manusia haus liburan, yang telah menabung sepanjang tahun untuk menuju tempat-tempat ini dengan berbagai macam tujuan. Sesuatu yang sayangnya kebanyakan berdampak negatif pada kelestarian lingkungan, meskipun menghasilkan perputaran devisa pariwisata secara masif yang tentu saja akan didukung oleh yurisdiksi manapun.

Kembali ke Thilafushi, okelah saya jelaskan sedikit meskipun Anda sudah melakukan googling. Thilafushi adalah salah satu pulau kecil buatan seluas 7 km yang dibangun pada tahun awal 90an. Thilafushi ‘dikorbankan’ untuk menjadi tempat penampungan sampah raksasa bagi negara liliput ini. Kini, seperti yang teruang dalam Wikipedia, Thilafushi sudah menjadi ‘pulau gunung sampah’ yang ‘didatangi’ 330 ton sampah per hari. Sebagai informasi, seorang turis yang berkunjung ke Maladewa meninggalkan 3,5 kg sampah setiap harinya.

Gunung sampah di "surga". Picture from Wikipedia

Persoalan limbah pariwisata memang sejatinya adalah masalah klasik yang sepertinya hingga kini belum terselesaikan. Pemerintah Maladewa nyatanya memang memilih untuk melakukan lokalisasi pada sampah-sampah ini dengan cara mengorbankan sebuah pulau untuk dijadikan tempat pembuangan sampah akhir. Namun setelah sampah menggunung di pulau ini, mereka seolah tidak mengetahui bagaimana penanganan selanjutnya.

Lokalisasi sampah semacam ini bagaikan menaruh sedikit demi sedikit barang tidak terpakai di gudang rumah kita secara terus menerus, tanpa pernah kita membuang barang-barang lama untuk menggantikan barang-barang yang baru kita tempatkan.


Bukannya bermaksud untuk nyinyir dan menghakimi para turis, namun jika kita mengetahui hal buruk jarang terlihat dan terekspos semacam ini, setidaknya kita dapat memikirkan sesuatu untuk diperbuat, meskipun hanya sekadar membuat tulisan di ruang publik dunia maya seperti yang saya sedang lakukan.