Jumat, 20 Oktober 2017

Embrace The Slow Culture: Kerja 4 Hari Seminggu

Ada tujuh hari dalam satu minggu. Bagi pekerja kantoran, lima hari di antaranya adalah hari kerja dan dua hari sisanya menjadi hari libur. Ada juga beberapa kantor yang memberlakukan enam hari kerja dan satu hari libur. Karena itulah di kalangan pekerja sangat lazim dijumpai jargon I don't like Monday, karena hari Senin adalah yang mengawali pekan melelahkan.

Bagi kantor akuntan, konsultan atau pekerjaan profesional lainnya, jam kerja malah lebih tidak jelas. Sudah senin sampai jumat pergi pagi pulang pagi, sabtu dan minggu pun dihajar lembur. Pekerja proyek malah bisa lebih gila lagi. Bisa-bisa, dalam seminggu, para pekerja hanya bisa makan dan tidur sekadarnya. Namun dengan catatan, para pekerja profesional ini memiliki jam kerja yang lebih fleksibel dan mereka bisa mengambil jatah istirahat panjang setelah proyek selesai.

Inilah yang berlaku di dunia secara umum. Perusahaan-perusahaan itu terus bergerak mencari laba, bekerja demi kepentingan yang ujung-ujungnya mengalir ke pemilik modal yang terus berusaha meningkatkan kekayaannya. Tapi mau bagaimana lagi, pekerjanya juga butuh uang untuk membiayai kebutuhan narsis hidup yang kian hari kian mahal saja. Juga membayar utang-utang mereka yang telah terlanjur terjerat tipu daya lembaga pemberi utang.

Saya juga seorang pekerja, dan saya bekerja keras karena memang butuh. Tapi kadang saya mikir, di dunia yang semakin serius dan semakin banyak menggerogoti sumber alam, uang yang berputar kebanyakan mengalir kepada golongan tertentu saja, dan tingkat stress yang semakin tinggi, apa gak sebaiknya kita sedikit mengerem?

Mengerem maksudnya gimana? Ya kalo bagi saya sih simple. Kenapa gak mengurangi hari kerja, bukan lagi jam kerja. Kenapa seluruh dunia gak mau mencoba mengurangi hari kerja dari lima hari (standar) menjadi empat hari. Empat hari kerja, tiga hari libur. Enak, kan?

Mungkin saran ini terdengar bodoh, sebagian juga mungkin berpikir saran seperti ini hanya datang dari seorang pemalas yang gagal menaklukkan dunia. Ya suka-suka aja, tapi gue punya poin dalam usulan yang kedengarannya silly ini. Sekaligus menyanggah stereotip yang menganggap orang-orang selow adalah mereka yang pemalas.

Kita sudah terlalu banyak mengeruk kekayaan alam dan membuat polusi. Jika satu hari diliburkan dan sebagai gantinya orang-orang akan berdiam di rumah (atau piknik), tentu konsumsi energi dan pemakaian komoditas untuk produksi akan berkurang. Kenapa car free-day gak diberlakukan dua hari dalam seminggu? Berkurangnya konsumsi energi dan pemakaian komoditas ini tentu akan mengurangi polusi di bumi yang lapisan ozon-nya mulai menipis ini.

Intinya, bumi ini bergerak terlalu cepat, dikeruk terlalu banyak, dengan diisi orang-orang yang terlalu serius, tamak dan rakus. Kita kurangi saja kecepatan ini biar orang-orang makin jadi lebih tenang. Di jaman yang katanya akan menuju akhir ini, menurut gue sih baiknya kita menghabiskan lebih banyak waktu untuk tidur siang, mengantar anak ke sekolah, mendekatkan diri kepada Tuhan, atau memakan pisang goreng di teras rumah. Siapa sangka bahwa hidup lebih santai malah bakal lebih banyak mendatangkan makna dan memberikan manfaat. 

Lagipula kalau lagi di kantor, bukankah kebanyakan dari kita terlalu banyak menghabiskan waktu untuk ngobrol gak jelas, melipir ke sana-sini sebelum dan sesudah makan siang, membaca artikel politik yang dibuat pekerja hoax, ribut sama teman lama di facebook, kepo sama gosip artis di akun gosip instagram atau main game online? 

Gue sih yakin, kalo lagi di rumah, kalian jarang melakukan kegiatan-kegiatan ini. Di rumah, kalian akan lebih berdaya guna. Menemani anak bermain, membetulkan kran bocor, mencuci mobil dan motor, mengecat pagar, mengantar orang tua kondangan, mengantar istri ke pasar, dan lain-lain. Lebih berguna, bukan? Let's just embrace the slow culture!

Atau, cobalah berhenti sejenak dan lihat apa saja yang sudah kalian lewatkan. Anak yang tiba-tiba sudah besar tanpa kalian pantau perkembangannya, orang tua yang sudah kalian cuekin, teman lama yang sudah lama kalian tidak hubungi, buku-buku yang plastiknya belum dibuka, atau hobi-hobi yang sudah lama kalian tinggalkan. Pastinya dunia tidak sesempit kubikel kerja kita.

Lagian kalo kita sudah gak ada lagi di dunia, emangnya perusahaan kita bakalan ingat? Kalau kita resign, kita akan mudah digantikan. Kita tidaklah lebih dari sebuah baut kecil dalam sebuah mesin yang besar. Yang mengenang kita adalah keluarga kita, dan jangan lupa kalo kita akan dikenang berdasarkan apa yang kita perbuat selama hidup.

Selasa, 10 Oktober 2017

Untuk Kita, Makhluk Akhir Zaman

Ada dua jenis ceramah atau kajian agama Islam yang gue suka, yaitu yang membahas tentang sejarah dan yang membahas tentang akhir zaman. Dengan belajar sejarah Islam, kita bisa tahu urutan peristiwa yang terjadi pada saat lahirnya agama Islam hingga sekarang. 

Apa yang membuat Islam pernah berjaya hingga ke daratan Andalusia, lalu apa yang menyebabkan runtuhnya khalifah pada tahun 1920an. Dengan belajar sejarah, percayalah bahwa iman kita bakal bertambah. Ini penting banget supaya kita gak terkontaminasi sama fitnah-fitnah yang memang menjadi ciri khas akhir zaman.

Bagaimana dengan belajar tentang akhir zaman? Mempelajari soal ini, berarti kita mempelajari masa depan. Kita memang tidak pernah tahu betul apa yang bakal terjadi, tapi semua memang sudah dituliskan. Lagi-lagi, kita harus mengimani apa yang sudah ditulis dalam kitab suci Al Qur'an dan hadis-hadis sebagai bagian dari Rukun Iman. 

Kalo kita pelajari semua, memang terkesan seram dan penuh huru-hara serta kehancuran. Banyak hal menyeramkan yang akan terjadi. Lalu pertanyaannya, apa yang harus kita perbuat?

Tidak lain, kita diminta untuk terus menjalankan hidup. Gue sendiri pernah mendengar sebuah perkataan bijak, bahwa jika kita mengetahui besok adalah hari kiamat tetapi di tangan kita ada sebuah bibit tanaman, maka kita tetaplah menanam bibit itu. Begitulah sikap kita sebagai Muslim.  

Iman kepada hari kiamat menjadi bagian dari Rukun Iman. Kalo kita gak percaya sama hari kiamat, berarti kita gak percaya sama Rukun Iman, yang dengan kata lain, kita gak percaya sama agama kita. Sorry to say, ini adalah sebuah penghakiman yang sangat jelas terang benderang.

Percaya sama hari kiamat, kalo menurut gue, bukan sekadar percaya lalu menjalani hidup tanpa mempersiapkannya. Karena kita punya ilmu dan punya waktu, sudah seharusnya kita rajin membaca dan mencari tahu seperti apa tanda-tanda kiamat. Persiapan fisik memang perlu, tapi lebih perlu lagi adalah persiapan dalam hal keimanan dan mengumpulkan kebaikan agar kita gak bergabung dengan golongan yang salah pada saat huru-hara besar itu terjadi. Karena konon, "golongan yang salah" itu malah sudah membaca lengkap hadis-hadis yang berasal dari nabi kita, dan karena memang mereka pada dasarnya kaum yang ingkar, mereka malah sudah mempersiapkan diri dengan cara mereka sendiri berdasarkan hadis nabi kita yang sudah mereka baca!

Dengan mengetahui tanda-tanda kiamat, kita akan mampu membaca zaman. Sudah berada di fase manakah kita. Tanda-tanda yang kita alami sudah banyak sekali. Gue gak akan jelaskan panjang lebar, silakan buka Youtube dan ketik tentang akhir zaman, di sana bakal banyak banget kita temui ustadz yang membahasnya dengan selengkap-lengkapnya. Memang ada ustadz yang membahasnya dengan terlalu banyak memakai metode “cocoklogi”, yaitu metode yang mengubung-hubungkan peristiwa satu dengan yang lain, padahal belum tentu benar. 

Saran gue, ambil aja ilmu dan ingat hadits-haditsnya, tapi gak usah terlalu dipikirin “cocoklogi-nya”. Tidak perlu sampai meledek apalagi menghina ajaran yang datang dari orang-orang yang ahli agama. Karena sebaik-baik umat di akhir zaman, adalah mereka yang tetap menegakkan keimanan, terlebih mereka yang berdakwah. 

Buat apa takut belajar tentang akhir zaman, padahal kita ini ya makhluk-makhluk akhir zaman. Semua bakal terjadi, hanya masalah waktu aja, entah akan terjadi di zaman anak-anak atau cucu-cucu kita, atau malah terjadi pada kita sendiri. Gak ada cara lain selain mempertebal keimanan dan mempersiapkan generasi penerus yang juga paham dengan situasi ini, biar mereka gak salah langkah dan salah pilih.


Kamis, 05 Oktober 2017

Where Have You Been All My Life, Rosanna?

Rosanna. Sudah pasti Rosanna adalah nama seorang wanita, bukan nama mas-mas. Tipikal cewek populer jaman SMA dan jadi rebutan pas jaman kuliah. Cewek idaman yang diperebutkan cowok-cowok, tapi mereka tetap berlaku sopan kepadanya karena memang kualitasnya bukan bohongan dan perilakunya tidak murahan.

Cewek bernama Rosanna ini telat gue kenal. Ehem, maksudnya dalam hal ini, lagu berjudul Rosanna milik band Toto ini benar-benar terlambat gue denger. Semuanya gak sengaja. Gue yang kesal karena music player di mobil tiba-tiba rusak, terpaksa menyetel radio. Padahal gue termasuk jarang dengerin radio karena ya namanya radio kan umumnya pasang songs jaman now, yang gue gak terlalu cocok.

Untungnya ada beberapa radio memang yang memiliki program semacam flashback, atau sengaja memainkan lagu-lagu dari era lawas, di mana saat itu musik benar-benar digarap seperti layaknya musik beneran. Songs jaman past emang beneran berkualitas. 

Di sinilah kuping gue bertemu Rosanna. Samar-samar, lagu ini seperti gak asing. Potongan-potongan lagu ini seperti pada part: 

"Meet you all the way...
Meet you all the way... Rosanna, yeah!" 

Part ini sepertinya sering gue denger pada masa yang gue juga lupa kapan. 

Karena jatuh cinta pada pendengaran pertama, gue mencoba melakukan riset sederhana tentang lagu ini. Lagu Rosanna menjadi andalan dalam album Toto berjudul IV. Rilis tahun 1982 dan meledak pada tahun 1983, tepat saat gue lahir. Terdengar masuk akal jadinya, mungkin emak gue pernah dengerin lagu ini pas gue masih bayi. 

Tiga puluh tahun lebih gue terpisah dengan lagu ini, lalu akhirnya ketemu pada saat yang gak diduga-duga. Udah kayak ketemu temen lama atau harta karun aja.. Dan sekarang, gue langsung menempatkan Rosanna di jajaran lagu paling enak yang pernah gue denger. Lagu-lagu lainnya menurut gue adalah Can't Stop Loving You dari Van Halen, Five Magics dari Megadeth, Dancing in the Moonlight dari Thin Lizzy dan You Could Be Mine dari Guns 'n Roses. 

Berusaha terdengar logis, apa yang membuat Rosanna sebegitunya? Gue gak pernah mentingin lirik dalam menilai lagu, tapi kalau membaca cerita di balik judulnya, nama Rosanna "dipinjam" oleh David Paich, si penulis lagu dari Rosanna Arquette, perempuan yang jadi pacar Steve Porcaro, rekan satu band dia saat itu. Lagu ini bukan menceritakan tentang si Rosanna Arquette, karena menurut Paich, lagu ini menceritakan soal high school romance. Nama Rosanna dipilih murni karena enak didengar dan mudah diingat sebagai imaji dari wanita yang disebutkan tadi di awal paragraf.

Lalu dari segi musikal, lagu ini jelas punya segalanya buat jadi superstar. Gampang dicerna, padahal "berat". Ketukan drum Jeff Porcaro yang gak lazim, biasa ia sebut half time shuffle adalah ketukan yang sampai sekarang belum bisa gue tiru. Biasanya, gue gak bisa meniru komposisi drum untuk lagu yang mengandalkan kecepatan atau teknik yang terlalu ruwet. Nah, si Jeff ini, yang udah almarhum, menggunakan pola yang betul-betul jarang digunakan di lagu populer. Terdengar gampang, padahal pas dimainin susah banget. 

Dalam genre jazz, mungkin pola seperti ini sering didengar. Tapi Porcaro memasukkannya di lagu populer yang kemudian bisa diterima oleh khalayak ramai. Tidak salah lagi, Jeff Porcaro adalah seorang drummer sekaligus musisi yang underrated. Dan lagu ini adalah superstar

Belum lagi keyboard solo yang saling bersahutan dengan nada yang ikonik, vokal Bobby Kimball yang sama merdunya ketika menyanyi dengan suara rendah dan tinggi, juga solo gitar dari Steve Lukhater yang gak kalah gahar. Pokoknya gak ada yang ngalahin lagu ini. Jadinya sangat wajar ketika gue bertanya-tanya, ke mana aja sih Rosanna selama ini?