Kecelakaan lalu
lintas adalah salah satu pembunuh manusia yang paling kejam. Ia tidak
pilih-pilih korban, tidak mengenal waktu. Ia bisa membunuh, membuat cacat atau
sekadar melukai. Datangnya juga tidak diduga. Kapan dan dimana saja. Bisa tengah
malam, bisa pula pagi-pagi buta, di jalan tol atau di gang dekat rumah.
Benar-benar predator lengkap.
Dari Vivanews,
Polri mengklaim jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas sepanjang
tahun 2012 mencapai 25 ribu orang. Sementara saat mudik lebaran, jumlah
korban meninggal dunia mencapai lebih dari 500 jiwa. Itupun yang tercatat.
Saya tidak
pernah tertarik menyaksikan berita kecelakaan, atau mengerubungi korban
kecelakaan di jalan hanya untuk memotretnya (bukannya membantu) lalu membuat
macet jalan. Namun berita kecelakaan yang dialami Dul, anak bungsu Ahmad Dhani
yang kini menjadi isu nasional ini beda cerita.
Sebagai pengguna
jalan yang juga sering menyetir kendaraan, saya tidak mau ikut-ikutan arus
pem-bully-an dan penghujatan massal. Serahkan saja pada ahlinya lah. Toh hal ini
bisa terjadi pada siapapun. Tidak hanya anak berusia 13 tahun saja yang bisa
mengalaminya, seorang yang telah berpuluh-puluh tahun mengemudi saja bisa celaka.
Mau analoginya dibalik juga bisa, tapi tetap sama saja. Dengan kata lain, saya
lebih melihatnya sebagai musibah.
Namun yang
menjadi pelajaran adalah Dul yang notabene baru berusia 13 tahun sudah
dibolehkan mengemudi. Dan tragisnya lagi, kecelakaan yang menimpanya merenggut
nyawa 6 orang yang kesemuanya adalah pekerja dan tulang punggung keluarga. Tapi
kembali lagi, tujuan saya menuliskan ini bukan untuk menghujat. Saya juga punya
anak laki yang masih kecil, yang bukan tidak mungkin 12 tahun kemudian ia punya
pacar dan merengek minta dibelikan mobil.
Di era
berikutnya nanti, entah di umur berapa seorang anak merasa butuh untuk punya
pacar. Sebagai perbandingan, di usia 13 tahun dulu, yang saya pikirkan
sehari-hari adalah sepak bola dan (sedikit) pelajaran di sekolah. Tidak ada
gejolak berlebih memikirkan wanita, tidak pula berkeinginan untuk mengemudikan
mobil.
Memang tidak
bisa dibandingkan anak-anak era dua dekade lalu dengan anak-anak sekarang. Anak-anak
sekarang sepertinya terlalu cepat dewasa. Mereka mengunyah banyak hal sebelum
waktunya. Kebanyakan makan junk food? Kebanyakan nonton sinetron? Kebanyakan
nongkrong di minimarket? Kebanyakan dengerin lagu mellow? You tell me.
Kasus Dul ini
cocok dijadikan potret kelam generasi muda. Meski tidak semua anak memiliki
fasilitas seperti Dul, namun saya sudah berkali-kali mendengar kisah pilu
terjadinya kecelakaan akibat perilaku anak dibawah umur yang ugal-ugalan. Saya tidak
ingat persis, tapi rasanya pernah ada kejadian serupa, yang karena kebetulan
pelakunya bukan pesohor saja maka cepat dilupakan.
Jelas bukan
tanpa alasan mengapa polisi baru mengeluarkan SIM untuk anak berusia diatas 17.
Hal ini semestinya benar-benar dijalankan dengan penuh kesadaran, bukan sekadar
slogan. Orang tua tentu harus mengawasi dengan baik perilaku anak-anaknya,
jangan biarkan mereka menyetir kendaraan, entah mobil atau motor.
Thirteen blues ini memang saya gunakan untuk
menggambarkan secara umum gejolak usia pra-dewasa. Usia seperti ini memang
rawan dan sedang ingin-inginnya mencoba banyak hal. Dan kebanyakan teman yang
saya kenal, sekali mereka mencoba (misalnya rokok) pada usia ini, maka akan
berkembang menjadi kebiasaan. Yah, yang namanya udah kebiasaan, transformasi
selanjutnya adalah pembenaran. Meski kita sudah tahu hal itu salah, tapi kalau
dilakukan berulang-ulang toh akan menjadi kebenaran.
Semoga kita
selalu bisa mendampingi anak di usia krusial mereka, sehingga mereka tidak
membutuhkan so called pacar. Dan
semoga anak-anak kita tumbuh sebagai anak penurut dan tidak macam-macam. Yang
sudah terjadi ya sudahlah. Semoga cepat sembuh dan cepat ngeband lagi, Dul. Dan
semoga keluarga korban mendapat santunan yang pantas.