Rabu, 31 Mei 2017

Makna Bukber

Saya ini, saking suka kurang kerjaannya, suka ngelamun ingetin masa yang udah lewat. Terutama momen-momen masa kecil saat masih belom mikirin hal-hal berat macam inflasi atau tagihan kartu setan kredit. Dan setelah berusaha mengingat lebih keras, ternyata masa-masa menyenangkan itu sebagian besar ada di bulan ramadhan.

Buat anak-anak, bulan ramadhan itu memang bulan liburan. Menggeser rutinitas dari yang biasanya terlalu berat ke sekolah menjadi rutinitas yang berpusat di mushola atau masjid. Atau pesantren kilat. Tapi, baik mushola, masjid atau pesantren kilat itu tidak jauh berbeda dengan liburan. Gak ada beban, gak ada ketakutan atau rasa stres seperti halnya di sekolah, pas masih ketemu sama orang-orang yang sangat peduli sama nilai raport dan menghakimi si raport jelek dengan mengatakan "Nilai lo jelek-jelek gitu, udah gede mau jadi apa?"

Waktu saya masih kecil, dan ketika memasuki bulan ramadhan, saya suka menginap beberapa hari di rumah nenek. Bukan rumah nenek di desa seperti judul pelajaran mengarang anak-anak SD yang begitu sih, karena rumah nenek saya pada waktu itu letaknya hanya kurang dari 40 km kalau dari Jakarta. Di rumah nenek, saya punya sekelompok teman bermain. Sebagian ada yang memang tinggal di sana, sebagian lagi yang seperti saya, yaitu menginap di rumah neneknya.

Bersama teman-teman itu, saya mengisi ramadhan dengan seru. Pagi-pagi buta setelah sahur dan sholat subuh, kami pergi ke tanah lapang dekat rumah. Untuk bermain sepak bola! Ya, main bola subuh-subuh kayak begitu ternyata sangat menyenangkan. Matahari masih belum terbit, sehingga cuaca sangat sejuk. Saat baru mulai bermain, langit masih gelap, lalu berangsur terang seiring terbitnya matahari. Saat matahari terbit itulah kami membubarkan diri. Walaupun tenggorokan jadi kering dan rasa haus tak terhindarkan, tapi kami gak peduli. Sesudah main bola, kami biasanya melanjutkan tidur sampai siang.

Karena bulan puasa, nggak afdhal dong kalau gak pergi ke masjid. Makanya itu, saya biasanya pergi ke masjid untuk mengikuti shalat berjamaah. Shalat dzuhur, saat lagi haus-hausnya, anak-anak kecil memang senang sekali berlama-lama ambil air wudhu, padahal biasanya sih terburu-buru. Kalau air keran itu tertelan sedikit, ya namanya rejeki.

Yang lebih asik lagi adalah saat waktu ashar, karena ba'da ashar, kami akan kembali ke lapangan untuk bermain sepak bola. Ngabuburit. Kalau anak-anak sekarang ngabuburitnya naik motor bertiga atau berempat dengan norak dan rusuh, untungnya jaman kami cukup main bola aja. Dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada, kami mengejar bola dan bertanding melawan kampung sebelah. Kalau ada benturan-benturan khas main bola, kami sebagai anak kecil yang patuh dan takut sama ustadz, saling mengingatkan dan menahan diri untuk tidak marah. "Jangan berantem, ini lagi puasa."

Ada satu anak kampung sebelah yang resek-nya bukan main. Dia sering mengolok-olok saya tanpa tujuan jelas. Di pikiran saya timbul niat jahil. Saat ia menjadi kiper, saya begitu bernafsu membawa bola ke arahnya. Anak itu masih sempat saja pongah dengan bilang "Tenang aja, dia gak bisa nendang kenceng, apalagi pakai kaki kiri." Saya terang saja terbahak-bahak dalam hati. Dia tidak tahu bahwa kaki kiri adalah kaki favorit saya untuk menendang dengan keras, sementara kaki kanan lebih saya andalkan untuk mengumpan. Ketika posisi sudah dekat dengannya, saya pun menendang bola sekuat tenaga... Dan sukses mengenai muka anak malang itu. Dia kesakitan. Mohon maaf, saya memang sengaja mengincar mukanya, bukannya gawang. Duh, jahat bener. Untung lidahnya gak tertelan.

Kegiatan pun berlanjut dengan buka puasa dan tarawih. Ketika waktunya berbuka, ya namanya anak kecil, kan pasti berebutan. Tapi ada salah satu teman yang memang anaknya agak giras kalo soal makanan. Dia mengambil terus makanan-makanan kecil yang disumbangkan warga itu untuk dirinya sendiri, bahkan dia hendak membungkusnya untuk dibawa pulang. Saat dia ditegur oleh anak yang lebih tua, baru deh dia ketakutan, lalu pulang dengan hati dongkol dan perasaan sedih. 

Lalu saat memasuki tarawih, biasalah, yang namanya anak kecil pasti ribut dan bercanda. Ada yang menendang pantat teman di depannya saat rukuk, ada yang tengok kanan kiri pasang wajah lucu, ada yang menaruh kotak amal di tangan temannya yang sedang khusyuk berdoa sampai merem-merem. Macam-macam deh. Dan setelah shalat selesai, kami serentak bubar secepat kilat sebelum ada bapak-bapak galak yang siap menjeweri kuping kami satu persatu. Besoknya, si bapak udah standby duduk di barisan anak-anak untuk memastikan keributan serupa tidak terjadi.

Okelah, keributan tidak terjadi di masjid. Sebagai gantinya, kami pindah ke luar masjid. Kain sarung kami buntal menjadi serupa godam. Kalau kena pukul, lumayan sakit. Atau kalau gak model godam, kami pakai seperti biasa untuk dijadikan selepet atau ninja-ninja-an. Tapi, perang sarung ini sangat menyenangkan. Daripada perang petasan atau tawuran di acara Sahur on The Road ala anak-anak jaman sekarang?

Main bola, perang sarung, bercanda. Ya begitulah bulan ramadhan menyenangkan itu, yang kemudian berlalu ke Idul Fitri, di mana kami menunggu angpau dari saudara-saudara yang lebih tua. Pakai baju baru, dan berkumpul kembali di rumah nenek. Saat berkumpul dengan saudara, keributan-keributan pun masih ada, hanya saja berbeda bentuknya. Keributan yang baru usai kalau ada yang nangis, atau ada barang yang pecah.

Kini setelah sudah dewasa, kami mengisi bulan ramadhan sudah lebih serius. Tidak bercanda lagi seperti jaman anak-anak. Ibadah ditingkatkan dan diseriuskan. Ajakan buka puasa bersama pun berdatangan, tetapi sebagian teman agak malas karena amat banyak kesulitannya. Jalan yang macet, ribet kalau mau shalat maghrib, ketinggalan tarawih berjamaah, dan pulang ke rumah dengan perut yang sudah terlalu kenyang dan mata yang sudah mengantuk. Bikin malas tarawih, akhirnya bablas tidur sampai sahur.

Apakah bukber selalu seperti itu? Ya, hampir selalu seperti itu. Itulah sebabnya tahun ini saya agak malas mengajak bukber, kecuali dengan teman-teman yang memang sudah jarang ketemu. Setelah tahun lalu saya berhasil berbuka puasa bersama dengan teman-teman dari seluruh jenjang sekolah, juga dengan tetangga rumah dan teman-teman kantor, saya sih sekarang ini mau pasif saja. Kalau memang ada acara itu, ya saya datangi, kalau tidak ada, ya saya tidak akan menginisiasi seperti biasa. 

Karena bagi generasi Y, atau baby boomers seperti saya yang kini sudah terlalu larut dalam pekerjaan, bertemu teman lama sangat menyenangkan. Dan makna dari bukber adalah sekalian reunian. Kalau asik, kali aja bisa berlanjut ke kegiatan-kegiatan lain. Kalau ternyata garing dan gak asik, ya setidaknya kita sudah gak lagi penasaran.

Dan untuk tahun ini, saya kepengen ketemu dengan teman-teman dari rumah nenek saya itu. Saya tahu, kita semua sudah berpencar, dan rasanya sudah lebih dari sepuluh tahun tidak bertemu. Tapi, apa salahnya berharap? Suatu saat saya akan menghubungi kalian. Satu persatu.


Senin, 08 Mei 2017

Konser ‘Rutin’ Megadeth Yang Mencukupkan Saya

34 tahun silam, hidup David Scott Mustaine alias Dave Mustaine seperti neraka. Ia dipecat dari band Metallica ketika sedang hendak melakukan rekaman di New York. Lars Ulrich, pentolan Metallica mengirimnya pulang ke ujung barat Los Angeles berbekal sebuah tiket bus. Sesampainya di rumah orang tuanya, Dave pun tidak memiliki pekerjaan dan tidak memiliki teman. Namun semalam (7/5) di panggung Sonic dalam festival Hammersonic yang berlangsung di Ancol, Jakarta, Dave Mustaine bersama band Megadeth yang salah satu lagunya berjudul Dystopia yang baru saja memenangkan Grammy Awards untuk kategori Best Metal Performance, menyuguhkan performa yang betul-betul berkelas dunia, dan hidupnya telah melangkah begitu jauh meninggalkan keterpurukan itu.

Mungkin sudah banyak yang mengetahui bahwa Dave Mustaine merupakan salah satu manusia yang melahirkan genre Trash Metal. Ketika masih memperkuat band Metallica, Mustaine-lah yang menciptakan riff bagi band yang kemudian memecatnya itu. Dari permainannya itulah Metallica mendapatkan pola lagu, hingga waktu kemudian makin mendewasakan dan mengembangkan musikalitas mereka hingga menjadi band metal legendaris dengan kesuksesan komersial terbesar. Bahkan ketika Metallica mengeluarkan album perdana Kill ‘Em All, ada empat lagu bikinan Mustaine yang dimasukkan, yaitu The Four Horseman (awalnya berjudul Mechanix), Phantom Lord, Jump in the Fire dan Metal Militia. Tanpa campur tangan Mustaine di awal pembentukan, mustahil nama Metallica bisa sebesar sekarang.

Oke, kita sudahi saja haru biru rivalitas Mustaine dan Megadeth dengan Metallica, karena setelah kedua band ini pada akhirnya berhasil dengan caranya masing-masing, mereka telah mengubur segala permusuhan seperti layaknya pria-pria paruh baya yang menertawakan kebodohan masa muda saat mereka bertindak tanpa berpikir, atau mengambil keputusan tanpa memikirkan konsekuensi. Ya, seperti kita-kita ini yang masih gak malu ribut-ribut di grup whatsapp padahal ketemu aja jarang.

Konser Hammersonic merupakan konser metal di Indonesia yang memiliki konsep multi-band seperti konsep multi-band yang sudah terbiasa diselenggarakan di negara lain, seperti Loudpark di Jepang. Saya pun baru kali ini menghadiri Hammersonic hanya karena ingin menonton Megadeth. Jujur saja, saya tidak begitu familiar dengan band lain.
Megadeth menurut saya terus saja menelurkan album-album yang kualitasnya cukup stabil. Album Dystopia yang dirilis tahun 2016 memiliki materi yang amat mantap. Lagu-lagu seperti Fatal Illusion, The Threat is Real, Conquer or Die hingga Dystopia memiliki kualitas yang amat prima, namun dengan sound yang segar dan tetap gahar khas Megadeth. “Ketika ingin membentuk band ini, saya memang menginginkan band yang keras, cepat dan brutal,” ujar Mustaine.

Pada konser kemarin, Megadeth menampilkan permainan yang sudah menjadi seperti rutinitas saja bagi standar mereka sendiri. Tidak ada unsur kejutan, interaksi yang aktif dengan penonton, tidak ada lagu-lagu tidak biasa, juga tidak ada aksi panggung pengalih perhatian seperti memanfaatkan sarana multi media, koreografi dan sebagainya. Tidak seperti band-band lain yang jika boleh saya berkata sedikit sinis di sini, memanfaatkan teknologi atau aksi panggung atraktif untuk menutupi musikalitas yang ala kadarnya. 

Paling-paling hanya kemunculan Vic Rattlehead, maskot mereka saja yang sedikit memberikan kejutan. Sisanya, Dave Mustaine hanya meminta band untuk ‘meminum empat botol air dari empat botol yang disediakan’.

Namun memang begitulah konser metal. Dave seakan tidak terlalu ambil pusing dengan penonton yang sepertinya kurang berisik. “This is a heavy metal concert, you’re just need to be silent and be a nice crown,” ujarnya sarkastis sebelum menggeber intro lagu Tornado of Souls—yang mana ia jarinya sedikit ‘terpeleset’. Mungkin ia sendiri mengerti karena Megadeth baru tampil jam 11 malam, dan di antara penonton itu pastinya banyak yang sudah datang dari pagi atau siang hari. Atau mungkin Mustaine memang tidak peduli. Ia mencoba tidak terpengaruh dengan situasi penonton atau apa pun. Ia hanya menggeber konser sesuai dengan kebiasaan dan kesepakatan dengan pihak pemilik acara. Seperti seorang profesional yang melakukan tugasnya dengan lengkap dan proporsional.

Akan tetapi bukan berarti konser yang sudah ‘tipikal’ ini tidak ada seru-serunya. Mustaine terlihat biasa-biasa saja meski baru menang Grammy Awards, dan ia pun tidak serta merta mendominasi set list lagunya dengan lagu-lagu yang ada di album Dystopia. Ia malah banyak mengeluarkan lagu-lagu hit lawas yang tentu saja disukai para penonton yang rata-rata sudah berumur 30-40 tahunan, yang tidak henti-hentinya menengok ke jam tangan atau ponsel, khawatir istri dan anak mereka menunggui di rumah, atau teringat beberapa jam lagi sudah hari Senin di mana mereka harus menghadiri pertemuan atau melanjutkan pekerjaan di kantor, dan hanya bisa mendengarkan musik metal lewat perangkat headphone agar yang tidak mengerti suka musik metal tidak terganggu.

Dave Mustaine memang ambisius, dan karena itu ia amat perfeksionis dan profesional. Ia tidak segan mendepak anggota band yang di matanya sudah tidak lagi kompeten dan kehilangan fokus. “Karena tujuan saya adalah menyamai level permainan Metallica dan bahkan melebihi mereka, maka saya membutuhkan musisi-musisi yang bukan hanya jago, tetapi juga ambisius dan memiliki gaya yang sesuai dengan band,” ungkap Mustaine pada awal pembentukan Megadeth. Hal yang kemudian diamini oleh salah seorang teman konser yang sepertinya baru kali pertama menyaksikan sebuah konser metal. “Gila. Gitarnya ngeri,” ujarnya jujur mengomentari suguhan dua dewa gitar, Mustaine dan Kiko Loureiro yang memang menjadi nyawa dari lagu-lagu Megadeth yang tingkat kesulitannya menggabungkan skill tinggi jazz, petikan-petikan menghanyutkan gitar klasik, dan energi tak ada habisnya dari musisi punk.

Sepanjang konser, hal-hal yang sudah direncanakan itu terlihat jelas. Segalanya seperti sudah diatur, misalnya fase cooling down di lagu A Tout Le Monde atau perkenalan personel pada lagu Holy Wars.. The Punishment Due. Bagi saya, konser pun menjadi mudah ditebak alurnya, dengan susunan lagu yang kurang lebih sama dengan yang mereka mainkan di Singapura dan Malaysia, beberapa hari sebelumnya. 

Tetapi, bukan berarti konser ini tidak menyenangkan. Sebaliknya, konser ini merupakan konser terbaik yang pernah saya saksikan secara kualitas teknik maupun sound, dengan intensitas yang seperti tidak ada turun-turunnya sama sekali karena lagu yang dibawakan juga amat kencang, bagaikan menaiki roller coaster yang hanya memberikan sedikit saja masa tenang. Tingkat kesalahan pun amat minim, dan kalaupun terjadi lebih karena faktor umur Dave saja yang sudah di atas 50 tahun. Belum pernah saya merasa begitu puasnya ketika konser selesai, hingga kemudian saya merasa tidak ingin pergi menonton konser band lain lagi.

Jika kemudian saya insaf dan tidak lagi mendengarkan musik—apalagi musik metal—karena alasan-alasan non-duniawi atau apalah itu, saya toh sudah tidak lagi merasa ada ruang hampa, karena konser tadi malam memang telah mencukupkannya.