Selasa, 20 November 2012

The Assistant


Apa yang bikin sebagian dari keluarga di Indonesia, khususnya di Jakarta pusing? Gak punya duit? Ah itu mah biasa. Gak punya mobil? Masih ada motor, masih bisa ngangkot. Gak punya sofa? Oh masih bisa duduk lesehan di bawah. Gak punya rumah? Oh masih bisa ngontrak atau tinggal di Pondok Mertua Indah. Gak punya pembantu? Nah ini baru pusing.

Pembantu Rumah Tangga (PRT), atau biasa kita sebut Asisten Rumah Tangga (ART) untuk menghargai profesi mereka, termasuk didalamnya adalah mbak Baby Sitter tidak pelak adalah kebutuhan yang tingkatannya nyaris mendekati kebutuhan pokok. Kita bisa ngakalin banyak hal yang gak kita punya, tapi sulit mengakali situasi saat sang ART tidak ada.

Banyak orang yang terpaksa membolos kerja karena tidak ada yang mengurus rumah dan menjaga anak mereka.  Banyak yang harus pontang-panting mendahulukan urusan mencari ART dan baby sitter ini ketimbang urusan kesenangan mereka. Kita bisa bekerja dengan tenang jika mengetahui bahwa rumah kita sudah rapi, dan anak kita ada yang menjaga. Kita bisa menikmati suasana mall dan bepergian kemanapun dengan tenang selama mbak pengasuh anak setia menjaga anak kita.

Kehadiran mereka sangatlah penting dalam lingkaran kehidupan orang-orang kota macam kita. Walaupun begitu, kita mengharapkan mereka bekerja dengan baik, jujur, dan kompeten sebagai kompensasi dari gaji yang kita bayarkan kepada mereka.

“Orang kita itu punya sifat dasar seperti majikan.” Demikian ungkapan yang pernah saya dengar dari seseorang. Disini, kita memperlakukan ART seperti semaunya. Pekerjaan utamanya seperti membersihkan rumah, mencuci, menyeterika dan kadang memasak ditambah lagi dengan perintah-perintah khas feodalisme kita. “Mbak, tolong ambilin obeng. Mbak, tolong bikinin kopi. Mbak, tolong beli cabe di pasar. Mbak, tolong beli telor di warung. Mbak, tolong ini.. Mbak, tolong itu..” Disini, pembantu itu merangkap sebagai pelayan.

Pekerjaan yang seharusnya bisa kita kerjakan sendiri dan sejatinya bukan tugas si mbak terkadang tetap kita suruh si mbak mengerjakannya. Dan tidak jarang kita menambahkannya dengan omelan, makian atau perilaku kasar lainnya. Padahal, mereka ya manusia juga sama seperti majikannya.

Ya, kebanyakan dari kita memang memiliki sifat malas dan ingin dilayani. Jalan kaki sedikit, malas. Kena matahari sedikit, ngomel. Keringetan sedikit, ngeluh. Kelaparan sedikit, ngetwit.
Ini cukup menjelaskan mengapa pekerjaan berbasis servis sangat laku di Indonesia, khususnya Jakarta.

Ada kalanya kita menuntut mereka berlebihan, lalu mengeluhkan tingkat inisiatif dan kecerdasan mereka. Hmm, padahal kalo mereka memang pintar dan penuh inisiatif, mereka mungkin tidak akan menjadi pembantu, mungkin jadi guru atau karyawan kantoran seperti kita. Banyak orang bercita-cita menjadi insinyur, tetapi tidak ada orang yang bercita-cita menjadi pembantu.

Banyak diantara mereka yang putus sekolah karena tidak punya biaya. Jangan bandingkan mereka dengan kita yang sudah sekolah tinggi. Banyak diantara mereka yang terbiasa tidur di papan dan hidup susah, jangan samakan dengan kita yang biasa tidur di kasur empuk dan kelabakan kalo AC mati.

Kita butuh mereka, kita sering memperlakukan mereka semena-mena. Maafkan kami, assistants.