Kamis, 29 November 2012

Seri tantangan Jokowi-Ahok Part 2: Kelas menengah


Belum ada 100 hari kepemimpinannya, duet Jokowi-Ahok telah banyak melakukan gebrakan. Gebrakan dan juga kebijakan yang akan diambil ini memiliki dampak yang besar, juga tantangan yang besar.

Tulisan seri kedua lanjutan dari seri pertama ini tidak dimaksudkan untuk mengkritisi, apalagi menggurui. Hanya berusaha menggambarkan situasi yang ada dari informasi-informasi yang saya dapatkan.
-----------------------------------------------------------------------------------------

Masalah kemacetan sesungguhnya menurut saya terletak pada jumlah kendaraan pribadi yang memakai jalan raya. Percuma saja ruas jalan dilebarkan, fly over atau underpass dibuat, juga jalan tol yang dilebarkan jika jumlah kendaraan tidak dibatasi.


Rencana 6 ruas jalan tol baru

Kebijakan 6 ruas tol baru ini adalah contohnya. Jika pembangunan transportasi massal juga dibarengi dengan pembangunan ruas jalan tol baru yang memanjakan mobil pribadi, kemacetan tidak akan selesai. Berbagai studi telah dilakukan, memperlihatkan bahwa setiap ada pembangunan jalan, maka jumlah kendaraan juga akan bertambah. Bertambah kendaraan, bertambah pula polusi dan kemacetan. Bertambah jalan raya, berkuranglah ruang publik. Jakarta akan menjadi kota yang semakin sesak dan tidak sehat untuk ditinggali. Jika kebijakan ini yang diambil alih-alih proyek MRT, Jokowi sama saja dengan pendahulunya yang mengutamakan kelas menengah.

Penggunaan Busway, KRL atau nanti MRT, Monorail, Trem atau apapun tidak akan berjalan optimal jika kendaraan pribadi baik motor atau mobil dimanjakan. Mobil bisa diperoleh dengan harga murah, dengan fasilitas kredit lunak. Parkir juga murah (baru naik Rp. 3000 per jam baru-baru ini, itupun banyak yang protes), BBM juga terus disubsidi. Sama juga bohong. Tidak ada kebijakan disintensif untuk para pengguna mobil pribadi.

Orang-orang banyak yang panik dan kebakaran jenggot mendengar kabar bensin premium akan dinaikkan harganya. Dengan dalih “orang kecil yang bakalan susah”, mereka menggerakkan massa untuk berdemo. Demo inipun didukung penuh oleh orang-orang kelas menengah yang mendadak bersimpati pada kaum marjimal ini melalui twitter mereka. Mereka yang sering pergi ke restoran mahal dan berbelanja keluar negeri ini mengkritisi rencana kenaikan BBM mengatasnamakan orang susah.


Kelakuan Si Kelas Menengah


Andre Vltchek, seorang novelis dan filmmaker mengungkapkan dalam catatan sarkastisnya bahwa industri otomotif tidak akan rela melihat kondisi lalu lintas Jakarta bagus, tidak pula rela jika Jakarta memiliki sarana transportasi publik yang memadai. Mereka ingin penduduk Jakarta lebih senang menggunakan kendaraan pribadi, demi keuntungan mereka. Para perusahaan otomotif dari Jepang, Eropa atau Amerika itu tidak akan rela pasar potensial mereka hilang.

Seperti ada upaya dari bangsa lain untuk tetap menjadikan Indonesia seperti ini. Apakah Indonesia memang seperti dibiarkan saja menjadi negara konsumen? Negara dunia ketiga yang menjadi sapi perah mereka yang ada di barat? Anda yang bisa menilai sendiri. Saya sama sekali tidak ada maksud menyebarkan paham kiri.

Tidak hanya perusahaan otomotif, perusahaan lainnya semisal perusahaan asuransi tentu khawatir jika pengguna mobil pribadi menurun, karena nasabah mereka yang menggunakan asuransi kendaraan juga akan mengalami penurunan. Begitu pula perusahaan-perusahaan terkait lainnya.

Tanpa itupun, orang Jakarta, terutama kelas menengah memang sudah memiliki pola pikir yang mobil-sentris. Banyak orang beranggapan bahwa kepemilikan kendaraan, terutama mobil adalah kebanggaan. Mobil dipakai tidak sekadar alat transportasi, namun juga simbol kesuksesan. Terjangkaunya harga mobil juga akan terus meningkatkan jumlah masyarakat kelas menengah, sebuah impian ala American Dream. Sepertinya apapun yang berbau kebarat-baratan sangat gampang dijual disini.

“Si Anu waktu acara buka puasa bersama bawa mobil Mercy lho. Udah sukses dia. Beda sama si itu yang masih naik bajaj.”

Mobil juga lambang pergaulan. Orang akan mudah berteman jika punya mobil, karena dengan memiliki mobil sendiri, anda akan dianggap mobile dan mudah kemana-mana. Belum lagi jika anda pria, tidak usah munafik bahwa mendekati wanita akan lebih mudah jika anda memiliki mobil, meskipun tidak mutlak karena banyak wanita karir yang juga memiliki mobil pribadi.

Fenomena sosial ini juga tercipta lantaran sistem transportasi umum sudah kadung dikenal tidak nyaman. Terang saja jika orang akan terus nyaman menggunakan kendaraan pribadi meski konsekuensinya terkena macet, harus membayar mahal tol, dan parkir.

Tantangan yang datang dari kelas menengah ini memang gampang-gampang susah. Menggiring mereka untuk memakai transportasi umum jelas butuh sesuatu yang nyata berupa sarana transportasi umum yang memadai.