Belum
ada 100 hari kepemimpinannya, duet Jokowi-Ahok telah banyak melakukan gebrakan.
Gebrakan dan juga kebijakan yang akan diambil ini memiliki dampak yang besar,
juga tantangan yang besar.
Tulisan
seri kedua lanjutan dari seri pertama ini tidak dimaksudkan untuk mengkritisi, apalagi menggurui. Hanya
berusaha menggambarkan situasi yang ada dari informasi-informasi yang saya
dapatkan.
-----------------------------------------------------------------------------------------
Masalah kemacetan sesungguhnya menurut saya terletak pada
jumlah kendaraan pribadi yang memakai jalan raya. Percuma saja ruas jalan
dilebarkan, fly over atau underpass dibuat, juga jalan tol yang dilebarkan jika
jumlah kendaraan tidak dibatasi.
Rencana 6 ruas jalan tol baru |
Kebijakan 6 ruas tol baru ini adalah contohnya. Jika
pembangunan transportasi massal juga dibarengi dengan pembangunan ruas jalan
tol baru yang memanjakan mobil pribadi, kemacetan tidak akan selesai. Berbagai
studi telah dilakukan, memperlihatkan bahwa setiap ada pembangunan jalan, maka
jumlah kendaraan juga akan bertambah. Bertambah kendaraan, bertambah pula
polusi dan kemacetan. Bertambah jalan raya, berkuranglah ruang publik. Jakarta
akan menjadi kota yang semakin sesak dan tidak sehat untuk ditinggali. Jika kebijakan ini yang diambil alih-alih proyek MRT, Jokowi sama saja dengan pendahulunya yang mengutamakan kelas menengah.
Penggunaan Busway, KRL atau nanti MRT, Monorail, Trem atau
apapun tidak akan berjalan optimal jika kendaraan pribadi baik motor atau mobil
dimanjakan. Mobil bisa diperoleh dengan harga murah, dengan fasilitas kredit
lunak. Parkir juga murah (baru naik Rp. 3000 per jam baru-baru ini, itupun
banyak yang protes), BBM juga terus disubsidi. Sama juga bohong. Tidak ada
kebijakan disintensif untuk para pengguna mobil pribadi.
Orang-orang banyak yang panik dan kebakaran jenggot
mendengar kabar bensin premium akan dinaikkan harganya. Dengan dalih “orang
kecil yang bakalan susah”, mereka menggerakkan massa untuk berdemo. Demo inipun
didukung penuh oleh orang-orang kelas menengah yang mendadak bersimpati pada
kaum marjimal ini melalui twitter mereka. Mereka yang sering pergi ke restoran
mahal dan berbelanja keluar negeri ini mengkritisi rencana kenaikan BBM
mengatasnamakan orang susah.
Andre Vltchek, seorang novelis dan filmmaker mengungkapkan
dalam catatan
sarkastisnya bahwa industri otomotif tidak akan rela melihat
kondisi lalu lintas Jakarta bagus, tidak pula rela jika Jakarta memiliki sarana
transportasi publik yang memadai. Mereka ingin penduduk Jakarta lebih senang
menggunakan kendaraan pribadi, demi keuntungan mereka. Para perusahaan otomotif
dari Jepang, Eropa atau Amerika itu tidak akan rela pasar potensial mereka
hilang.
Seperti ada upaya dari bangsa lain untuk tetap menjadikan
Indonesia seperti ini. Apakah Indonesia memang seperti dibiarkan saja menjadi
negara konsumen? Negara dunia ketiga yang menjadi sapi perah mereka yang ada di
barat? Anda yang bisa menilai sendiri. Saya sama sekali tidak ada maksud
menyebarkan paham kiri.
Tidak hanya perusahaan otomotif, perusahaan lainnya semisal
perusahaan asuransi tentu khawatir jika pengguna mobil pribadi menurun, karena
nasabah mereka yang menggunakan asuransi kendaraan juga akan mengalami
penurunan. Begitu pula perusahaan-perusahaan terkait lainnya.
Tanpa itupun, orang Jakarta, terutama kelas menengah memang
sudah memiliki pola pikir yang mobil-sentris. Banyak orang beranggapan bahwa
kepemilikan kendaraan, terutama mobil adalah kebanggaan. Mobil dipakai tidak
sekadar alat transportasi, namun juga simbol kesuksesan. Terjangkaunya harga
mobil juga akan terus meningkatkan jumlah masyarakat kelas menengah, sebuah
impian ala American Dream. Sepertinya apapun yang berbau kebarat-baratan sangat
gampang dijual disini.
“Si Anu waktu acara buka puasa bersama bawa mobil Mercy lho.
Udah sukses dia. Beda sama si itu yang masih naik bajaj.”
Mobil juga lambang pergaulan. Orang akan mudah berteman jika
punya mobil, karena dengan memiliki mobil sendiri, anda akan dianggap mobile dan mudah kemana-mana. Belum lagi
jika anda pria, tidak usah munafik bahwa mendekati wanita akan lebih mudah jika
anda memiliki mobil, meskipun tidak mutlak karena banyak wanita karir yang juga
memiliki mobil pribadi.
Fenomena sosial ini juga tercipta lantaran sistem
transportasi umum sudah kadung dikenal tidak nyaman. Terang saja jika orang
akan terus nyaman menggunakan kendaraan pribadi meski konsekuensinya terkena
macet, harus membayar mahal tol, dan parkir.
Tantangan yang datang dari kelas menengah ini memang
gampang-gampang susah. Menggiring mereka untuk memakai transportasi umum jelas
butuh sesuatu yang nyata berupa sarana transportasi umum yang memadai.