Belum ada 100 hari kepemimpinannya, duet Jokowi-Ahok telah banyak melakukan gebrakan. Gebrakan dan juga kebijakan yang akan diambil ini memiliki dampak yang besar, juga tantangan yang besar.
Tulisan berseri yang terdiri dari seri satu, dua, tiga dan empat ini tidak dimaksudkan untuk mengkritisi, apalagi menggurui. Hanya berusaha menggambarkan situasi yang ada dari informasi-informasi yang saya dapatkan.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Beberapa hari belakangan ini pastilah hari yang melelahkan
bagi orang-orang ibukota maupun kota-kota pinggiran di sekelilingnya. Semua
karena curah hujan yang sedang tinggi-tingginya, yang memang kita hadapi setiap
tahun.
Jika kita mengenal hujan adalah rezeki dan rahmat yang harus
disyukuri, namun yang terjadi pada Jakarta dan sekitarnya hujan malah menjadi
bencana.
Hujan deras terutama di sore hari menyusahkan para pekerja
yang hendak pulang ke rumah. Naik mobil pribadi, kena macet. Naik motor, jas
hujan tidak banyak menolong karena hujan terlalu deras. Naik busway, ngantrenya
saja bisa lebih dari satu jam. Naik bis kota, nyampe di rumah entah kapan. Naik
taksi, ongkosnya bisa semahal apa? Naik KRL, berbagai insiden sering membuat
perjalanan KRL terganggu. Hidup udah susah, jadi makin susah di musim hujan
ini.
Jakarta adalah sebuah kota metropolitan yang rapuh. Dan
musim hujan seperti sekarang ini menjadikan Jakarta seperti kota rawa. Genangan
dimana-mana, banjir juga dimana-mana.
Dan sekarang, orang-orang mulai berteriak
kepada Pak Jokowi, sang Gubernur baru. Publik mulai mempertanyakan apakah rencana maupun langkah
kongkrit sang Gubernur dalam mengatasi masalah klasik Jakarta: Macet.
Busway yang semula menjadi alat transportasi massal harapan
dan jagoan untuk solusi masalah kemacetan nyatanya tidak memenuhi harapan. Namun
seperti halnya Chelsea yang menolak jika pembelian 50 juta pound Fernando
Torres dianggap gagal, Busway juga dipandang sebagai proyek yang too big to
fail. Terlalu mahal untuk dibilang gagal, pasti selalu ada pembelaan untuk
menggambarkan bahwa proyek ini sukses.
Busway memang bagus dan cukup nyaman untuk dinaiki. Namun sepertinya
belum menyelesaikan masalah, malah terkadang menambah masalah kemacetan. Jalur
Busway sering diserobot, antriannya sering panjang. Jalurnya juga tidak
menjangkau seluruh sudut kota, makanya tidak jarang kita tetap saja kebingungan
mau naik apa setelah turun dari jalur busway. Tidak terintegrasi dengan
angkutan umum berkualitas lainnya. Pada akhirnya, orang lebih percaya pada
kendaraan pribadi. Belum lagi kita melihat seringnya busway mogok atau rusak,
yang malahan mengganggu perjalanan.
Adanya busway ini nyatanya tidak mengurangi kemacetan karena
memang jumlah mobil pribadi ataupun motor tidak berkurang. Soal ini, nanti saya
bahas lebih detail di seri berikutnya.
Kemacetan Jakarta memang bikin rugi semua pihak. Banyak yang
telat datang ke kantor, telat datang untuk meeting, telat datang ke sekolah,
entah apa lagi. Kerugian tidak hanya materil, namun juga sosial. Kehidupan
sosial terganggu. Kita tentu enggan menghabiskan tiga jam perjalanan dari TB
Simatupang ke MH Thamrin hanya untuk duduk-duduk dan mengobrol bertemu teman.
Jika sebelumnya orang tidak menerima alasan macet, kini alasan macet seperti
dapat dimaklumi siapa saja, dan masyarakat Jakarta hanya bisa pasrah.
Setelah Busway, solusi lain berupa perbaikan transportasi
massal ditawarkan dalam bentuk MRT (Mass Rapid Transportation). MRT tahap 1 yang
rencananya akan membelah kemacetan Jakarta dari Lebak Bulus ke Sisingamangaraja
nampak terdengar seperti angin surga, tapi jika lagi-lagi digarap tanpa
perhitungan, tentunya akan sia-sia.
Perspektif MRT |
Skema MRT tahap 1 ini dipandang banyak pihak sebaiknya
menggunakan skema jalur bawah tanah, tidak secara layang. Biaya menggunakan
jalur layang memang lebih murah, namun resiko tidak efektifnya proyek ini jauh
lebih besar. Penggunaan model ini dinilai akan mematikan sentra perdagangan
kawasan Fatmawati, menciptakan dampak lingkungan tidak baik karena kolong
jembatan akan banyak dihuni gelandangan, juga akan menimbulkan kemacetan parah
kawasan itu selama pembangunan.
Terhadap skema MRT secara keseluruhan, Jokowi juga meminta
proyek itu ditinjau ulang karena bisa saja proyek itu kemahalan. Jokowi juga
meragukan ROI (Return of Investment) dari proyek miliaran US Dollar itu.
Well, untuk kota berpenduduk diatas 10 juta jiwa –salah satu
yang terpadat di dunia- sebenarnya keberadaan MRT sangat logis. 20 tahun lalu
Indonesia adalah negara Asia Tenggara penggagas penggunaan MRT, namun hingga
kini MRT tidak kunjung dibangun. Beda pemerintahan, beda kebijakan. Ganti pimpinan,
ganti kebijakan. Akhirnya kesana enggak, kesini enggak.