Rabu, 28 November 2012

Seri tantangan Jokowi-Ahok Part 1: Macet

Nulis yang serius dikit ah.

Belum ada 100 hari kepemimpinannya, duet Jokowi-Ahok telah banyak melakukan gebrakan. Gebrakan dan juga kebijakan yang akan diambil ini memiliki dampak yang besar, juga tantangan yang besar.

Tulisan berseri yang terdiri dari seri satu, dua, tiga dan empat ini tidak dimaksudkan untuk mengkritisi, apalagi menggurui. Hanya berusaha menggambarkan situasi yang ada dari informasi-informasi yang saya dapatkan.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Beberapa hari belakangan ini pastilah hari yang melelahkan bagi orang-orang ibukota maupun kota-kota pinggiran di sekelilingnya. Semua karena curah hujan yang sedang tinggi-tingginya, yang memang kita hadapi setiap tahun.

Jika kita mengenal hujan adalah rezeki dan rahmat yang harus disyukuri, namun yang terjadi pada Jakarta dan sekitarnya hujan malah menjadi bencana.

Hujan deras terutama di sore hari menyusahkan para pekerja yang hendak pulang ke rumah. Naik mobil pribadi, kena macet. Naik motor, jas hujan tidak banyak menolong karena hujan terlalu deras. Naik busway, ngantrenya saja bisa lebih dari satu jam. Naik bis kota, nyampe di rumah entah kapan. Naik taksi, ongkosnya bisa semahal apa? Naik KRL, berbagai insiden sering membuat perjalanan KRL terganggu. Hidup udah susah, jadi makin susah di musim hujan ini.

Jakarta adalah sebuah kota metropolitan yang rapuh. Dan musim hujan seperti sekarang ini menjadikan Jakarta seperti kota rawa. Genangan dimana-mana, banjir juga dimana-mana. 

Dan sekarang, orang-orang mulai berteriak kepada Pak Jokowi, sang Gubernur baru. Publik mulai mempertanyakan apakah rencana maupun langkah kongkrit sang Gubernur dalam mengatasi masalah klasik Jakarta: Macet.

Busway yang semula menjadi alat transportasi massal harapan dan jagoan untuk solusi masalah kemacetan nyatanya tidak memenuhi harapan. Namun seperti halnya Chelsea yang menolak jika pembelian 50 juta pound Fernando Torres dianggap gagal, Busway juga dipandang sebagai proyek yang too big to fail. Terlalu mahal untuk dibilang gagal, pasti selalu ada pembelaan untuk menggambarkan bahwa proyek ini sukses.

Busway memang bagus dan cukup nyaman untuk dinaiki. Namun sepertinya belum menyelesaikan masalah, malah terkadang menambah masalah kemacetan. Jalur Busway sering diserobot, antriannya sering panjang. Jalurnya juga tidak menjangkau seluruh sudut kota, makanya tidak jarang kita tetap saja kebingungan mau naik apa setelah turun dari jalur busway. Tidak terintegrasi dengan angkutan umum berkualitas lainnya. Pada akhirnya, orang lebih percaya pada kendaraan pribadi. Belum lagi kita melihat seringnya busway mogok atau rusak, yang malahan mengganggu perjalanan.

Adanya busway ini nyatanya tidak mengurangi kemacetan karena memang jumlah mobil pribadi ataupun motor tidak berkurang. Soal ini, nanti saya bahas lebih detail di seri berikutnya.

Kemacetan Jakarta memang bikin rugi semua pihak. Banyak yang telat datang ke kantor, telat datang untuk meeting, telat datang ke sekolah, entah apa lagi. Kerugian tidak hanya materil, namun juga sosial. Kehidupan sosial terganggu. Kita tentu enggan menghabiskan tiga jam perjalanan dari TB Simatupang ke MH Thamrin hanya untuk duduk-duduk dan mengobrol bertemu teman. Jika sebelumnya orang tidak menerima alasan macet, kini alasan macet seperti dapat dimaklumi siapa saja, dan masyarakat Jakarta hanya bisa pasrah.


Perspektif MRT
Setelah Busway, solusi lain berupa perbaikan transportasi massal ditawarkan dalam bentuk MRT (Mass Rapid Transportation). MRT tahap 1 yang rencananya akan membelah kemacetan Jakarta dari Lebak Bulus ke Sisingamangaraja nampak terdengar seperti angin surga, tapi jika lagi-lagi digarap tanpa perhitungan, tentunya akan sia-sia.

Skema MRT tahap 1 ini dipandang banyak pihak sebaiknya menggunakan skema jalur bawah tanah, tidak secara layang. Biaya menggunakan jalur layang memang lebih murah, namun resiko tidak efektifnya proyek ini jauh lebih besar. Penggunaan model ini dinilai akan mematikan sentra perdagangan kawasan Fatmawati, menciptakan dampak lingkungan tidak baik karena kolong jembatan akan banyak dihuni gelandangan, juga akan menimbulkan kemacetan parah kawasan itu selama pembangunan.

Terhadap skema MRT secara keseluruhan, Jokowi juga meminta proyek itu ditinjau ulang karena bisa saja proyek itu kemahalan. Jokowi juga meragukan ROI (Return of Investment) dari proyek miliaran US Dollar itu.

Well, untuk kota berpenduduk diatas 10 juta jiwa –salah satu yang terpadat di dunia- sebenarnya keberadaan MRT sangat logis. 20 tahun lalu Indonesia adalah negara Asia Tenggara penggagas penggunaan MRT, namun hingga kini MRT tidak kunjung dibangun. Beda pemerintahan, beda kebijakan. Ganti pimpinan, ganti kebijakan. Akhirnya kesana enggak, kesini enggak.  

Jika penggunanya banyak, tentu saja investasi ini akan menguntungkan, dan hanya akan menunggu waktu untuk mencapai breakeven point. Jangan hanya hitung keuntungan materi semata, namun jika keuntungan itu terwujud dalam bentuk kenyamanan, secara psikologis akan sangat membantu. 


Rute MRT Tahap 1