Kita pernah ngerasa lidah kurang terpuaskan ketika kita
makan steak di pinggir jalan ketika pernah merasakan steak wagyu mahal yang
berasal dari sapi yang dibuat mabuk. Kita pernah mencela spaghetti bolognaise
rumahan berharga ekonomis ketika mengingat-ingat rasa spaghetti aglio olio di
restoran fine-dining.
Kita sering ngerasain keengganan menurunkan standar.
Itu contoh sederhana dalam hal makanan, dalam hal lainnya
banyak banget. Misalnya kita yang udah biasa kemana-mana naik mobil pribadi
akan merasakan ketidaknyamanan saat terpaksa menaiki kendaraan umum, dan
lain-lain.
Manusia memang punya kecenderungan semacam itu. Ketika
terbiasa hidup di standar tertentu, sulit untuk menurunkannya. Menaikkannya
mudah, namun menurunkannya sulit.
Dulu gue pernah bertanya kepada senior gue. “Punya gaji
sebesar itu buat apa? Pasti duit lo awet dong.” Dia menjawab diplomatis.
“Semakin tinggi penghasilan lo, semakin tinggi pula standar hidup lo.”
Ternyata hal ini juga pernah dibilang sama Van Halen di lagunya
yang berjudul Right Now.
“The more things you get, the more you want.”
Standar hidup adalah masalah pelik bagi orang-orang kota
besar. Dulu dosen gue juga pernah menceramahi teman-teman sekelas. “Nanti kamu
bakal punya gaji besar, masih muda dan bujangan. Disitulah kamu diuji.”
That was so true. Gue melihat sebagian besar temen-temen gue
sedang mengalami fenomena itu. Mereka lalu mengalami kebingungan tentang
bagaimana cara menghabiskan uangnya.
“Our problem is no longer how to earn, but how to spend.”
Begitulah ujar salah satu senior gue dengan jumawa.
Keberadaan pekerja sejenis ini memang baik bagi negara
sendiri, baik pula bagi negara lain. Pekerja macam kami memang dididik dan
diarahkan untuk menghuni strata minimum dari warga kota: Kelas Menengah.
Keberadaan kelas menengah, meskipun sering dipandang sinis,
juga membantu negara. Kelas menengah yang umumnya pekerja kantoran ini membayar
pajak yang besar, bahkan jumlahnya lebih optimal daripada kaum konglomerat yang
justru malah banyak yang ngemplang pajak.
Namun demikian, keberadaan kelas menengah yang cuek dan gak
mikirin orang lain sama halnya dengan duri dalam daging. Toh para pekerja kelas
menengah ini bekerja kepada para pemilik modal untuk memperkaya mereka. Para pekerja
ini bekerja demi memenuhi agenda dari para pemilik modal yang kaya sendiri,
ngemplang pajak, melakukan skema transaksi keuangan yang merugikan negara,
mengendalikan harga minyak dan membayar rendah buruh.
Ah saya mulai terdengar seperti sedang menyebarkan paham
kiri. Oke sip.
Balik lagi ke topik standar hidup. Masalah ini sebenarnya
masalah mendasar bagi manusia. Pemanjaan berlebihan terhadap diri sendiri tentu
melemahkan hati, menjadikan kita sebagai pribadi egois dan self centered, gak peduli
sama orang lain, dan gak peduli sama orang-orang di sekitarnya.
“Selama gue bahagia, gue gak peduli urusan orang. Selama gue
bisa duduk nyaman di depan kolam renang dan mandi di Jacuzzi, masalah orang
lain itu ya masalah mereka. Salah sendiri kenapa dulu malas sekolah, salah
sendiri dulu begitu begini…”
Ah mudah-mudahan pemikiran seperti itu tidak ada dalam diri
siapapun juga.