Rabu, 21 November 2012

Standar Hidup


Kita pernah ngerasa lidah kurang terpuaskan ketika kita makan steak di pinggir jalan ketika pernah merasakan steak wagyu mahal yang berasal dari sapi yang dibuat mabuk. Kita pernah mencela spaghetti bolognaise rumahan berharga ekonomis ketika mengingat-ingat rasa spaghetti aglio olio di restoran fine-dining.

Kita sering ngerasain keengganan menurunkan standar.

Itu contoh sederhana dalam hal makanan, dalam hal lainnya banyak banget. Misalnya kita yang udah biasa kemana-mana naik mobil pribadi akan merasakan ketidaknyamanan saat terpaksa menaiki kendaraan umum, dan lain-lain.

Manusia memang punya kecenderungan semacam itu. Ketika terbiasa hidup di standar tertentu, sulit untuk menurunkannya. Menaikkannya mudah, namun menurunkannya sulit.
Dulu gue pernah bertanya kepada senior gue. “Punya gaji sebesar itu buat apa? Pasti duit lo awet dong.” Dia menjawab diplomatis. “Semakin tinggi penghasilan lo, semakin tinggi pula standar hidup lo.”

Ternyata hal ini juga pernah dibilang sama Van Halen di lagunya yang berjudul Right Now.

“The more things you get, the more you want.”

Standar hidup adalah masalah pelik bagi orang-orang kota besar. Dulu dosen gue juga pernah menceramahi teman-teman sekelas. “Nanti kamu bakal punya gaji besar, masih muda dan bujangan. Disitulah kamu diuji.”

That was so true. Gue melihat sebagian besar temen-temen gue sedang mengalami fenomena itu. Mereka lalu mengalami kebingungan tentang bagaimana cara menghabiskan uangnya.

“Our problem is no longer how to earn, but how to spend.” Begitulah ujar salah satu senior gue dengan jumawa.

Keberadaan pekerja sejenis ini memang baik bagi negara sendiri, baik pula bagi negara lain. Pekerja macam kami memang dididik dan diarahkan untuk menghuni strata minimum dari warga kota: Kelas Menengah.

Keberadaan kelas menengah, meskipun sering dipandang sinis, juga membantu negara. Kelas menengah yang umumnya pekerja kantoran ini membayar pajak yang besar, bahkan jumlahnya lebih optimal daripada kaum konglomerat yang justru malah banyak yang ngemplang pajak.

Namun demikian, keberadaan kelas menengah yang cuek dan gak mikirin orang lain sama halnya dengan duri dalam daging. Toh para pekerja kelas menengah ini bekerja kepada para pemilik modal untuk memperkaya mereka. Para pekerja ini bekerja demi memenuhi agenda dari para pemilik modal yang kaya sendiri, ngemplang pajak, melakukan skema transaksi keuangan yang merugikan negara, mengendalikan harga minyak dan membayar rendah buruh.

Ah saya mulai terdengar seperti sedang menyebarkan paham kiri. Oke sip.
Balik lagi ke topik standar hidup. Masalah ini sebenarnya masalah mendasar bagi manusia. Pemanjaan berlebihan terhadap diri sendiri tentu melemahkan hati, menjadikan kita sebagai pribadi egois dan self centered, gak peduli sama orang lain, dan gak peduli sama orang-orang di sekitarnya.

“Selama gue bahagia, gue gak peduli urusan orang. Selama gue bisa duduk nyaman di depan kolam renang dan mandi di Jacuzzi, masalah orang lain itu ya masalah mereka. Salah sendiri kenapa dulu malas sekolah, salah sendiri dulu begitu begini…”

Ah mudah-mudahan pemikiran seperti itu tidak ada dalam diri siapapun juga.