Senin, 12 November 2012

Saat Mike Portnoy hanya berjarak kurang dari 10 meter dari tempat saya berdiri



Semalam, saya melakukan hal diluar kebiasaan dan kewajaran sebagaimana yang biasa saya lakukan pada hari minggu malam. Bukannya beristirahat atau menonton siaran langsung sepak bola mainstream EPL sambil mengoceh di twitter, saya malah pergi ke Senayan untuk menyaksikan konser rock!

Sebenarnya saya tidak niat-niat amat untuk menghadiri konser yang menghadirkan bintang tamu utama PSMS (Portnoy, Sheehan, Macalpine, Sherinian) dan Sepultura itu. Namun, rasa penasaran karena tidak menonton konser Dream Theater April lalu, plus baik hatinya seorang teman yang membelikan tiket konser sudah cukup memberi alasan bagi saya untuk bangkit dari kursi nyaman dan kopi panas di ruang tengah rumah.

Kami memang berangkat ke konser Djarum Rockfest 2012 itu selepas jam 8 malam, dan memang hanya berniat menyaksikan Mike Portnoy cs saja. Konser sebenarnya berlangsung selama dua hari, dan masing-masing dimulai sejak jam 3 sore. Portnoy, salah satu drummer terbaik dunia ini membentuk PSMS bukan untuk menjadikan kasus dualisme klub sepak bola PSMS Medan semakin ruwet, namun Portnoy membentuk PSMS yang untuk memuaskan hasrat bermusiknya yang masih belum padam, dan nampak belum bisa “move on” dari band lamanya, Dream Theater.

Portnoy menampilkan lagu-lagu dengan ciri yang mirip dengan lagu-lagu Dream Theater. Lagu-lagu progressive rock. Genre ini menurut saya sama halnya dengan jazz jika dilihat dari tingkat kesulitan membawakan dan mencernanya. Namun, progressive rock dibawakan dengan lebih garang dan buat saya sih lebih mengena ketimbang jazz. Notasi dan ketukan rumit mewarnai lagu demi lagu yang dibawakan secara instrumental ini. Kurang lebih sepuluh lagu selama satu setengah jam digeber dengan apik. Pertunjukan skill mahal itu nyatanya hanya dihargai 150 ribu rupiah saja per tiket. Sangat miris membayangkan artis-artis “yang itu” bisa dihargai tiketnya sampai diatas sejuta rupiah.

Mirisnya lagi, konser ini sepi penonton, sesepi jamaah shalat tarawih setelah minggu pertama bulan Ramadan. Hal ini semakin menunjukkan bahwa genre musik rock saat ini adalah genre hipster, atau genre orang tua. Tau sendirilah anak-anak sekarang sukanya musik apa. Wajah-wajah yang hadir semalam memang saya perhatikan sudah berusia 30an keatas dan tampak sudah mapan. Sesekali mereka melihat pada jam tangan mereka, sambil memikirkan bahwa esok harinya adalah hari senin. Oh iya, layaknya konser rock, konser semalam juga seperti biasa banyak dihadiri oleh cowok-cowok gondrong berbaju hitam. Ada beberapa cewek, tapi mereka hadir karena menemani pasangannya, tidak ada cewek yang sepertinya niat datang sendirian ke konser ini karena apresiasinya terhadap musik rock. Teman saya sampai berceloteh bahwa dia akan memacari cewek yang memang niat datang sendiri ke konser rock yang kini hipster ini.

Sepinya penonton ini boleh jadi karena promosi yang memang kurang gencar, juga artis-artis pendukung acara yang kurang “menjual”. Realistis saja, berapa orang sih concert goers yang mengenal sosok Mike Portnoy? Minimnya animo penonton ini saya khawatirkan akan membuat para rocker itu semakin malas datang kesini, dan sebagai gantinya kita hanya akan disuguhi sajian musik yang itu-itu saja.

Secara kualitas sound dan performance, mereka sangat memuaskan meskipun sebagian besar lagu yang mereka bawakan tidak saya kenal. Meskipun konser mereka ngaret hingga satu jam, segala pertunjukan dahsyat yang mereka pertontonkan membuat saya lupa bahwa esoknya adalah hari senin dan sekarang sudah jam 11 malam di hari minggu.



Mike Portnoy, eks drummer Dream Theater dengan gayanya yang enerjik, cuek dan memiliki ciri khas memukul perangkat drum sambil berdiri ternyata juga seorang entertainer handal. Sebagai pentolan dari band ini, ia meletakkan set drumnya lebih dekat dengan penonton, juga dengan posisi menyamping tidak seperti drummer-drummer pada umumnya yang selalu tersembunyi di bagian paling belakang panggung. Portnoy berkali-kali mengajak penonton berkomunikasi, sekaligus sedikit menyinggung penonton Jepang, yang menurutnya hanya bertepuk tangan sebentar lalu berhenti, tidak seantusias disini, di Indonesia.

Saya sebagai seseorang yang juga hobi memainkan perangkat pukul berisik ini, otomatis memang lebih memperhatikan permainan Portnoy. Dialah drummer dengan kemampuan paling komplit yang pernah saya saksikan. Permainan rumitnya di Dream Theater sebelumnya memang seakan sudah menjadi bagian tidak terpisahkan. Segala macam tehnik pukulan ia peragakan dengan power, groove dan akurasi luar biasa. Staminanya juga sangat terjaga di usianya yang kini sudah 45 tahun, cukup uzur untuk memainkan musik keras yang bertempo rumit ini.

Mike Portnoy cs telah membangkitkan kembali romansa kejayaan genre musik rock, yang berjaya di era 80 hingga 90an. Kehadirannya bersama Sheehan, Macalpine dan Sherinian semalam cukup memuaskan dahaga rock concert yang telah saya derita selama setahun lebih.

Thanks, Rockstars! Kalian membuat hari senin yang biasanya saya lalui dengan kantuk dan malas menjadi lebih bermakna, walaupun sebagai penutup konser saya lebih berharap kalian memainkan lagu Colorado Bulldog ketimbang Shy Guy.

Rock on!!