Belum
ada 100 hari kepemimpinannya, duet Jokowi-Ahok telah banyak melakukan gebrakan.
Gebrakan dan juga kebijakan yang akan diambil ini memiliki dampak yang besar,
juga tantangan yang besar.
Tulisan
berseri lanjutan dari seri pertama dan kedua ini tidak dimaksudkan untuk mengkritisi, apalagi menggurui. Hanya
berusaha menggambarkan situasi yang ada dari informasi-informasi yang saya
dapatkan.
--------------------------------------------------------------------------------------------
Terpilihnya Jokowi-Ahok seakan menjadi angin segar bagi para
buruh, yang terus memperjuangkan Upah Mimimum Provinsi (UMP) senilai 2,7 juta
rupiah. Jumlah itu kemudian dikabarkan akhirnya disepakati Jokowi menjadi 2,2
juta.
Seolah ingin membela kepentingan kaum buruh dan mengabaikan
teriakan dari kelas menengah, Jokowi mengambil langkah ini. Sebuah kebijakan populis.
Ada beberapa isu terkait hal ini.
Pertama, bagaimana dampak pengenaan UMP sebesar itu terhadap
industri besar maupun kecil?
Untuk industri besar yang banyak mempekerjakan buruh, hal
itu tentu akan menaikkan biaya produksi, juga sedikit porsi biaya operasional.
Keuntungan akan berkurang. Akibatnya, bisa saja produk mereka jadi mahal dan
harganya tidak lagi kompetitif. Ya, namanya businessman, mereka pasti bisa saja
mengakali situasi. Bisa saja kualitas produk mereka diturunkan untuk menjaga keuntungan,
bisa saja biaya lain dikorbankan, dan sebagainya.
Namun hal ini membawa konsekuensi dari dinamika industri
yang tidak terukur dampaknya. Industri besar yang komponen biaya terbesarnya
adalah biaya pegawai (buruh) tentu akan sangat terpukul dengan hal ini. Jika
mereka sampai gulung tikar, kenaikan upah buruh bukannya menguntungkan, malah
akan membuat mereka kehilangan pekerjaan.
Untuk industri kecil, mungkin lebih terasa dampaknya. Jika
sebelumnya mereka misalnya membayar staf administrasi dengan gaji per bulan 2,5
juta dan seorang office boy (OB) 1,5 juta rupiah, bayangkan jika pengusaha
kecil itu menaikkan gaji sang OB senilai 2,2 juta.
Tanpa mengecilkan peran dan
profesi seorang OB, seorang karyawan administrasi yang notabene kemungkinan besar
berpendidikan lebih tinggi pasti tidak akan rela jika gajinya hanya terpaut
beberapa ratus ribu saja dari OB. Pengusaha mereka boleh jadi akan didemo oleh
karyawannya.
Kedua, apakah ini kebijakan publik yang benar-benar memihak
kepada “wong cilik”?
Buruh, sebagai representasi kaum marjinal memang dipandang
sebagai pihak yang membutuhkan banyak perhatian menyangkut kesejahteraan. Buruh
seperti sapi perah yang dibayar murah dan diperlakukan semena-mena oleh para
pemilik modal, yang menikmati keuntungan maksimal akibat ditekannya biaya
produksi, dalam hal ini biaya gaji buruh.
Namun apakah kaum buruh merepresentasikan kaum marjinal
seluruhnya? Saya rasa tidak. Banyak orang Jakarta menggantungkan hidup pada
sektor informal, melalui UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah) ataupun apa saja
yang tidak terdata dalam statistik sederhana yang terpampang di papan tulis
Kelurahan.
Jika memang kenaikan UMP ini ditargetkan untuk membantu kaum
marjinal, tentunya hal ini tidak menawarkan solusi yang menyeluruh. Kenaikan
UMP juga harus diimbangi dengan penguatan sektor informal, yang akan merembet
kepada permasalahan ketersediaan lapangan kerja.
Jangan lupa bahwa sebagian dari “wong cilik” ini juga berada
dibawah garis kemiskinan, dan mereka tidak tercatat dalam data penduduk di kelurahan.
Banyak pula diantara mereka yang merupakan pendatang modal dengkul dengan
harapan meraih kesuksesan dengan mengadu nasib di Jakarta.