Kamis, 29 November 2012

Seri tantangan Jokowi-Ahok Part 3: Buruh dan Wong Cilik


Belum ada 100 hari kepemimpinannya, duet Jokowi-Ahok telah banyak melakukan gebrakan. Gebrakan dan juga kebijakan yang akan diambil ini memiliki dampak yang besar, juga tantangan yang besar.

Tulisan berseri lanjutan dari seri pertama dan kedua ini tidak dimaksudkan untuk mengkritisi, apalagi menggurui. Hanya berusaha menggambarkan situasi yang ada dari informasi-informasi yang saya dapatkan.

--------------------------------------------------------------------------------------------

Terpilihnya Jokowi-Ahok seakan menjadi angin segar bagi para buruh, yang terus memperjuangkan Upah Mimimum Provinsi (UMP) senilai 2,7 juta rupiah. Jumlah itu kemudian dikabarkan akhirnya disepakati Jokowi menjadi 2,2 juta.

Seolah ingin membela kepentingan kaum buruh dan mengabaikan teriakan dari kelas menengah, Jokowi mengambil langkah ini. Sebuah kebijakan populis.

Ada beberapa isu terkait hal ini.

Pertama, bagaimana dampak pengenaan UMP sebesar itu terhadap industri besar maupun kecil?

Untuk industri besar yang banyak mempekerjakan buruh, hal itu tentu akan menaikkan biaya produksi, juga sedikit porsi biaya operasional. Keuntungan akan berkurang. Akibatnya, bisa saja produk mereka jadi mahal dan harganya tidak lagi kompetitif. Ya, namanya businessman, mereka pasti bisa saja mengakali situasi. Bisa saja kualitas produk mereka diturunkan untuk menjaga keuntungan, bisa saja biaya lain dikorbankan, dan sebagainya.

Namun hal ini membawa konsekuensi dari dinamika industri yang tidak terukur dampaknya. Industri besar yang komponen biaya terbesarnya adalah biaya pegawai (buruh) tentu akan sangat terpukul dengan hal ini. Jika mereka sampai gulung tikar, kenaikan upah buruh bukannya menguntungkan, malah akan membuat mereka kehilangan pekerjaan.

Untuk industri kecil, mungkin lebih terasa dampaknya. Jika sebelumnya mereka misalnya membayar staf administrasi dengan gaji per bulan 2,5 juta dan seorang office boy (OB) 1,5 juta rupiah, bayangkan jika pengusaha kecil itu menaikkan gaji sang OB senilai 2,2 juta. 

Tanpa mengecilkan peran dan profesi seorang OB, seorang karyawan administrasi yang notabene kemungkinan besar berpendidikan lebih tinggi pasti tidak akan rela jika gajinya hanya terpaut beberapa ratus ribu saja dari OB. Pengusaha mereka boleh jadi akan didemo oleh karyawannya.

Kedua, apakah ini kebijakan publik yang benar-benar memihak kepada “wong cilik”?
Buruh, sebagai representasi kaum marjinal memang dipandang sebagai pihak yang membutuhkan banyak perhatian menyangkut kesejahteraan. Buruh seperti sapi perah yang dibayar murah dan diperlakukan semena-mena oleh para pemilik modal, yang menikmati keuntungan maksimal akibat ditekannya biaya produksi, dalam hal ini biaya gaji buruh.

Namun apakah kaum buruh merepresentasikan kaum marjinal seluruhnya? Saya rasa tidak. Banyak orang Jakarta menggantungkan hidup pada sektor informal, melalui UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah) ataupun apa saja yang tidak terdata dalam statistik sederhana yang terpampang di papan tulis Kelurahan.

Jika memang kenaikan UMP ini ditargetkan untuk membantu kaum marjinal, tentunya hal ini tidak menawarkan solusi yang menyeluruh. Kenaikan UMP juga harus diimbangi dengan penguatan sektor informal, yang akan merembet kepada permasalahan ketersediaan lapangan kerja.

Jangan lupa bahwa sebagian dari “wong cilik” ini juga berada dibawah garis kemiskinan, dan mereka tidak tercatat dalam data penduduk di kelurahan. Banyak pula diantara mereka yang merupakan pendatang modal dengkul dengan harapan meraih kesuksesan dengan mengadu nasib di Jakarta.