Jumat, 23 November 2012

Musik itu bukan orangnya, tapi kenangannya.


Saya akui kalo saya termasuk orang yang saklek soal musik. Buat saya musik cuma 2 jenis, yaitu rock dan non-rock. Saya gak sungguh-sungguh memaknainya saat mengeluarkan statement itu, tapi itulah kata-kata yang keluar menggambarkan kekecewaan saya pada musik-musik yang ada sekarang.

Subjektif? Pasti. Musik itu masalah selera, dan yang namanya selera itu pasti subjektif. Perasaan saya juga sama dengan orang-orang yang komentar di video lagu-lagu 90an dalam situs youtube. Misalnya orang memposting video lagu Ahmad Band, dibawahnya pasti banyak komentar senada yang intinya: “Musik jaman 90an lebih enak, musik sekarang kacrut.”

Saya mungkin merasakan hal yang sama, namun sebagai hanya penikmat dan bukan pelaku musik Indonesia, kok saya merasa gak berhak ya untuk menghujat, meski memang sangat ingin.

Pada akhirnya, saya mencoba menebalkan toleransi dan melonggarkan kesaklekan saya. Meskipun ini bukan berarti saya akan otomatis menyenangi musik-musik jaman sekarang. Tapi, saya punya alasan untuk berdamai dengan itu semua, dan mencoba setidaknya menahan diri untuk tidak mencela.

Coba saya gambarkan musik jaman saya waktu beranjak dewasa dulu:

Saya mulai tertarik musik setelah dengerin album “Be Here Now” dari band Oasis dan “Pandawa Lima” dari Dewa 19.
Lalu saya belajar main gitar dengan lagu “Radja” dari band /rif. Selain itu, saya mendengarkan kompilasi album di kaset “Indie Ten” yang berisi band-band macam Coklat, Wong, dan Padi.
Setelah itu, saya membentuk band bersama teman-teman dengan memainkan lagu-lagu Green Day.
Bosan dengan Green Day, saya dicekoki Metallica oleh teman saya. Kalo lagi agak pengen bawain lagu yang rada slow, saya mainkan Sheila on 7.
Dan setelah itu, saya menahbiskan diri sebagai penggemar musik rock, menjadi gitaris dan drummer amatiran.



Coba saya ganti diri saya dengan sepupu saya yang sekarang sudah kelas 3 SMA:

Saya mulai tertarik musik setelah dengerin lagu-lagu dari band Peter Pan dan Ungu.
Lalu saya belajar main gitar dengan lagu “PUSPA” dari band ST 12. Selain itu, saya mendengarkan kompilasi album “Trend Indonesia” di MP3 yang berisi band-band macam Kangen Band, Hijau Daun, dan Armada.
Setelah itu, saya membentuk band bersama teman-teman dengan memainkan lagu-lagu Wali.
Bosan dengan Wali, saya dicekoki D’Massiv oleh teman saya. Kalo lagi agak pengen bawain lagu yang rada slow, saya mainkan lagu-lagu Bruno Mars.
Dan setelah itu, saya menahbiskan diri sebagai penggemar musik pop, menjadi vokalis dan gitaris.



Selanjutnya, coba saya ganti diri saya dengan sepupu saya yang baru masuk SMP.

Saya mulai tertarik musik setelah dengerin lagu-lagu dari boyband dan girlband Smash dan Cherrybelle.
Lalu saya belajar joget dari lagu”Oppa Gangnam Style”. Selain itu, saya mendengarkan kompilasi album “Trend KPOP” di MP3 yang berisi band-band Korea. Saya juga follow akun twitter Justin Bieber.
Setelah itu, saya membentuk boyband bersama teman-teman di Sevel dengan mendaur ulang lagu-lagu jaman om saya.
Bosan dengan boyband mellow, saya dicekoki One Direction yang katanya lebih ngerock oleh teman saya.
Dan setelah itu, saya menahbiskan diri sebagai penggemar musik boyband.



Apakah ada yang lebih keren atau lebih cupu? Apakah ada dekadensi dari kualitas musik? 

Saya tidak berhak untuk menjawabnya. Anda sendiri yang menilai. Sekali lagi, itu subjektif.

Alasan itu adalah kenangan. Kebanyakan kita membanggakan lagu-lagu atau musisi jaman kita beranjak dewasa karena saat itu memang kita baru mengenal musik. Kita tumbuh bersama musik-musik itu. Kita jatuh cinta dan ngerasain cinta monyet dengan lagu-lagu di jaman kita itu. Kita mulai mengenal dunia diiringi melodi lagu-lagu yang sering diputar di jaman kita. Itulah sebabnya kita cenderung membanggakannya.

Anak-anak angkatan saya bisa bilang Slank itu keren, jauh lebih keren daripada Peter Pan. Tapi, anak-anak pemuja Ariel yang gak pernah denger Slank sebelumnya, boleh jadi gak sependapat. Kita menganggap Slank, Dewa 19 atau Gigi keren, tapi orang tua kita tetap aja menganggap Koes Plus cs lebih keren. Kadang-kadang, keindahan itu berwujud kenangan dan bukan sosok.

“Moving on is a simple things, what leaves behind is hard.”

Bukan orangnya, tapi kenangannya.

Ya kalo anak jaman sekarang lebih suka Smash dan Cherrybelle, penyebabnya adalah karena lagu-lagu itu mengiringi pertumbuhan mereka. Itulah yang bakal jadi kenang-kenangan mereka 10-20 tahun kedepan.

Mereka juga bakal mencela trend musik tahun 2030an nanti dengan bilang kalo “dulu jaman gue SMP, boyband lebih keren karena lebih banyak orangnya. Karena mereka alumni sevel sini lho!”

“Justin Bieber itu king!” “One Direction itu nge-rock!”

Musik emang cerminan generasi. Berubah terus, berkembang terus. Mau ngikutin jaman atau nggak, itu pilihan.