Belum
ada 100 hari kepemimpinannya, duet Jokowi-Ahok telah banyak melakukan gebrakan.
Gebrakan dan juga kebijakan yang akan diambil ini memiliki dampak yang besar,
juga tantangan yang besar.
Tulisan terakhir yang didahului seri satu, dua dan tiga ini tidak dimaksudkan untuk mengkritisi, apalagi menggurui. Hanya
berusaha menggambarkan situasi yang ada dari informasi-informasi yang saya
dapatkan.
Jokowi dan Ahok, dinilai akan kesulitan menghadapi masalah
Jakarta yang bukan hanya macet, namun korup. Sudah bukan rahasia lagi bahwa
korupsi telah menggerogoti ibukota, juga seluruh negeri ini sejak era orde baru, bahkan sejak zaman kolonial.
Dari pembuatan KTP, penggalian tanah makam, hingga pembuatan infrastruktur juga
dikorup.
Ahok, yang sudah menggebrak lewat video rapatnya yang
diunggah ke youtube, menggunakan bahasa ceplas-ceplos dan pendekatan koboi
dalam menghadapi para pejabat bermental tikus ini. “Saya kalo ngomong emang
begini, mohon maaf karena gak enak. Tugas saya ini memang gak enak kok.” Begitu
katanya, kata-kata yang sangat tidak umum beredar di kalangan pejabat yang
umumnya penuh tetek bengek aristokrat namun menusuk dari belakang dan mengeruk
uang rakyat baik diam-diam maupun terang-terangan.
“Jokowi is no Indonesian Hugo Chavez, Evo Morales, Lula, or
Ho Chi Minh.” Tutup Andre Vltchek dalam esai
berapi-apinya itu.
Ya memang Jokowi-Ahok belum membuktikan apapun. Ini Jakarta,
bukan Solo bukan pula Bangka. Jokowi-Ahok juga “berhutang” pada
Megawati-Prabowo yang mencalonkan dan mendukung mereka dalam Pilkada. Hal yang
tentu akan memberi kesan bahwa mereka tidaklah bebas kepentingan. Akan ada
“balas jasa” tentunya di negeri penuh intrik ini, seperti halnya seorang Presiden saat memberi jabatan menteri kepada orang-orang partai yang telah mendukung
pencalonannya tanpa melihat kompetensi. Atau jika memang duet Jokowi-Ahok tetap melangkah dengan gayanya ini, bukan tidak mungkin banyak pihak yang tidak suka. Skema permainan kotor politik tingkat tinggi bisa saja dibuat-buat lagi oleh orang-orang yang memang tidak ingin negara ini maju.
Semoga saja saya salah.
Semoga saja saya salah.
Jokowi memang bukan Chavez, Morales, Lula atau Ho Chi Minh
yang kesemuanya adalah tokoh besar sosialis. Dan Jokowi BUKAN sosialis, karena
ia berlatar belakang pengusaha. Namun tidak ada salahnya kita mengharapkan
Jokowi memiliki kekuatan, keberanian dan keteguhan seperti layaknya tokoh-tokoh
dunia diatas. Seorang pemimpin setidaknya harus punya sikap.
Memang tidak ada dari mereka yang sempurna. Jika anda pernah
melihat bagaimana Chavez membuat penduduknya berebut lahan tanah, atau Morales
yang menasionalisasi perusahaan gas asing dan berakibat investor asing kabur,
Jokowi saya rasa bukan pimpinan dengan ideologi seperti itu.