Rabu, 31 Oktober 2012

Teman paling lucu


Elo mungkin punya temen dari masa lalu yang lo pengen tau kabarnya karena sudah jarang bertemu. Kali ini gue mau cerita tentang seorang teman paling lucu yang pernah gue punya. Sebut saja namanya Bambang Kusnadi.

Si Bambang ini gue kenal dari jaman masih bocah berseragam merah putih. Bambang ini berbadan lebih bongsor daripada anak seusianya. Di upacara bendera, dia berbaris paling belakang. Gak heran dia dipanggil dengan nama si Bongsor. Tapi, badan besar memang tidak berarti otaknya besar.

It’s not that I am being sarcastic, but that’s so true. Si Bongsor ini dua tahun gak naik kelas. Suatu hari, gue pernah memergoki dia sedang membanting dan menginjak-injak raport-nya di teras rumah setelah mengetahui bahwa dia harus tinggal kelas.

Si Bongsor juga terkenal sangat emosian. Suatu ketika adiknya ingin belajar mengemudikan sepeda motor, lalu dipakailah motor bekas milik si Bongsor. Adiknya itu perempuan, kagok dan latah. Dalam suatu momen, adiknya terlalu kencang menekan gas, sehingga dia dan motornya tercebur kedalam sebuah got. Bukannya menolong adiknya, dia malah ngomel dan menggobloki adiknya yang malang itu.

Dia juga pelit. Pelitnya bukan main. Pernah suatu ketika kami sedang konvoi dengan sepeda motor ke suatu tempat di malam hari. Apa yang dia lakukan? Dia menolak menyalakan lampu motornya. “Ah kan udah ada elu pada, lumayan gue jadi irit lampu.” Astaghfirullah.

Bukan hanya pelit, dia juga matre. Suatu ketika ada kampanye sebuah Parpol. Dengan imbalan uang 50 ribu rupiah, dia mengikuti kampanye itu, lalu berteriak-teriak layaknya simpatisan yang telah dicuci otaknya. Tapi beberapa hari kemudian dia terlihat lagi mengikuti kegiatan kampanye Parpol lainnya. Kualat, jidatnya terluka terkena ranting pohon akibat dia tidak melihat kedepan saat berdiri di truk.

Tidak hanya itu, dia adalah orang yang sangat tidak bisa dipegang janjinya. Ketika gue janjian sama dia untuk pergi ke suatu tempat di suatu waktu yang disepakati, dia awalnya bilang “Iya, gue bisa.” Tapi kenyataannya, dia tidak pernah muncul tepat waktu. Jam tangannya terbuat dari karet.

Ada keahliannya yang biasa dia banggakan, yaitu bermain sepak bola. Dia memang kuat, cepat dan agresif. Tapi, dia pemain yang kasar yang tidak segan menghajar lawan. Wajahnya sangat serius ketika bermain sepak bola dan terlihat kaku seperti celana jeans yang sedang dijemur. Namun, dia juga kerap menyebalkan dan bermain sendirian, tidak pernah membagi bola kepada teman-temannya.

Namun diluar itu semua, Bongsor ini juga sangat lucu orangnya. Paling lucu yang pernah gue kenal, dan kelucuannya itu memang tidak dibuat-buat seperti host acara musik pagi.

Suatu hari setelah bermain video game, dia dikata-katai oleh seorang teman karena dia serakah dan tidak mau bergantian. Teman gue itu mencelanya dengan bilang “Ah dasar lo muka tembok!” Tanpa diduga, si Bongsor menjawab dengan lantang. “Bodo amat! Daripada muka lo tuh kaya pu-yung hai!” Semuanya tertawa. Dialah ahli lelucon slapstick tanpa makna.

Omong-omong soal muka tembok, dia memang tembok. Saat makan bersama, dia selalu berada pada antrian terdepan. Saat buka puasa bersama, dia selalu mengambil makanan dalam jumlah banyak tanpa mempedulikan orang lain. Saat bertanding voli antar RT, dia tidak segan menyambangi tim RT sebelah yang menyediakan konsumsi untuk tim. "Pak RT sebelah orangnya baik, sering membelikan makanan." Begitulah potret kesederhanaan sekaligus kenaifan dirinya itu.

Kelucuan lainnya Bongsor adalah saat dia bernyanyi. Dengan pede dia menenteng gitar, sambil membaca teks dari buku lirik dan chord lagu, lalu mulai bernyanyi. Ajaibnya, meski sambil membaca, apa yang keluar dari mulutnya sama sekali tidak sesuai dengan yang dia baca. 

Suaranya juga sumbang dan fals, tapi tetap lantang. Apalagi kalo dia bernyanyi lagu berbahasa Inggris, yang terdengar malah lagu dengan lirik “enjebre injebre, mig nais, demej”

Lucunya lagi, si Bongsor juga adalah orang yang penyakitan walaupun fisiknya meyakinkan. Penyakit-penyakit ringan seperti meriang, flu atau masuk angin udah rutin dia derita, bahkan penyakit lumayan berat seperti tifus dan sembelit pernah dia derita. Suatu ketika, dia menderita tifus karena memakan tiga bungkus mie instan mentah saat berkemah bersama teman-teman sekolahnya. Dia mengaku melakukan itu karena tidak tahan lapar dan tidak bisa tidur.

Terakhir, si Bongsor yang berbadan besar itu ternyata cukup sensitif. Dia terang-terangan menangis saat menonton A walk to remember.

Ah Bongsor. Betapa teman seperti elo ini sungguh langka. Tiba-tiba gue inget elo dan yang lainnya disaat gue udah terbiasa bertemu orang-orang pintar dan rapi, disaat gue lebih sering berkumpul dengan teman-teman gue yang ambisius. Gak sloppy dan gak silly seperti elo. Gak ada yang bisa bikin gue tertawa lepas selepas saat kita biasa kumpul bareng teman-teman lainnya di pos ronda.

Udah ah, gue jadi gak berhenti ketawa nulis ini. Sekaligus gak bisa berhenti menerawang. I miss that old days.