Berapa orang di
dunia ini yang hidup mengerjakan impiannya dan berapa orang yang menyerah pada
realita? Saya rasa banyakan yang menyerah pada realita. Jika perkataan saya
masih di awang-awang, biar saya jelaskan sedikit.
Seorang financial
advisor mengikuti sebuah reality show keterampilan yang sama sekali diluar
bidang pekerjaannya. Keterampilan ini memang hobinya, karena tidak bisa dia
kerjakan makanya dia mengambil kuliah jurusan ekonomi, berkarir dari bawah,
kemudian mapan menjadi seorang financial advisor. Tetapi setelah mapan dan
dikenal sebagai financial advisor, orang itu menemukan ketidaknyamanan dalam
hatinya. Sebagai orang beriman, dia tentunya berdoa agar dilapangkan hatinya. Ternyata
Tuhan memberi jawaban dari sebuah kontes reality show di televisi. Semuanya mudah,
dan kini dia sudah memasuki babak-babak akhir dari reality show itu. Dia mampu
menjalankannya sebaik dia menjadi financial advisor.
“Setelah sekian
lama, akhirnya saya menemukan yang benar-benar ingin saya lakukan. Dan saya
akan terus disini.” Demikian tuturnya.
Siapa sangka seorang
wakil Gubernur yang baru terpilih memiliki sisi lain? Ketika ditanyai sebuah
pertanyaan dalam sebuah wawancara eksklusif tentang “Apa profesi impian anda?”
Lalu pejabat baru itu menjawab “Saya suka balapan, saya dulu bercita-cita
menjadi seorang motor-crosser.”
Di kantor, saya
juga melihat beberapa orang yang memiliki gairah lebih di pekerjaan lain. Ada
yang suka sekali musik, ada yang suka sekali berakting, ada yang suka sekali
mengorganisir sebuah acara, dan sebagainya. Mereka menjadi staf akunting karena
berbagai sebab, dan yang paling umum adalah mereka disuruh orang tua agar
menjadi pekerja kantoran agar tiap bulannya menerima gaji. Alasan umum lainnya
adalah karena memang tidak ada pilihan lain, dengan artian, disini memang iklim
usahanya tidak selalu memungkinkan kita untuk menjadi apa yang kita inginkan,
tapi lebih kepada menjadi apa yang orang lain inginkan.
Memang, di
negeri yang seperti terus dijadikan negara dunia ketiga ini, mental kita selalu
dikondisikan seperti itu. Mental “bekerja pada orang” dan mental karyawan bukannya
mental wirausaha. Mental bagaimana meniru dan melakukan apa yang ada di buku,
bukannya mental inovasi.
Memang tidak gampang.