Elo mungkin punya temen dari masa lalu
yang lo pengen tau kabarnya karena sudah jarang bertemu. Kali ini gue mau
cerita tentang seorang teman paling lucu yang pernah gue punya. Sebut saja
namanya Bambang Kusnadi.
Si Bambang ini gue kenal dari jaman masih
bocah berseragam merah putih. Bambang ini berbadan lebih bongsor daripada anak
seusianya. Di upacara bendera, dia berbaris paling belakang. Gak heran dia
dipanggil dengan nama si Bongsor. Tapi, badan besar memang tidak berarti
otaknya besar.
It’s not that I am being sarcastic, but
that’s so true. Si Bongsor ini dua tahun gak naik kelas. Suatu hari, gue pernah
memergoki dia sedang membanting dan menginjak-injak raport-nya di teras rumah
setelah mengetahui bahwa dia harus tinggal kelas.
Si Bongsor juga terkenal sangat emosian. Suatu
ketika adiknya ingin belajar mengemudikan sepeda motor, lalu dipakailah motor
bekas milik si Bongsor. Adiknya itu perempuan, kagok dan latah. Dalam suatu
momen, adiknya terlalu kencang menekan gas, sehingga dia dan motornya tercebur
kedalam sebuah got. Bukannya menolong adiknya, dia malah ngomel dan menggobloki adiknya
yang malang itu.
Dia juga pelit. Pelitnya bukan main. Pernah
suatu ketika kami sedang konvoi dengan sepeda motor ke suatu tempat di malam
hari. Apa yang dia lakukan? Dia menolak menyalakan lampu motornya. “Ah kan udah
ada elu pada, lumayan gue jadi irit lampu.” Astaghfirullah.
Bukan hanya pelit, dia juga matre. Suatu ketika
ada kampanye sebuah Parpol. Dengan imbalan uang 50 ribu rupiah, dia mengikuti
kampanye itu, lalu berteriak-teriak layaknya simpatisan yang telah dicuci
otaknya. Tapi beberapa hari kemudian dia terlihat lagi mengikuti kegiatan
kampanye Parpol lainnya. Kualat, jidatnya terluka terkena ranting pohon akibat
dia tidak melihat kedepan saat berdiri di truk.
Tidak hanya itu, dia adalah orang yang
sangat tidak bisa dipegang janjinya. Ketika gue janjian sama dia untuk pergi ke
suatu tempat di suatu waktu yang disepakati, dia awalnya bilang “Iya, gue bisa.”
Tapi kenyataannya, dia tidak pernah muncul tepat waktu. Jam tangannya terbuat
dari karet.
Ada keahliannya yang biasa dia banggakan,
yaitu bermain sepak bola. Dia memang kuat, cepat dan agresif. Tapi, dia pemain
yang kasar yang tidak segan menghajar lawan. Wajahnya sangat serius ketika
bermain sepak bola dan terlihat kaku seperti celana jeans yang sedang dijemur. Namun, dia juga kerap
menyebalkan dan bermain sendirian, tidak pernah membagi bola kepada
teman-temannya.
Namun diluar itu semua, Bongsor ini juga
sangat lucu orangnya. Paling lucu yang pernah gue kenal, dan kelucuannya itu
memang tidak dibuat-buat seperti host acara musik pagi.
Suatu hari setelah bermain video game, dia
dikata-katai oleh seorang teman karena dia serakah dan tidak mau bergantian. Teman gue itu mencelanya dengan
bilang “Ah dasar lo muka tembok!” Tanpa diduga, si Bongsor menjawab dengan
lantang. “Bodo amat! Daripada muka lo tuh kaya pu-yung hai!” Semuanya tertawa. Dialah ahli lelucon slapstick tanpa makna.
Omong-omong soal muka tembok, dia memang tembok. Saat makan bersama, dia selalu berada pada antrian terdepan. Saat buka puasa bersama, dia selalu mengambil makanan dalam jumlah banyak tanpa mempedulikan orang lain. Saat bertanding voli antar RT, dia tidak segan menyambangi tim RT sebelah yang menyediakan konsumsi untuk tim. "Pak RT sebelah orangnya baik, sering membelikan makanan." Begitulah potret kesederhanaan sekaligus kenaifan dirinya itu.
Omong-omong soal muka tembok, dia memang tembok. Saat makan bersama, dia selalu berada pada antrian terdepan. Saat buka puasa bersama, dia selalu mengambil makanan dalam jumlah banyak tanpa mempedulikan orang lain. Saat bertanding voli antar RT, dia tidak segan menyambangi tim RT sebelah yang menyediakan konsumsi untuk tim. "Pak RT sebelah orangnya baik, sering membelikan makanan." Begitulah potret kesederhanaan sekaligus kenaifan dirinya itu.
Kelucuan lainnya Bongsor adalah saat dia
bernyanyi. Dengan pede dia menenteng gitar, sambil membaca teks dari buku lirik
dan chord lagu, lalu mulai bernyanyi. Ajaibnya, meski sambil membaca, apa yang
keluar dari mulutnya sama sekali tidak sesuai dengan yang dia baca.
Suaranya juga
sumbang dan fals, tapi tetap lantang. Apalagi kalo dia bernyanyi lagu berbahasa
Inggris, yang terdengar malah lagu dengan lirik “enjebre injebre, mig nais,
demej”
Lucunya lagi, si Bongsor juga adalah orang
yang penyakitan walaupun fisiknya meyakinkan. Penyakit-penyakit ringan seperti meriang, flu atau masuk angin
udah rutin dia derita, bahkan penyakit lumayan berat seperti tifus dan sembelit
pernah dia derita. Suatu ketika, dia menderita tifus karena memakan tiga bungkus mie instan
mentah saat berkemah bersama teman-teman sekolahnya. Dia mengaku melakukan itu karena tidak
tahan lapar dan tidak bisa tidur.
Terakhir, si Bongsor yang berbadan besar
itu ternyata cukup sensitif. Dia terang-terangan menangis saat menonton A walk
to remember.
Ah Bongsor. Betapa teman seperti elo ini
sungguh langka. Tiba-tiba gue inget elo dan yang lainnya disaat gue udah terbiasa bertemu orang-orang pintar dan rapi, disaat gue lebih sering berkumpul dengan teman-teman gue yang ambisius. Gak sloppy dan gak silly seperti elo. Gak ada yang bisa bikin gue tertawa lepas selepas saat kita biasa kumpul
bareng teman-teman lainnya di pos ronda.
Udah ah, gue jadi gak berhenti ketawa
nulis ini. Sekaligus gak bisa berhenti menerawang. I miss that old days.