Sabtu, 24 November 2018

Timnas Senior yang Berprestasi di Level Junior Namun Melempem di Level Senior

Tanpa bertanding, kiprah tim nasional (timnas) senior Indonesia dipastikan terhenti di babak penyisihan grup Piala AFF 2018. Kepastian ini diperoleh setelah kesebelasan Filipina berhasil menahan imbang Thailand dengan skor 1-1 pada hari Rabu (21/11). Dengan demikian, Indonesia yang baru meraih tiga poin dari hasil satu kemenangan atas Timor Leste dan dua kekalahan dari Singapura dan Thailand, tidak dapat mengejar poin Thailand maupun Filipina.
Kegagalan ini sebetulnya patut disayangkan. Pasalnya, Indonesia mengukir hasil-hasil positif dalam turnamen-turnamen kelompok usia muda sepanjang tahun 2018. Diawali timnas U-16 yang berhasil meraih gelar Piala AFF, lalu diteruskan timnas U-23 yang berhasil menembus babak 16 besar Asian Games, hingga timnas U-19 yang nyaris lolos ke Piala Dunia U-20 andai tidak dikalahkan Jepang. Penampilan bagus di Piala AFF 2018 bagi timnas senior semestinya dapat menjadi penutup yang manis yang dapat memberi afirmasi bahwa sepak bola Indonesia memang tengah bangkit.
Dengan kegagalan di Piala AFF 2018 ini, apakah dapat diartikan bahwa sepak bola Indonesia kembali jalan di tempat, atau malah mengalami kemunduran karena pada ajang yang sama tahun 2016, Indonesia berhasil melaju hingga ke babak final?
Kalimat-kalimat menghibur seperti “Timnas Indonesia mendapatkan pelajaran berharga dari pergelaran Piala AFF 2018” kurang tepat untuk digunakan pada kegagalan kali ini. Pasalnya, kalimat-kalimat sejenis inilah yang kerap kali diapungkan sebagai pelipur lara tiada guna setiap tim nasional menemui kegagalan. Pada kenyataannya, tidak ada pelajaran yang diambil, dan prestasi tim nasional senior tetaplah seperti ini.
Namun demikian, tidak adil apabila publik melampiaskan kekecewaan karena kegagalan ini kepada staf pelatih maupun pemain. Bagaimanapun, mereka telah berjuang dan bertarung dengan kemampuan terbaik. Jangan lupakan bahwa pelatih maupun pemain yang ada merupakan produk dari pembinaan dan kompetisi yang ada.
Berkaca dari dua hal tersebut, publik dapat menilai sendiri apakah PSSI selaku induk organisasi sepak bola Indonesia telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Terdapat beberapa hal yang cukup mengganggu persiapan tim nasional jelang Piala AFF bergulir, yaitu masih berlangsungnya kompetisi liga dan juga kepastian mengenai pelatih yang memimpin tim.
Idealnya, kompetisi liga sudah selesai ketika Piala AFF berlangsung, sehingga klub maupun pemain dapat berkonsentrasi penuh dalam mendukung agenda tim nasional. Namun apa daya, kita tentu ingat ketika proses dimulainya liga beberapa bulan lalu terus diganggu kejuaraan-kejuaraan seremonial penuh pencitraan tak berfaedah, hingga pelaksanaan liga diundur.
Permasalahan selanjutnya timbul terkait pelatih. Kepastian tentang status Luis Milla Aspas, pelatih yang membesut tim nasional sejak tahun 2016, baru didapat kurang lebih sebulan sebelum Piala AFF dimulai. Lagi-lagi, Milla menuding PSSI tidak profesional dalam menjalankan kontrak karena beberapa bulan menunggak gaji. Meski pihak PSSI belakangan mengungkapkan bahwa persoalan ini telah selesai, Milla sudah kadung kecewa. Target tinggi tetapi gaji telat dibayar? Bukankah upah harus dibayar sebelum keringat kering? Kalau prinsip sesederhana ini saja tidak paham, tidak usah berani deh pasang target tinggi.
Bima Sakti kemudian ditunjuk sebagai pelatih kepala setelah Milla tidak memperpanjang kontrak. Meski ia merupakan asisten pelatih asal Spanyol ini dalam dua tahun terakhir, namun karena minimnya pengalaman, hasil yang terlihat di lapangan pun terlihat. Permainan tim nasional Indonesia, meski terlihat masih menggunakan pendekatan yang telah diwariskan Milla, namun tidak menunjukkan kematangan taktik.
Hal ini terlihat jelas dari tiga laga yang telah dijalani, di mana tidak terdapat pergantian cara bermain untuk menanggulangi permainan lawan, karena yang semata dilakukan sebatas mengganti pemain yang ada dengan pemain yang berkarakter serupa. Febri Haryadi dan Irfan Jaya dirotasi dengan Riko Simanjuntak dan Andik Vermansyah. Hanya sebatas itu saja. Tanpa bermaksud mengecilkan peran Bima Sakti, dari sini barulah terasa betul hilangnya senetuhan dari Milla.
Meski demikian, publik patut melihat sisi positif bahwa terdapat kemajuan yang sebetulnya sudah diperlihatkan oleh timnas Indonesia, juga sepak bola Indonesia secara umum pada tahun 2018 ini, walaupun sedikit. Beberapa di antaranya adalah sudah kuatnya karakter permainan tim nasional dari segala kelompok umur. Tim nasional U-16 maupun U-19 sudah mampu bermain dengan sabar, penuh percaya diri, tidak lagi mengandalkan dribel yang heroik dan kutak-kutik terlalu lama, juga insting-insting naluriah tak terukur yang sejenis.
Namun tetap saja, kemajuan ini harus menular ke timnas senior. Di level senior inilah prestasi diharapkan datang, bukan di level junior. Pertanyaan klasik yang belum kunjung terjawab pun kembali mengemuka: Mengapa timnas Indonesia berprestasi di kelompok usia muda, namun jeblok di level senior? Dari situlah PSSI dapat mengevaluasi efektivitas kompetisi usia muda dan kompetisi liga profesional, pembenahan kualitas wasit, dan pendidikan pelatih. Karena prestasi timnas akan banyak tergantung dari efektifnya program-program itu.