Kamis, 04 Januari 2018

INTP and Proud

Baru-baru ini, kantor tempat saya bekerja mengadakan semacam personality test sekaligus workshop dengan metode Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) bagi karyawannya. Apa itu MBTI? Silakan ketik di mesin mencari, hasilnya bakal bertebaran. Test ini juga bisa dilakukan sendiri secara daring, dan gratis pula. Silakan dicoba.

Hasil test akan menempatkan kita pada satu dari 16 tipe kepribadian menurut MBTI. Kutub terbesar dan yang utama masih dibagi antara  si Introvert (I) dan Ekstrovert (E). Membedakan si I dan si E ini bukan hanya dari pembawaan sehari-hari yang banyak omong atau pendiam, tapi lebih kepada bagaimana kita mendapatkan energi, apakah dari kegiatan menyendiri atau bertemu dengan orang lain. 

Ada pula pembanding cara kita dalam menginterpretasi sebuah persoalan, apakah lebih dominan menggunakan panca indera dan data (Sensing/S) atau lebih dominan menggunakan intuisi dan teori (iNtuition/N). Lalu selanjutnya apakah pengambilan keputusan kita lebih didasari perasaan dan emosi (Feeling/F) ataukah logika rasional (Thinking/T). Terakhir, bagaimanakah kita menjalani hidup secara umum, apakah lebih suka dengan terencana, konvensional dan sistematis (Judging/J) atau lebih spontan dan fleksibel (Perceiving/P).

Yang jelas, kalo buat saya sih test MBTI ini sangat akurat dalam memperlihatkan keseharian. Catat: keseharian kita. Yang namanya keseharian, bisa jadi dipengaruhi kebiasaan. Contohnya, seorang introvert bisa saja menjadi ekstrovert karena tuntutan pekerjaan. Artinya, hasil dari MBTI ini lebih memperlihatkan apa yang memang terlihat, tetapi boleh jadi bukan kepribadiannya yang sebenarnya.

Kalau saya sih kebetulan, apa yang terlihat memang apa yang sebenarnya. Hasil test saya ternyata INTP, karena memang saya memang seorang INTP. Silakan baca sendiri seperti apa ciri-ciri seorang INTP, ya seperti itulah saya.

Kebaikan lain dari MBTI test dan workshop-nya ini adalah orang lain jadi tahu bahwa introvert adalah bentuk kepribadian, bukan kekurangan. Secara populasi, introvert memang kalah banyak daripada ekstrovert, lebih-lebih suaranya. Stigma negatif dari menjadi seorang introvert sudah saya rasain sejak di bangku sekolahan. Dulu, guru-guru saya sering menganggap saya orang yang pasif, gak percaya diri, dan pemalu. Sementara teman-teman dan keluarga juga menganggap saya terlalu pendiam, kuper dan lebih parah lagi: sombong. 

Memang sudah seharusnya edukasi tentang hal ini diperbanyak, sehingga orang tidak lagi menalar secara dangkal dan memberi label negatif hanya karena orang lain memiliki pembawaan yang berbeda. Sebetulnya ini bukan masalah kalian introvert atau ekstrovert. Percayalah, introvert dan ekstrovert saling membutuhkan. Bukankah lebih penting menilai kualitas pembicaraan? Buat apa sedikit ngomong, tapi sekalinya ngomong malah ngomongin orang. Buat apa banyak omong tapi gak ada isinya. Dan yang paling penting, bukankah kita harus mengerti kapan harus berbicara dan kapan harus diam?

Bicara tentang hasil INTP, ternyata saya jadi satu-satunya INTP di divisi saya. Mungkin juga, dalam satu kantor hanya saya yang INTP. Mungkin lho ya. Gak heran juga sih, karena dari banyak penelitian, INTP memang salah satu yang paling sedikit dari populasi manusia. Hanya 3% saja. Ya wajar aja jika saya yang INTP ini sering dianggap aneh oleh mereka yang berbeda. Karena ya itu tadi, mereka cuma bisa melihat apa yang terlihat di depan, dan langsung diomongin aja tanpa mikir-mikir panjang.

Saya amat menikmati menjadi seorang INTP, walaupun kenyataannya seorang INTP seperti saya ini tidaklah cocok bekerja di divisi yang berhubungan dengan uang dan hitung-hitungan. Bukannya saya gak bisa ngitung, tapi lebih kepada aspek lainnya, yaitu seorang yang bekerja di divisi finance, accounting atau pajak jelas tidak bisa mengandalkan intuisi dalam melakukan pekerjaannya. Dia juga gak boleh berjalan di luar sistem, karena dalam kerjaan seperti ini tentu sudah dipagari aturan-aturan yang kaku. Namanya juga berurusan dengan duit. Kerjaan seperti ini juga sifatnya rutinitas, padahal saya gak suka banget yang namanya hal-hal rutin, rapi, formil, tradisional dan gak memerlukan banyak kreativitas.

Terjawab sudah kalau memang saya salah jurusan! Kalau tahu begini, dari dulu saya ambil kuliah jurusan sastra atau seni aja, bukannya pajak. Pantes aja kerjaan ini mudah membuat saya burnout dan capek. Saya juga gak heran kalau saya sering banget terpikir untuk beralih profesi saja. Untungnya, saya orangnya cukup jago dalam berpura-pura.

Gak semua orang bisa dapetin pekerjaan yang sesuai passion dia, apalagi dibayar mahal untuk itu. Rasanya, banyak orang yang bernasib seperti saya. Saya sih udah lama berdamai dengan kata-kata passion itu karena aspek logika saya yang mendorong saya untuk melakukan apa yang memang harus dilakukan, alih-alih apa yang saya sukai. Pilihan yang saya ambil ini telah membawa saya pada kehidupan yang sekarang, yang amat saya syukuri. Dan hanya karena pekerjaan saya bukanlah pekerjaan yang saya sukai banget, bukan berarti saya akan asal-asalan mengerjakannya.

Tenang aja, bakalan ada waktu untuk mengerjakan apa yang saya suka setelah semuanya cukup. Pasti bisa. Gak ada yang gak mungkin bagi seorang INTP. Hahaha.