Jumat, 19 Januari 2018

Mulut

Manusia punya rasa dan opini terhadap orang lain, entah itu valid atau tidak, didasari objektivitas atau subjektivitas, atau dilandasi pengalaman pribadi atau hanya sekadar denger cerita orang lain. Tapi sebagai orang dewasa, tentu tidak semua rasa dan opini itu harus diketahui orang lain. Bayangkan jika seluruh dunia jujur dan membuka "topeng", mungkin dunia ini sudah rata dengan gurun pasir karena ketersinggungan dan kebaperan. Ya, sudah banyak contoh peristiwa pertikaian di dunia ini yang berasal dari mulut yang tidak bisa dijaga.

Terlebih di era keterbukaan media sosial yang terkadang keterlaluan ini, gosip bisa tersebar cepat, bahkan kepada orang yang tidak kenal sekalipun. Berkaca dari buanyaknya capture-capture-an chat dari media whatsapp, posting-an medsos, bahkan insta-story yang umurnya hanya 24 jam yang juga tidak luput dari capture, maka gosip akan cepat sekali menyebar seperti virus.

Maka dari itu, pada tahun ini, target saya sih gak muluk-muluk. Yaitu lebih berhati-hati lagi menjaga mulut, dan terutama sikap. Karena lebih baik gak update dan ketinggalan berita daripada gak enak-enakan sama orang gara-gara persoalan remeh gosip. Banyak sekali persoalan berasal dari mulut yang tidak bisa dijaga, yang merusak pertemanan yang padahal sudah dibangun bertahun-tahun lamanya.

Siapa saja bisa terkenal di era saling viral-mem-viralkan seperti ini. Orang biasa bisa saja kena bully para penggiat medsos hanya karena salah ngomong. Salahnya sekali, kepikirannya berhari-hari. Sanksi sosialnya juga parah, dari cuma kena bully, sampai dimusuhin beneran. Bahkan dalam tingkatan yang lebih parah, cela-mencela ini bisa merembet sampai serangan terhadap hal-hal personal, keluarga atau orang-orang dekat. Serangan salah sasaran yang udah gak sehat, gak nyambung, gak sesuai konteks, dan terutama gak menyelesaikan persoalan.

Sayangnya, kita gak bisa komplen akan beratnya sanksi sosial di era kekinian ini. Realitanya sudah begitu.

Padahal, balik lagi, kita cuma manusia yang gak bisa berbuat bener terus sepanjang hari. Kita juga kadang bisa melakukan kesalahan terhadap teman sendiri, sadar atau tidak. 

Tapi, sekali lagi, kita gak bisa mengontrol reaksi orang lain akan perbuatan kita. Yang bisa kita kontrol adalah perbuatan kita sendiri, atau dengan kata lain, mulut kita sendiri. Itulah musuh terbesar kita. Kalau penyakit datang dari perut, maka dosa dan masalah kita kebanyakan berasal dari mulut. 

Sejatinya, mulut diciptakan untuk berbicara yang baik-baik saja. Berbicara seperlunya, berbicara hanya yang kita paham, dan mengunyah yang halal serta gak berlebihan. Gak perlu lip service, bohong-bohongan, gosip-gosipan, jatuh-menjatuhkan, hasut-menghasut, nyinyir-menyinyir. Gak usah juga kita makan yang bukan porsi kita.

Tapi, untuk kesekian kalinya kita bilang, kita cuma manusia. Bukan malaikat. Untuk itulah ada yang namanya maaf-memaafkan, paham-memahami, lupa-lupain, cuek-cuekin, ketawa-ketawain. Karena memang begitulah manusia yang memang tempatnya dari kesalahan, kesilapan dan lupa. Padahal dia udah tau, tapi tetep aja bikin salah. Ya emang begitu. 

Mulai sekarang, marilah jaga perkataan. Lebih baik lagi, mulailah berbuat adil sejak dari pikiran, supaya yang jelek-jelek di pikiran itu gak sampai terucap dari mulut.