Dreamer
Inilah nama band pertama saya. Kami
bertemu dalam satu SMA. Sesuai namanya, kami memang hanya bermimpi. Band yang
diisi oleh kumpulan anak muda labil dan bingung apakah mementingkan latihan band
atau pacaran. Well, sebagai satu-satunya jomblo waktu itu di band ini, saya
memang seperti tokoh antagonis yang pastinya tidak disukai pacar-pacar teman
saya karena waktu latihan kerap mengganggu waktu mereka pacaran.
Band ini memainkan lagu-lagu khas
orang baru belajar main musik. Lagu “band 3 kord” Green Day adalah yang paling
sering kami mainkan. Saya memegang gitar di band ini. Kadang, kami juga
memainkan Nirvana dan Metallica dengan kemampuan seadanya. Meski hanya sesaat
dan tidak pernah manggung sekalipun, band ini adalah lambang perkenalan saya
terhadap musik rock, yang sampai sekarang saya paling suka dibanding genre
lain.
Setelah seorang personel
(bassist) keluar karena merasa tidak cocok dengan personel lain, band ini
kemudian bubar karena si vokalis dengan childish melarikan diri dan memilih
untuk pacaran pada saat seharusnya mengikuti audisi tampil di acara sekolah.
Chicken Soup
Band kedua saya ini juga saya
jalani di SMA. Setelah membubarkan Dreamer, saya bersama teman-teman baru yang
menggemari band Dewa, Padi, dan Sheila on 7 yang saat itu sedang tenar
memutuskan untuk membentuk band yang dinamakan Chicken Soup.
Nama ini diambil karena para
personelnya berhati “chicken” alias pengecut dalam hal mendekati gebetan. Tapi
secara skill, band ini jauh diatas Dreamer.
Saya masih memegang gitar, dan di
audisi pertama kami gagal, padahal ekspektasi kami sangat tinggi saat itu.
Semua kecewa, lalu personel band dirombak. Vokalis berganti, mengambil vokalis
lain yang didepak oleh band lain. Pada saat manggung perdana, formasi band ini
berubah total. Teman saya yang biasa bermain bass tiba-tiba memegang gitar, sementara
sang keyboardis memegang bass.
Saat itu, memang saya kurang
perhatian pada kualitas vokalis band kami. Bukan berarti vokalis kami jelek
(ada 3 orang saat itu), tapi lebih karena tidak adanya pengaturan dan pembagian
vokal. Kami terlalu sibuk mengurus aransemen lagu, sehingga abai pada kualitas
vokal –hal yang membuat kami gagal lolos audisi.
Selepas lulus SMA, band ini
praktis bubar, meski tidak ada kata bubar terucap.
Liar
Ini nama band yang asal terucap. Namanya juga asal, hasilnya pun kadang asal. Dalam band ini,
saya mulai belajar main drum, yang akhirnya bertahan sampai sekarang. Di sini,
saya bertemu seorang shredder guitarist yang sangat hobi untuk memainkan tehnik
bergitar yang rumit. Ia penggemar Dewa era Ari Lasso, Guns & Roses, Mr.
Big, dan Metallica. Band ini kemudian memainkan lagu-lagu tersebut.
Kesamaan genre yang kami usung
membuat kami solid, namun kurangnya visi membuat kami jalan di tempat. Kami
seperti katak dalam tempurung. Tidak bergaul dan tidak mencari network yang
akan berguna bagi kami. Kami memang sempat manggung di beberapa acara, dan meninggalkan impresi positif. Tapi
kemudian inkonsistensi permainan beberapa personel membuat band ini statis.
Gitaris rhythm kami keluar karena memang dia angot-angotan, sementara bassist
kami juga kemudian menyusul karena level permainannya tidak kunjung menyamai
anggota lainnya.
Fireball
Dari personel Liar yang tersisa
hanya 3, kami membentuk band dengan nama baru: Fireball. Saya mengambilnya dari
sebuah judul lagu band Deep Purple. Dengan format minimalis ini, kami masih
sanggup manggung di beberapa tempat, termasuk tempat ramai seperti mall. Kami
lalu mencari-cari vokalis dan gitaris tambahan, pencarian itu berujung pada
kedatangan dua orang teman eks personel band beraliran punk.
Kami sempat manggung sekali,
sebelum kedua teman saya itu “menghilang” karena mereka kemudian bekerja diluar
kota. Lalu saya mengajak seorang teman SMA untuk menjadi vokalis, dan hasilnya
lumayan, meski sampai sekarang belum pernah tampil dimuka umum dengan formasi
ini.
Kesibukan mengurus anak dan
tempat kerja yang berjauhan membuat kami sulit berkumpul untuk latihan, padahal
dengan band ini saya paling nyaman karena kesamaan genre. Sampai sekarang,
sudah setahun lebih kami tidak berkumpul meski belum ada kata bubar.
Tax Freak
Ini adalah band paling megah yang
pernah saya punya, baik secara materi lagu maupun tingginya level exposure.
Band ini “banci” karena memainkan dua peran yaitu band kantor dan band
senang-senang. Sebagai band kantor insidentil yang beranggotakan satu atau dua
atasan, tentu ekspresi menjadi tertahan. Sebuah konsekuensi logis. Di sini, saya kembali memainkan gitar seperti jaman SMA dulu. Bersama band ini, saya harus juggling membagi waktu antara
band dan pekerjaan. Dan memainkan peran ini memiliki tekanan yang memusingkan
sekaligus menantang dan menyenangkan.
Sementara untuk versi “tanpa
bos”, band ini memiliki keberagaman genre sesuai kegemaran para personelnya.
Saya memainkan drum disini. Saya tidak bisa memaksakan genre rock pada anak-anak
penggemar soul, pop atau R&B sebagai contohnya. Di band ini, saya belajar
untuk menjadi pemain “pengiring” di mana kami memainkan lagu sesuai pesanan.
Toleransi juga menjadi bagian penting dari band ini karena kami harus
menyatukan berbagai ide yang datang dari preferensi pada genre berbeda.
Sampai sekarang, saya masih suka
diajak latihan atau manggung oleh band ini, meski sudah tidak berada satu
perusahaan dengan mereka. Setelah sempat berkoar-koar untuk menyeriusi band ini
dan berencana membuat lagu sendiri, nampaknya mereka kini sudah lupa karena
tenggelam terlalu dalam pada pekerjaan dan intensitas mengejar karir.
(No Name)
Band terbaru saya bersama teman
kantor baru. Sebelumnya, katanya di kantor ini tidak pernah ada yang membentuk
grup band, maka saya berinisiatif untuk membentuknya. Beranggotakan para mantan
anak band dengan kemampuan merata dan tidak ada yang sangat menonjol, beda
dengan di Tax Freak. Positifnya, kami besar di era yang berdekatan, dan
menyukai genre yang relatif sama, yaitu rock sebagai dasar, dan lagu-lagu era
90an.
Setelah hanya beranggotakan 4
orang dan saya memainkan gitar, masuknya dua gitaris baru lalu menggeser saya
ke posisi bass. Saya tidak memainkan drum karena sudah ada teman saya yang
memang drummer. Formasi 6 orang ini berjalan cukup lancar dan kami telah
menampilkan permainan bagus saat pertunjukan. Sayangnya, vokalis saya yang
bersuara tinggi ini resign dari kantor.
Dan karena band ini memang
sifatnya insidentil, sampai saat ini kami masih belum memikirkan lagi langkah
selanjutnya. Oh iya, kalau saya sih akan belajar meningkatkan kemampuan bermain
bass saja, instrumen yang belum saya kuasai benar.
***
Ya, demikian cerita band-band amatiran
saya. Bagaimana dengan anda?