Rabu, 01 Mei 2013

My bands, my friends, my surroundings

Sebagai seorang yang antusias pada musik, selalu ada keinginan bagi saya untuk membentuk band dimanapun saya berkecimpung. Sudah beberapa band yang saya bentuk, atau band di mana saya menjadi anggota pelengkap. Ada yang bercita-cita tinggi, hanya sekejap, dan insidentil. Genrenya juga bermacam-macam. Inilah mereka:

Dreamer
Inilah nama band pertama saya. Kami bertemu dalam satu SMA. Sesuai namanya, kami memang hanya bermimpi. Band yang diisi oleh kumpulan anak muda labil dan bingung apakah mementingkan latihan band atau pacaran. Well, sebagai satu-satunya jomblo waktu itu di band ini, saya memang seperti tokoh antagonis yang pastinya tidak disukai pacar-pacar teman saya karena waktu latihan kerap mengganggu waktu mereka pacaran.

Band ini memainkan lagu-lagu khas orang baru belajar main musik. Lagu “band 3 kord” Green Day adalah yang paling sering kami mainkan. Saya memegang gitar di band ini. Kadang, kami juga memainkan Nirvana dan Metallica dengan kemampuan seadanya. Meski hanya sesaat dan tidak pernah manggung sekalipun, band ini adalah lambang perkenalan saya terhadap musik rock, yang sampai sekarang saya paling suka dibanding genre lain.

Setelah seorang personel (bassist) keluar karena merasa tidak cocok dengan personel lain, band ini kemudian bubar karena si vokalis dengan childish melarikan diri dan memilih untuk pacaran pada saat seharusnya mengikuti audisi tampil di acara sekolah.

Chicken Soup
Band kedua saya ini juga saya jalani di SMA. Setelah membubarkan Dreamer, saya bersama teman-teman baru yang menggemari band Dewa, Padi, dan Sheila on 7 yang saat itu sedang tenar memutuskan untuk membentuk band yang dinamakan Chicken Soup.

Nama ini diambil karena para personelnya berhati “chicken” alias pengecut dalam hal mendekati gebetan. Tapi secara skill, band ini jauh diatas Dreamer.

Saya masih memegang gitar, dan di audisi pertama kami gagal, padahal ekspektasi kami sangat tinggi saat itu. Semua kecewa, lalu personel band dirombak. Vokalis berganti, mengambil vokalis lain yang didepak oleh band lain. Pada saat manggung perdana, formasi band ini berubah total. Teman saya yang biasa bermain bass tiba-tiba memegang gitar, sementara sang keyboardis memegang bass.

Saat itu, memang saya kurang perhatian pada kualitas vokalis band kami. Bukan berarti vokalis kami jelek (ada 3 orang saat itu), tapi lebih karena tidak adanya pengaturan dan pembagian vokal. Kami terlalu sibuk mengurus aransemen lagu, sehingga abai pada kualitas vokal –hal yang membuat kami gagal lolos audisi.

Selepas lulus SMA, band ini praktis bubar, meski tidak ada kata bubar terucap.

Liar
Ini nama band yang asal terucap. Namanya juga asal, hasilnya pun kadang asal. Dalam band ini, saya mulai belajar main drum, yang akhirnya bertahan sampai sekarang. Di sini, saya bertemu seorang shredder guitarist yang sangat hobi untuk memainkan tehnik bergitar yang rumit. Ia penggemar Dewa era Ari Lasso, Guns & Roses, Mr. Big, dan Metallica. Band ini kemudian memainkan lagu-lagu tersebut.

Kesamaan genre yang kami usung membuat kami solid, namun kurangnya visi membuat kami jalan di tempat. Kami seperti katak dalam tempurung. Tidak bergaul dan tidak mencari network yang akan berguna bagi kami. Kami memang sempat manggung di beberapa acara, dan meninggalkan impresi positif. Tapi kemudian inkonsistensi permainan beberapa personel membuat band ini statis. Gitaris rhythm kami keluar karena memang dia angot-angotan, sementara bassist kami juga kemudian menyusul karena level permainannya tidak kunjung menyamai anggota lainnya.

Fireball
Dari personel Liar yang tersisa hanya 3, kami membentuk band dengan nama baru: Fireball. Saya mengambilnya dari sebuah judul lagu band Deep Purple. Dengan format minimalis ini, kami masih sanggup manggung di beberapa tempat, termasuk tempat ramai seperti mall. Kami lalu mencari-cari vokalis dan gitaris tambahan, pencarian itu berujung pada kedatangan dua orang teman eks personel band beraliran punk.

Kami sempat manggung sekali, sebelum kedua teman saya itu “menghilang” karena mereka kemudian bekerja diluar kota. Lalu saya mengajak seorang teman SMA untuk menjadi vokalis, dan hasilnya lumayan, meski sampai sekarang belum pernah tampil dimuka umum dengan formasi ini.

Kesibukan mengurus anak dan tempat kerja yang berjauhan membuat kami sulit berkumpul untuk latihan, padahal dengan band ini saya paling nyaman karena kesamaan genre. Sampai sekarang, sudah setahun lebih kami tidak berkumpul meski belum ada kata bubar.

Tax Freak
Ini adalah band paling megah yang pernah saya punya, baik secara materi lagu maupun tingginya level exposure. Band ini “banci” karena memainkan dua peran yaitu band kantor dan band senang-senang. Sebagai band kantor insidentil yang beranggotakan satu atau dua atasan, tentu ekspresi menjadi tertahan. Sebuah konsekuensi logis. Di sini, saya kembali memainkan gitar seperti jaman SMA dulu. Bersama band ini, saya harus juggling membagi waktu antara band dan pekerjaan. Dan memainkan peran ini memiliki tekanan yang memusingkan sekaligus menantang dan menyenangkan.

Sementara untuk versi “tanpa bos”, band ini memiliki keberagaman genre sesuai kegemaran para personelnya. Saya memainkan drum disini. Saya tidak bisa memaksakan genre rock pada anak-anak penggemar soul, pop atau R&B sebagai contohnya. Di band ini, saya belajar untuk menjadi pemain “pengiring” di mana kami memainkan lagu sesuai pesanan. Toleransi juga menjadi bagian penting dari band ini karena kami harus menyatukan berbagai ide yang datang dari preferensi pada genre berbeda.

Sampai sekarang, saya masih suka diajak latihan atau manggung oleh band ini, meski sudah tidak berada satu perusahaan dengan mereka. Setelah sempat berkoar-koar untuk menyeriusi band ini dan berencana membuat lagu sendiri, nampaknya mereka kini sudah lupa karena tenggelam terlalu dalam pada pekerjaan dan intensitas mengejar karir.

(No Name)
Band terbaru saya bersama teman kantor baru. Sebelumnya, katanya di kantor ini tidak pernah ada yang membentuk grup band, maka saya berinisiatif untuk membentuknya. Beranggotakan para mantan anak band dengan kemampuan merata dan tidak ada yang sangat menonjol, beda dengan di Tax Freak. Positifnya, kami besar di era yang berdekatan, dan menyukai genre yang relatif sama, yaitu rock sebagai dasar, dan lagu-lagu era 90an.

Setelah hanya beranggotakan 4 orang dan saya memainkan gitar, masuknya dua gitaris baru lalu menggeser saya ke posisi bass. Saya tidak memainkan drum karena sudah ada teman saya yang memang drummer. Formasi 6 orang ini berjalan cukup lancar dan kami telah menampilkan permainan bagus saat pertunjukan. Sayangnya, vokalis saya yang bersuara tinggi ini resign dari kantor.

Dan karena band ini memang sifatnya insidentil, sampai saat ini kami masih belum memikirkan lagi langkah selanjutnya. Oh iya, kalau saya sih akan belajar meningkatkan kemampuan bermain bass saja, instrumen yang belum saya kuasai benar.

***
Ya, demikian cerita band-band amatiran saya. Bagaimana dengan anda?