Hal itu tentu
tidak salah. Toh gambar-gambar yang kita bagi tadi adalah hasil keringat
sendiri, penuh perjuangan untuk mendapatkannya. Angle yang pas, kamera yang
canggih, kemampuan memperhatikan detail kecil. Hasil kerja keras pula yang
membuat kita mampu membeli makanan atau pergi ke suatu tempat. Halal. Sama
sekali tidak ada yang salah dengan hal itu.
Terlebih, di
social media, orang pada umumnya berhubungan dengan teman-teman yang berada
dalam lingkaran kecil pergaulan mereka. Hal ini bisa diartikan bahwa lingkaran
pergaulan tersebut memiliki kesetaraan dalam hal kemampuan ekonomi, tingkat
pendidikan, juga intelektualitas. Sangat minim terjadi konflik. Lagipula jika
sudah merasa tidak nyaman dengan posting seseorang, ada fitur ‘unfollow’,
‘unshare’, atau ‘unfriend’. Beres deh urusan.
Tapi untuk
beberapa hal, tidak sesederhana itu. Yang paling aktual tentunya kejadian ricuh
perayaan hari raya suci umat Buddha, Waisak yang jatuh pada akhir pekan lalu.
Situs berita okezone telah menayangkan berita kericuhan yang terjadi seputar
perayaan ini. Oke, mungkin saja ada andil kurangnya kordinasi panitia dengan
penduduk setempat dan para turis. Mungkin juga ada unsur keterlambatan Bapak
Menteri Agama yang mengganggu prosesi acara, mungkin juga hal-hal lain seputar
prosedural dan perizinan yang memang kurang diperhatikan.
Tapi kita tidak
bisa pungkiri bahwa ada andil yang tak kalah besar dalam kericuhan tadi. Sangat
disayangkan bahwa yang saya maksud adalah tingkah no respect dari para turis.
Bayangkanlah jika anda sedang berdoa khusyuk dengan cara anda, lalu suara celotehan
gaduh membahana, belum lagi kilatan lampu blitz kamera-kamera mainstream DSLR akhirnya
mengganggu ibadah anda. Belum lagi mereka yang memaki-maki batalnya pelepasan
lampion akibat hujan deras turun.
Mereka
memaki-maki batalnya pelampiasan lampion yang berakibat mereka gagal
mendapatkan sebuah objek, tapi tidak memikirkan betapa terganggunya proses peribadatan
orang lain.
Egoisme dan
sifat yang tidak ada respect semacam ini
memang buah dari sifat narsis berlebihan. Namanya juga etalase
kehidupan, orang tentu cenderung memajang hal-hal terbaik yang bisa dilihat
orang. Pengalaman langka seperti prosesi waisak di Candi Borobudur memang masuk
kriteria sebagai event yang keren dan kece untuk didatangi, malah bisa juga
kita sebut hipster, tanpa kita berpikir bahwa prosesi itu adalah semata ritual
keagamaan yang membutuhkan suasana tenang ketimbang ekspos berlebihan.
Saya pernah
membaca, bahwa di Amerika Serikat dokter spesialis bedah plastik bisa mendapat
penghasilan hingga 6 juta dollar setahun untuk mengoprasi wajah, hidung, hingga
payudara (saya percaya di Indonesia sih tidak se-ekstrim ini). Setelah
ditelisik, mereka memang melakukan hal itu salah satunya agar bisa dengan
percaya diri memajang foto di akun social media mereka. Di era sekarang, first
impression dari sisi penampilan memang dianggap lebih krusial ketimbang
pengamatan mendalam terhadap karakter seseorang. Jika ingin berkenalan dengan
seseorang, kita terbiasa mengintip akun social media orang tersebut sebelum
bertemu langsung. We let the social media define us.
Kembali ke
persoalan para traveller ini, saya jadi teringat sebuah posting sarkastis
tentang perangai para traveller ini disini. Meski tidak sepenuhnya sependapat dengan tulisan tersebut,
namun ada beberapa poin penting yang penulis tegaskan mengenai kurangnya
kesadaran dari para traveller untuk setidaknya menjaga kemurnian destinasi
wisata yang mereka datangi.
Saya pribadi not
quite a traveller, karena terbilang jarang bepergian. Meski demikian, saya
memang menyimpan keinginan untuk suatu saat dapat mengunjungi beberapa tempat
di suatu belahan dunia. Semula, memang tujuan saya cukup cheesy untuk itu, dan
tidak bisa dipungkiri memang keinginan untuk pamer tetap ada, meski hanya ke
beberapa orang dekat.
Buku-buku
bermutu tentang cerita perjalanan (misalnya 99 Cahaya di Langit Eropa oleh
Hanum Rais) dan juga tulisan-tulisan seperti diatas lumayan membuka pikiran
tentang bagaimana menyikapi sebuah perjalanan. Bahwa memperlakukan travelling
sebagai eskapisme dan untuk kegiatan foto-foto narsis belaka hanya akan
menghilangkan esensi dan makna dari sebuah perjalanan.
Perjalanan harus
memberikan suatu pelajaran, perenungan, pengetahuan bahkan aksi nyata ketimbang
sekadar menjadi bahan cerita “Saya sudah pernah kesini, kesitu, kesana…”
ataupun penghias status social media macam. “3 hari 4 malam ke 3 negara, capek
banget tapi senang.”