Rabu, 01 Mei 2013

Tentang Kepingan Memori dan Kontemplasi Stagnansi

Hari ini bukanlah hari yang baik buat saya. Bangun telat, akhirnya saya memutuskan mengendarai sepeda motor, bukan mobil seperti biasa. Saya kira tadinya ini keputusan bagus mengingat musim hujan (sepertinya) sudah usai. Tapi saya salah.

Hujan terus mengguyur kota Jakarta dari pukul 2 hingga maghrib, lalu berlanjut lagi hingga sekarang pukul 10 malam. Saya masih duduk di meja kerja untuk beres-beres sambil menunggu hujan reda, mengingat tidak ada persiapan jas hujan dari rumah. Akhirnya, saya berselancar.

Sedang bosan menulis atau membaca artikel sepak bola, saya membuka salah satu akun socmed yang telah lama saya cueki, Facebook. Dari berbagai klik dan penelusuran atas teman-teman, saya lalu menemukan seorang mutual friends yang ternyata teman saya saat SD dulu di Pasar Minggu. Teman-teman saya yang dari SD ini memang seperti tidak menjadi bagian hidup saya, karena saya masih terlalu kecil saat itu untuk mengenal mereka, bahkan mengingat nama dan wajah-wajah mereka. Tapi dari potongan-potongan kecil memori yang saya punya, akhirnya saya ingat beberapa orang teman, lalu asik berselancar kepada profil mereka, melihat-lihat foto mereka… yaa semacam aktivitas standar stalking lah.

Saya tidak akan add mereka as friend karena mereka sudah pasti sudah lupa dengan saya. Saya hanya 3 tahun sekelas dengan mereka, dari kelas 1 hingga kelas 3, sebelum kemudian saya pindah makin ke selatan, ke kota Depok.

Menemukan teman lama sama saja bertemu orang baru, tapi kita sudah kenal dia secara biodata, dan secara historis tentunya. Teman lama tersebut (apalagi teman masa kecil) tentunya sudah bukan lagi orang yang sama seperti yang kita kenal dahulu. Dan ketika saya mengklik satu persatu profil teman-teman lama yang saya ingat tersebut, saya hanya bisa tersenyum-senyum memandangi “etalase” kehidupan mereka yang telah mereka pajang di media sosial temuan Mark Zuckenberg ini.

Ada teman saya yang dulu anak orang kaya, kini menjadi seorang vokalis di sebuah band yang sepertinya ia bentuk bersama teman-teman kuliahnya. Ada pula teman saya yang menjadi staff IT di sebuah perusahaan, ada yang bekerja diluar negeri, ada yang bekerja sebagai pegawai pajak diluar pulau Jawa, dan lain-lain.

Wajah mereka masih tetap sama seperti dulu, saya seperti menyusun kepingan-kepingan memori lemah yang masih tersisa, mengingat-ingat wajah mereka, dan apa saja yang pernah saya lalui dalam waktu singkat masa kanak-kanak dengan mereka. Ah sayang sekali dulu belum ada kamera digital atau sejenisnya, sehingga foto-foto saya dengan mereka sudah raib entah kemana.

Lalu saya ingat-ingat lagi teman-teman lama saya yang lain. Dan setelah saya renungkan, hidup mereka sudah banyak yang jauh berubah dari kehidupan lama mereka. Bermacam-macam kehidupan terpampang dihadapan saya secara sesaat, membayangkan betapa dahulu kami masih sama-sama belajar di bangku sekolah. Meja yang sama coklat, kursi yang sama keras. Kini, masing-masing dari kami telah menduduki kursi yang boleh jadi berbeda. Bahkan, tidak sedikit yang bahkan belum memiliki kursi untuk menyandarkan lelah, karena kehidupan belum memberi mereka waktu untuk duduk bersantai.

Ah tanpa terasa hal ini membawa saya kemana-mana, termasuk bercermin pada diri sendiri. Dan ketika bercermin, saya bersyukur dengan segala kesederhanaan ini.