Hujan terus mengguyur kota
Jakarta dari pukul 2 hingga maghrib, lalu berlanjut lagi hingga sekarang pukul
10 malam. Saya masih duduk di meja kerja untuk beres-beres sambil menunggu
hujan reda, mengingat tidak ada persiapan jas hujan dari rumah. Akhirnya, saya
berselancar.
Sedang bosan menulis atau membaca
artikel sepak bola, saya membuka salah satu akun socmed yang telah lama saya
cueki, Facebook. Dari berbagai klik dan penelusuran atas teman-teman, saya lalu
menemukan seorang mutual friends yang ternyata teman saya saat SD dulu di Pasar
Minggu. Teman-teman saya yang dari SD ini memang seperti tidak menjadi bagian
hidup saya, karena saya masih terlalu kecil saat itu untuk mengenal mereka,
bahkan mengingat nama dan wajah-wajah mereka. Tapi dari potongan-potongan kecil
memori yang saya punya, akhirnya saya ingat beberapa orang teman, lalu asik
berselancar kepada profil mereka, melihat-lihat foto mereka… yaa semacam aktivitas
standar stalking lah.
Saya tidak akan add mereka as
friend karena mereka sudah pasti sudah lupa dengan saya. Saya hanya 3 tahun
sekelas dengan mereka, dari kelas 1 hingga kelas 3, sebelum kemudian saya
pindah makin ke selatan, ke kota Depok.
Menemukan teman lama sama saja
bertemu orang baru, tapi kita sudah kenal dia secara biodata, dan secara
historis tentunya. Teman lama tersebut (apalagi teman masa kecil) tentunya
sudah bukan lagi orang yang sama seperti yang kita kenal dahulu. Dan ketika
saya mengklik satu persatu profil teman-teman lama yang saya ingat tersebut,
saya hanya bisa tersenyum-senyum memandangi “etalase” kehidupan mereka yang
telah mereka pajang di media sosial temuan Mark Zuckenberg ini.
Ada teman saya yang dulu anak
orang kaya, kini menjadi seorang vokalis di sebuah band yang sepertinya ia
bentuk bersama teman-teman kuliahnya. Ada pula teman saya yang menjadi staff IT
di sebuah perusahaan, ada yang bekerja diluar negeri, ada yang bekerja sebagai
pegawai pajak diluar pulau Jawa, dan lain-lain.
Wajah mereka masih tetap sama
seperti dulu, saya seperti menyusun kepingan-kepingan memori lemah yang masih
tersisa, mengingat-ingat wajah mereka, dan apa saja yang pernah saya lalui
dalam waktu singkat masa kanak-kanak dengan mereka. Ah sayang sekali dulu belum
ada kamera digital atau sejenisnya, sehingga foto-foto saya dengan mereka sudah
raib entah kemana.
Lalu saya ingat-ingat lagi
teman-teman lama saya yang lain. Dan setelah saya renungkan, hidup mereka sudah
banyak yang jauh berubah dari kehidupan lama mereka. Bermacam-macam kehidupan
terpampang dihadapan saya secara sesaat, membayangkan betapa dahulu kami masih
sama-sama belajar di bangku sekolah. Meja yang sama coklat, kursi yang sama
keras. Kini, masing-masing dari kami telah menduduki kursi yang boleh jadi berbeda. Bahkan, tidak sedikit yang bahkan belum memiliki kursi untuk menyandarkan lelah, karena kehidupan belum memberi mereka waktu untuk duduk bersantai.
Ah tanpa terasa hal ini membawa
saya kemana-mana, termasuk bercermin pada diri sendiri. Dan ketika bercermin, saya bersyukur dengan segala kesederhanaan ini.