Rabu, 30 September 2015

Apa Yang Salah Dari Menjadi Karyawan?

I.
Bangun jam empat pagi, berangkat satu jam kemudian. Si kecil masih tertidur. Di jalan, ketemu macet. Sampai di kantor ketemu atasan yang cerewet. Pulang teng-go, atasan kembali mendelik, tapi kerja lembur pun buat apa. Toh kerjaan memang tidak selesai-selesai. Sampai di rumah, anak sudah terlelap.

Ah saatnya akhir pekan. Ajak anak bermain di mall yang sejuk. Belikan mainan, buku bacaan dan makanan enak. Dua hari berharga ini ya cukup lah mengganti kurangnya quality time karena harus bekerja.

Memasuki tanggal 20, saldo rekening semakin tiris. Pulsa handphone hampir habis, ban motor sudah tipis, minuman air lemon diganti jeruk nipis. Sabar, seminggu lagi gajian. 

Akhirnya gajian. Hamdallah. Eh baru berapa detik gajian, aneka cicilan dan iuran telah meng-autodebet rekening. Ditambah lagi pengeluaran rutin lainnya. Seketika, gaji telah hilang dua pertiganya.

Lalu pada akhir tahun, resah menunggu bonus. Atasan kembali memanggil, kali ini ia terdengar lebih bijak daripada motivator. Ia memotivasi dan selalu meminta kita bersyukur, padahal intinya mau memberi tahu jika kenaikan gaji dan bonus tahun ini tidak sebesar sebelumnya.

Tak terasa, setahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun berlalu. Masa pensiun di depan mata. Rumah sih sudah lunas, tapi si kecil kini sudah besar. Kebutuhannya makin banyak. Baru kemarin minta dibelikan laptop, sekarang minta dibelikan tablet. Untuk keperluan kuliah, katanya.

Dan kita sudah bisa menakar berapa uang pensiun kita dari besarnya gaji sekarang dan prosentase kenaikan gaji tahun-tahun mendatang. Memang cukup besar, tapi sepertinya tidak cukup besar untuk membiayai hidup dan menikahkan anak. Ah, mau tidak mau, berpikir ulang untuk memulai bisnis. Untuk menyambung hidup. Padahal, sudah tua dan ingin bersantai.

Beginilah kehidupan seorang karyawan alias corporate slave. Sudah kerja keras, di jalan kena macet, diomeli bos, dibayar pas-pasan, pensiun pun tidak seberapa. Pilihan hidup yang salah, ya?

II.
Mengapa tidak memilih profesi lain? Mengapa nyaman, mengapa mau dininabobokan, mengapa rela terus menjadi alas kaki dan orang suruhan? Mengapa mau saja diminta melakukan yang orang lain minta, jika hasil yang didapat toh tidak seberapa?

Mengapa tidak menjadi penulis produktif yang menerbitkan buku untuk menggerakkan revolusi, atau membuat band yang menyuarakan kritik sosial, atau menjadi pembuat film indie, atau menjadi aktor idealis, atau menjadi atlet nasional. Atau... menjadi aktivis, kritikus, atau setidaknya... menjadi singa di media sosial?

Mengapa tidak menjadi pendidik generasi muda, atau menjadi tokoh masyarakat yang mengayomi, atau menjadi pemuka agama yang dihormati?

Mengapa tidak menjadi pengusaha? Selain untungnya lebih besar, juga membuka lapangan kerja dan memberi kesempatan bagi orang lain.

Setidaknya merdeka, tidak menjadi kacung.

III.
Terkekang dan tidak bebas mungkin menjadi alasan yang sering dikemukakan oleh mereka yang tidak mau menjadi karyawan. Tidak bisa bangun siang, tidak boleh datang telat, dan harus terjebak dalam sistem bukanlah cara hidup yang enak.

Tapi sejatinya, apapun pekerjaan kita, apakah benar kita merdeka sepenuhnya? Mungkin kita tidak punya atasan dan tidak punya obligasi untuk datang tepat waktu ke kantor, tapi pastinya kita tetap dibebani target. Ada sistem dan aturan main yang harus diikuti, hanya saja bentuknya yang berbeda.

Misalnya kita membuka warung bakso di garasi rumah. Kita tetaplah dibebani kewajiban membayar gaji karyawan dan beban operasional lain. Selain itu, tentu saja kita mengambil untung agar kita bisa makan. Apakah semua itu bisa dilakukan sembarangan tanpa aturan dan sistem? Apakah kita bisa membuka warung semaunya, lalu kita tutup saat kita malas berjualan? Kan enggak juga.

Sama halnya ketika kita menjadi musisi, penulis atau aktor. Sudah pasti ada ‘pihak yang lebih berkuasa’ yang meminta kita untuk memenuhi target tertentu. Ada editor, sutradara, produser, manager, bahkan penggemar yang harus didengar permintaannya karena memang itu yang harus dilakukan agar kegiatan tetap berjalan. Bahkan andai memilih untuk berada di jalur independen, tetap saja kita ‘terbebani’ untuk memenuhi keinginan orang lain.

Teman saya yang seorang pengusaha pun, nyatanya sering bekerja hingga larut malam di kantor sewaannya demi menyelesaikan sebuah proyek. Selain memenuhi kepuasan diri, tentu saja ia melakukan ini demi kepuasan klien. Hal yang sama juga berlaku untuk pekerjaan 'non-kantoran' yang lain.

Entah anda karyawan atau bukan, kita sama-sama bekerja untuk orang lain, atau setidaknya untuk kepentingan yang lebih luas, bukan untuk diri anda sendiri. Ini hanya masalah pilihan hidup dan preferensi. Tidak lebih dari itu.

IV.
Berbicara soal pilihan, saya melihat beberapa faktor cukup berpengaruh pada pilihan hidup seseorang. Saya kenal seseorang yang tidak mau kerja kantoran. Dia memilih untuk mengelola klinik milik keluarga. Dulu sih dia pernah kerja kantoran, tapi gak tahan karena sering dimarahi bos. Dalam hal ini, saya berkesimpulan bahwa dia memiliih untuk hidup selow karena merasa ortunya udah tajir melintir dan untuk itu gak perlu berusaha keras seperti kebanyakan orang.

Ada juga yang memilih untuk tidak kerja kantoran karena preferensinya (dan ketidaksukaannya) pada ideologi tertentu. Ya, kalo itu sih biar saja kita kembalikan kepada masing-masing orang.

Bukan bermaksud mencari pembenaran, tapi menurut saya tidak ada yang salah dari menjadi karyawan kantoran. Jadi karyawan itu seperti belajar hidup. Kita belajar untuk diinjak-injak orang, tidak digubris orang, dijadikan 'sapi perah' supaya kita tidak sombong dan mau belajar. Bahwa di satu sisi masih banyak orang yang lebih pintar daripada kita, dan di lain sisi masih banyak yang begitu bersyukur bisa diterima sebagai pegawai kantoran karena keterbatasan skill yang dia punya.

Yaaa, dunia kerja kantoran memang penuh dengan orang-orang brengsek yang senang sikut-sikutan demi mendapat simpati dari atasan, demi besarnya jumlah bonus dan insentif.

Menjadi karyawan juga bisa membuat kita miskin empati, dan hanya peduli pada kubikalnya saja. Seorang karyawan kerap kehilangan ketajaman pikiran karena terbiasa mengerjakan hal sama bertahun-tahun. Menjadi penghuni zona nyaman yang sudah pasti akan kelabakan jika diminta melakukan hal yang di luar kebiasaan.

Tapi banyak juga kok yang hidupnya tertolong oleh perusahaan. Tertolong karena menjadi karyawan. Ada seorang karyawan yang sejak muda sudah terserang stroke, tapi perusahaan membiayai pengobatannya dan tetap mempekerjakannya hingga ia pensiun. 

Ada juga teman saya yang lima belas tahun lalu tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas, tapi diterima kerja oleh sebuah perusahaan sebagai tenaga admin, lalu dia dibiayai kuliahnya oleh perusahaan dan kini dia merintis jalan sebagai seorang lawyer.

Oke, yang barusan itu terdengar seperti versi kesekian dari konsep American Dream, tapi yang sulit pun banyak. Dan baru saja, saya bersalaman dengan seorang office boy yang pensiun setelah 35 tahun bekerja di perusahaan. "Saya cuma lulusan SMP, alhamdulillah kantor ini mau mempekerjakan saya dalam waktu yang lama. Walau banyak anak muda, tapi saya dipertahankan sampai pensiun."

Hidup seorang karyawan seperti itu. Monoton, robotik, membosankan dan tidak dihargai. Tapi buat sebagian besar orang, itulah satu-satunya pilihan hidup. Tidak ada salahnya menjadi karyawan, seperti halnya tidak ada salahnya menggeluti profesi lain.