Baru-baru ini saya
melihat postingan yang cukup mengena, dan akan saya sadur dengan tulisan yang
kurang lebih seperti ini:
I.
Beberapa orang menjalani hidupnya dengan lurus, gak
neko-neko, dan tanpa kesusahan berarti.
Sebut saja si A. Ia terlahir dari orang tua yang kaya. Bukan
hanya kaya, tapi juga terpelajar, terpandang, terkenal dermawan, alim dan
santun.
Sudah
bisa ditebak, hidup si A selanjutnya amat lurus dan halus. Nilai sekolahnya
baik, diterima di universitas favorit, lalu mendapatkan IPK tinggi. Sesudah lulus,
ia dengan mudah diterima kerja di perusahaan besar.
Perempuan pun ngantri untuk menjadi pasangannya, dan akhirnya
ia memilih wanita cantik, sehat, pintar juga sukses. Seperti dirinya. Sebelum memasuki
usia 30, mereka menikah.
Setelah menikah, mereka langsung menempati rumah sendiri. Hubungan si A dengan mertua berjalan baik, dan vice versa dengan pasangannya. Dan betapa
bahagianya karena mereka langsung dikaruniai momongan. Bukan hanya
satu, tapi dua. Anak-anak mereka pun tumbuh sehat, dan mereka dididik dengan
baik. Ketika mulai bersekolah, anak-anak mereka amat cerdas dan berprestasi.
Si A tidak pernah mengeluh di media sosial. Lha memangnya
apa yang mau dikeluhkan? Foto-foto di media sosialnya adalah sebagian dari
koleksi mobil-mobil mahal miliknya.
Lalu mereka kerap berlibur ke destinasi wisata dunia. Amerika
Serikat, Eropa, Asia, Antartika (eh..). Dan ketika anak-anak sudah tumbuh
remaja, si A dan pasangan menunaikan ibadah haji. Dan selang beberapa tahun,
mereka sekeluarga besar menunaikan ibadah umrah.
Si A juga seorang pria setia. Tidak pernah melirik wanita
lain sedikitpun dalam hidupnya. Sama halnya dengan pasangannya. Tidak heran,
rumah tangga mereka adem ayem jauh dari keributan.
Hidup yang sempurna bukan? Ya, secara garis besar begitu. Memang
ada pertengkaran, friksi dan sedikit beda pendapat. Semisal, tahun ini
berliburnya ke pantai bukannya gunung, atau soal mengganti pajangan lampu
kristal yang menurut si A sudah usang tapi menurut istri malah klasik. Atau
semacam pertimbangan apakah si kembar akan bersekolah di Harvard atau Oxford. Atau, tentang si kembar yang rebutan mobil Audi ketika mereka mau pergi ke rumah teman.
Friksi-friksi semacam itulah.
Kehidupan seperti ini, coba tanyakan kepada diri anda sendiri,
apakah anda menginginkannya? Saya bertaruh bahwa seperti inilah kehidupan yang
sebagian besar dari kita inginkan.
II.
Tapi coba lihat bahaya terselubung dari kehidupan seperti
ini. Katakanlah ada si B, salah satu teman sekolah si A yang kehidupannya begitu bertolak belakang.
Si A memang pandai, dan karena itulah ia selalu mendapat
nilai yang baik semasa sekolah, dan juga karir yang cemerlang. Si B sebaliknya. Ia tidak dikaruniai otak encer dan rezeki sebanyak si A. Si B tidak pernah mendapat pekerjaan tetap. Apa komentar si A soal si B?
"Ah emang dasar si B aja orangnya males."
"Ah emang dasar si B aja orangnya males."
Si A memang begitu mudah mendapat jodoh, yang cantik dan
pintar seperti Shizuka pula. Bagaimana dengan si B? Jodohnya bisa dibilang telat, itupun dijodohkan orang tuanya. Lalu apa komentar si A?
"Hahaha. Ya wajar lah orang macam si B mana ada yang mau?? Masih untung dia dijodohin, akhirnya nikah juga deh."
"Hahaha. Ya wajar lah orang macam si B mana ada yang mau?? Masih untung dia dijodohin, akhirnya nikah juga deh."
Si A begitu cepat mendapat anak, lalu bisakah ia menahan
diri untuk tidak mencibir teman-temannya yang susah mendapat anak? Ok, mungkin
untuk yang satu ini bisa. Lalu ketika melihat anaknya si B yang kurang berprestasi, bagaimana komentar si A?
"Tuh liat, bapaknya aja kaya begini, gimana bisa ngedidik anak? Udah lihat nilai raport si kembar? Nanti saya pajang deh di semua akun media sosial saya."
"Tuh liat, bapaknya aja kaya begini, gimana bisa ngedidik anak? Udah lihat nilai raport si kembar? Nanti saya pajang deh di semua akun media sosial saya."
Si A begitu akur dengan mertuanya, vice versa dengan pasangannya. Lalu mampu gak si A untuk tidak
meledek si B yang kerap bermasalah dengan mertua? Si A malah berkomentar begini:
"Harus bisa dong mengambil hati mertua. Tapi ya emang susah sih kalo masalahnya ekonomi."
"Harus bisa dong mengambil hati mertua. Tapi ya emang susah sih kalo masalahnya ekonomi."
Si A memiliki media sosial yang enak dipandang, atau.. ehm..
bikin iri. Tapi mampukah ia menahan diri untuk tidak mencibir koleksi ikan
cupang milik si B?
"Udah gede masih aja maen ikan cupang! Harusnya tuh koleksi otomotif! Kayak gue!"
"Udah gede masih aja maen ikan cupang! Harusnya tuh koleksi otomotif! Kayak gue!"
Si A begitu sering pergi ke luar negeri bersama keluarga. Begitu
banyak negara mereka jelajahi. Lalu mampukah ia menahan diri untuk tidak pamer?
Dan mampukah ia untuk tidak mengomentari liburan si B yang hanya ke
Kebun Raya Bogor atau Kebun Binatang Ragunan?
"Oi! Emangnya gak bosen ke situ-situ doang?"
"Oi! Emangnya gak bosen ke situ-situ doang?"
Si A juga begitu alim. Ia tidak sulit melangkahkan kaki
untuk sholat di awal waktu dan berjamaah, juga melakukan sholat sunah, sholat
tahajud, hingga bersedekah, berzakat dan berhaji. Dan segala bentuk ibadah
lainnya. Lalu mampukah ia menahan diri untuk tidak riya, tidak menulis status
yang memamerkan ibadah. Dan.. Apakah dia mampu menahan diri untuk tidak
mencibir si B yang kualitas ibadahnya masih amat jauh di bawahnya?
"Woi! Solat apaan luh udah jam segini? Kaya gue dong kalo solat itu tepat waktu!"
"Woi! Solat apaan luh udah jam segini? Kaya gue dong kalo solat itu tepat waktu!"
Terakhir, si A begitu setia. Lalu mampukah ia menahan diri
untuk tidak mencibir si B yang suka ngegodain tetangga rumah sebelahnya?
"Lo emang gatel ya! Emangnya lu kepengen kaya si C yang bercerai? Lihat tuh, mempertahankan rumah tangga aja dia gak mampu!"
"Lo emang gatel ya! Emangnya lu kepengen kaya si C yang bercerai? Lihat tuh, mempertahankan rumah tangga aja dia gak mampu!"
III.
Tanpa sadar, kita melakukan ini. Saya juga masih melakukan
sebagian dari tulisan di atas, kok. Sebagai manusia, memang sudah sifat dasarnya
yang ingin dipuji orang, senang dibilang berhasil. Senang disanjung padahal
yang kita perlihatkan (terutama di media sosial) adalah sisi yang baik-baik
dari kehidupan kita.
Sebaliknya kita kadang dengan entengnya menilai dan
mengomentari kehidupan orang lain, padahal kita tidak cuma tahu sedikit. Kita dengan
mudahnya mencibir sebuah persoalan padahal kita keliru melihat konteksnya. Ngomong emang gampang.
Kita amat mudah membanggakan apa yang kita punya. Anak,
istri/suami, kekayaan, jabatan, pekerjaan, koleksi barang, gelar, kualitas ibadah, bahkan
lingkar otak. Dan tidak jarang kita menganggap rendah orang yang memiliki
sebaliknya.
Ah, betapa tidak mudahnya menjadi manusia, bukan? Kata orang, kefakiran dekat dengan kekafiran. Tapi ternyata, kesempurnaan juga dekat dengan itu, bukan?