Bagi sebagian orang, peran seorang drummer dalam sebuah band kerap dipandang sebelah mata. Ia tidak lebih dari 'penjaga beat' dari sebuah lagu. Seorang drummer juga disebut tidak wajib mengerti nada. Terdapat kesan bahwa tugasnya hanya memukul gumbrang-gambreng gedebak-gedebuk tek durungdung jess tanpa mengandalkan imajinasi dan kreativitas layaknya seorang musisi.
Dan karena itulah sampai ada sinisme yang menyebut bahwa seorang drummer bukanlah musisi.
Ruang improvisasi bagi seorang drummer memang cukup terbatas. Seperti disebut di atas, ia cukup 'bermain aman' dan stabil sepanjang lagu. Jika terlalu banyak melakukan improvisasi, malah membingungkan personel lain, dan bisa jadi malah mengacaukan lagu. Maka tidak mengherankan jika dalam banyak kisah, pengakuan musikalitas yang didapat seorang drummer tidaklah sebesar yang didapat oleh vokalis atau gitaris.
Tapi sadarkah bahwa di situlah keunikan peran dari seorang drummer dalam sebuah band. Ia melakukan pekerjaan dengan metode yang berbeda, yang tentunya membutuhkan keahlian khusus. Kemampuannya berupa kordinasi yang baik antara tangan dan kaki, pengaturan tempo dan presisi pukulan belum tentu dimiliki pemegang instrumen lain.
Premis umum bahwa seorang drummer tidak perlu mengerti nada dan musik, menurut saya jelas keliru. Justru jika ingin menjadi drummer yang baik, ia harus mengerti lagu secara utuh, menyeluruh dan mendetil. Atribut ini dibutuhkan demi stabilitas permainan, demi fill yang enak didengar, tapi juga tidak 'datar'.
Secara kebetulan, belakangan ini saya begitu terobsesi pada sebuah lagu karena permainan drumnya. Lagu yang menjadi obsesi
saya kali ini berjudul Tell Me Where it Hurts, karya dari sebuah band alternative
rock gaek, Garbage.
Jika tidak besar di era 90an, nama band ini memang cukup
asing. Bahkan yang besar di era ini pun belum tentu tahu lagu-lagu band ini. Di
Indonesia, band ini tidak mencapai kulminasi popularitasnya, padahal
secara worldwide, Garbage telah
menjual 17 juta kopi album. Dengan kata lain, di samping memiliki musikalitas cukup mumpuni, band ini memiliki pemerhati dan penggemar setia.
Lagu Tell Me Where it Hurts merupakan single unggulan album mereka tahun 2007 bertitel Absolute Garbage, dan saya menemukannya secara
tidak sengaja ketika berselancar Youtube untuk mencari lagu dengan judul
sama tetapi versi Kathy Troccoli (juga dipopulerkan oleh band
akustik Filipina, MYMP).
Tadinya saya pikir, ini adalah lagu yang sama. Ternyata beda.
Buat kuping saya, ternyata lebih enak.
Kenapa bisa begitu? Salah satunya karena permainan
drum yang begitu… begitu mengejutkan. Begitu bernyawa dan begitu menyatu. Bagaimana
bisa sebuah aransemen drum yang biasanya hanya untuk mengawal beat sebuah lagu, menjelma sebagai
nyawa dari lagu itu sendiri?
Begitu sih yang didengar oleh kuping amatir milik saya.
Lalu siapa sih drummer dari band ini? Usut punya usut, Butch Vig adalah nama drummer ini. Hehe,
terdengar lucu ya ejaannya bagi kita orang Indonesia. Maafkan keterbatasan
pengetahuan musik saya, tapi alangkah terkejutnya saya ketika mengetahui Vig adalah seorang musisi senior yang kini sudah menginjak
usia 60 tahun!
Vig juga bukanlah seorang drummer biasa. Bukan sekadar pengawal irama dari sebuah lagu, tapi
juga seorang produser dari album legendaris band Nirvana: Nevermind.
Wow, ini menjelaskan semuanya! Dengan musikalitas seperti
ini, saya menjadi mahfum mengapa Vig mampu menciptakan beat dan pattern drum
dari sebuah lagu dengan amat sangat menarik. Rasanya sulit membayangkan bagaimana lagu Tell Me Where it Hurts jika diisi oleh drummer biasa, bukan Butch Vig.
Vig bukanlah sekadar pemain instrumen, tapi juga seorang
musisi yang mengerti aransemen lagu, juga seorang produser dengan sentuhan
emas. Seperti kita tahu, album Nevermind milik Kurt Cobain cs. menduduki posisi
ke-30 sebagai album dengan penjualan terlaris dunia (catatan penjualan resmi
sebesar 16,7 juta kopi), juga menjadi semacam album referensi wajib bagi
pecinta genre musik Grunge.
Jadi, apakah seorang drummer bukan seorang musisi?