Sabtu, 12 September 2015

Konser Bon Jovi, Jakarta 11 September 2015: Ketika Jon Bon Jovi Asik Sendiri

Tidak dibawakannya lagu Always, Bed of Roses, I’ll be there for you dan These Days dalam konser Bon Jovi yang berlangsung semalam begitu hangat dibicarakan para penonton konser Bon Jovi yang berlangsung semalam di stadion Gelora Bung Karno. Secara teknis, konser megah yang menjadi tempat berkumpulnya para om dan tante pengidap midlife crisis ini memang nyaris sempurna, hanya saja para penonton masih membawa sedikit rasa penasaran akibat tidak dibawakannya lagu-lagu favorit tadi.

Namun ketimbang membicarakan hal-hal teknis ataupun set-list lagu, saya lebih tertarik mengomentari kejanggalan Bon Jovi tanpa Richie Sambora.

Richard Stephen “Richie” Sambora mungkin saja salah satu manusia yang diberikan bakat seni, atletis sekaligus kharisma oleh Tuhan. Saat masih bersekolah di Woodbridge High School, New Jersey, Sambora adalah anggota tim bola basket yang memenangi kejuaraan negara bagian. Alih-alih mengejar karir bola basket dan melanjutkan ke level NCAA lalu NBA, Sambora lebih memilih menekuni bakat lainnya: musik.

Sambora adalah seorang musisi all round yang bisa memainkan banyak alat musik seperti drum, gitar dan keyboard dengan sama baiknya. Namun di antara seluruh instrumen itu, Sambora lebih menekuni gitar. Musikalitasnya begitu tinggi lewat pengaruh blues, musik klasik dan rock ‘n roll tahun 60an. Selain Jimi Hendrix, George Harrison, Eric Clapton, Jeff Beck, Stevie Ray Vaughan dan B.B. King adalah panutannya dalam bergitar.

Bergabungnya Sambora ke band Bon Jovi seperti ‘meningkatkan level’ musik dari band ini. Tidak hanya aksi panggung yang flamboyan dan enak dilihat, kekompakannya dengan Jon Bongiovi di atas panggung juga menjadi pemandangan ikonik dari setiap konser Bon Jovi. Di dapur rekaman, Sambora juga tidak henti-hentinya menelurkan suara-suara yang begitu mudah membuai membran telinga setiap penggemarnya. Perpaduan lirik puitis ciptaan Jon dan melodi yang digubah dari petikan gitar Sambora bukan sekadar menghasilkan hits secara komersial, tetapi juga eargasm bagi para penikmat musik.

Maka memang sedikit janggal ketika semalam, Jon seperti begitu dominan di atas panggung. Terlalu dominan malah. Tidak ada sosok duet sehati yang biasanya membagi sisi kiri dan kanan panggung, tidak ada yang mampu mengimbangi kharisma alami dan gesture khas rock star Jon seperti halnya ketika Sambora masih menyayat instrumen enam string miliknya.

Jon dan Richie (oke, sekarang sebut saja Richie) memang bukanlah sosok yang sama. Jon sang quarterback, Richie sang wide receiver, Jon sang rockerbertipe family man yang sayang istri, dan Richie sang pemberontak yang flamboyan. Aksi panggung Jon sedikit mengingatkan pada Bruce Springsteen, sementara Richie seperti versi lain dari Joe Perry. Jika Jon adalah Captain America yang begitu jago dalam pertarungan tangan kosong dan begitu kuat kepemimpinannya, maka Richie adalah Iron Man yang canggih dan memiliki metode sendiri dalam melakukan pekerjaannya.

Tanpa Richie, Bon Jovi memang terus berjalan. Philip Eric Xenedis alias Phil X bukanlah gitaris kacangan. Ia terbiasa bermain dengan musisi-musisi papan atas lain seperti Tommy Lee, Orianthi Panagaris atau Alice Cooper. Tapi dari pemandangan yang saya saksikan dengan mata kepala sendiri semalam, Jon sedikit mengurangi ‘porsi’ solo dari Phil, seraya membaginya dengan gitaris spesialis tur yang kini dihuni oleh Matt O’Ree.

Saya jadi sedikit dejavu dengan konser Guns ‘n Roses tiga tahun lalu saat Axl Rose membawa tiga gitaris sekaligus untuk mengisi posisi yang biasa diisi gitaris yang tidak kalah ikoniknya, Saul Hudson alias Slash.

Permainan solo bergantian ini justru semakin menegaskan bahwa setidaknya sepertiga dari panggung memang milik Jon seorang. Nyaris tidak terlihat pembagian dua wing lantaran Jon lebih sering bernyanyi di bagian tengah panggung, membiarkan sisi kanan panggung kosong. Tidak kosong-kosong amat sih, karena keyboardist David Bryan terlihat cukup ‘sibuk’ dan mengokupasi area yang cukup besar di panggung.

Saya sendiri sudah mengantisipasi banyak hal, sekaligus tidak berharap terlalu banyak pada kualitas konser. Seperti diduga, ketebalan suara bass drummilik Tico Torres tidaklah terlalu fantastis (setidaknya jika dibandingkan dengan dentuman bass drum Lars Ulrich pada konser Metallica di tempat yang sama tahun 2013), tapi untungnya permainan enerjik dan presisi dari Torres seakan menutupi kurang ‘gahar’nya sound sistem perangkat miliknya.

Konser ini, amat mungkin menjadi konser besar dari sebuah band legendaris terakhir yang saya tonton. Mengharapkan Van Halen datang, mungkin saja sia-sia. Tapi bagaimanapun juga, keinginan untuk bernostalgia sudah tercapai, dan memori demi memori yang terbawa dari setiap lagu yang dibawakan betul-betul terpungut satu persatu, dan meninggalkan kesan tersendiri, yah walaupun dalam beberapa saat ke depan, konser ini akan sedikit demi sedikit dilupakan. Memang sedikit mengecewakan karena tidak ada satupun lagu dari albun These Days yang memang ‘Richie banget’ dibawakan. Untungnya, saya amat sangat terhibur dengan medley mengagumkan lagu Keep The Faith dengan Bad Medicine.

Well, Richie really gave us Something For The Pain.