Ada
hal yang sedikit berubah dari rutinitas saya mulai awal tahun ini. Saya bersama
rekan-rekan perkumpulan pencinta sepak bola diminta untuk menulis secara
reguler opini-opini sepak bola kami di laman sebuah media online ternama.
Ini
adalah sebuah pencapaian tentunya, meski masih belum seberapa. Menulis di media
online yang memiliki nama mendunia tidak sekadar mesti mempertanggungjawabkan
isi dari tulisan, tapi juga harus rela menghadapi beberapa konsekuensi.
Konsekuensi
pertama adalah masalah pengeditan tulisan. Kami tidak memiliki akses langsung
untuk memposting tulisan kami pada laman media. Kami harus mengirimkan dulu
hasil tulisan kami kepada tim editor olahraga untuk kemudian barulah mereka
melakukan penyuntingan dan publikasi.
Seharusnya
hal ini bisa membuat kami lebih “aman”. Dengan adanya editor yang menyunting
isi tulisan kami, tentu keabsahan tulisan menjadi tidak diragukan, terlebih
mereka adalah editor-editor yang saya percaya sudah berpengalaman di bidangnya.
Namun
kadangkala editor mengubah judul atau kalimat dalam tulisan sehingga membuat
makna dari tulisan yang hendak disampaikan menjadi bias. Ada kalanya judul
dengan isi menjadi tidak nyambung. Saya melihatnya sih tidak masalah, toh mereka
tentu saja memiliki patron dan standar baku akan sebuah publikasi tulisan. Mereka
tentu saja berhak mengganti-ganti tata bahasa, penggunaan kata-kata ataupun
kalimat agar lebih efektif dan lebih “menjual” melihat reputasi mereka sebagai
media online komersil jelas menyasar banyak pembaca.
Oke,
cukuplah masalah pengeditan. Saya lebih menyoroti masalah komentar-komentar
dari pembaca tulisan kami. Seperti diketahui, bangsa kita ini memang masih
sangat kurang “berbudaya” dalam menyikapi suatu tulisan. Kadang-kadang mereka
sudah berkomentar macam-macam hanya dengan melihat headline atau judul tulisan,
padahal dari komentar yang mereka berikan, belum tentu mereka sudah membaca isi
tulisannya secara keseluruhan.
Belum
lagi masalah logic failure. Tidak jarang tulisan-tulisan kami mendapat komentar
yang sama sekali out of context alias sangat jauh ngelantur dari tulisan. Entah
apa tujuan mereka, yang jelas budaya berkomentar yang baik di media online sama
sekali masih belum ada di kalangan pembaca kita.
Ada
pula komentar-komentar yang malah menyulut pertengkaran karena tujuan mereka
sepertinya bukannya hendak memberi masukan atau kritik membangun pada penulis,
namun untuk meladeni para komentator-komentator lain dengan bahasa yang tidak
pantas. Tidak jarang para komentator ini memakai akun anonim sehingga jati diri
mereka tersamarkan, dan mereka bisa seenaknya melempar komentar tanpa resiko
sama sekali.
Hal
semacam ini jelas sebuah tindakan yang tidak keren, sekaligus menunjukkan
seperti apa kualitas diri kepada khalayak ramai. Bagaimana mau menciptakan
budaya berkomentar yang baik jika mengomentari tulisan di media online saja
masih subyektif, tanpa dasar, ngawur dan menyerang pihak lain apalagi
membawa-bawa masalah SARA?
Jika
anda membandingkan para komentator disini dengan media-media luar negeri, anda
lihat sendiri terdapat perbedaan yang cukup jauh. Para komentator berita luar
negeri setidaknya memiliki dasar atas komentar mereka, dan mereka umumnya
mengkritisi tulisan atau komentar dari isinya, bukan dari siapa penulisnya. Hal
ini memang tidak selalu demikian karena masih ada pula yang berkomentar
ofensif, namun tentu saja tidak sebanyak disini.
Bagaimanapun,
tulisan adalah karya. Mengomentari negatif tanpa dasar dan hanya mengedepankan
subjektivitas tidak akan membawa kita kemana-mana. Alangkah lebih elegan jika
anda membuat sebuah tulisan juga untuk menyikapi tulisan yang anda ingin
kritisi, daripada berkomentar tanpa etika yang malah hanya membuat anda
terlihat konyol.
Dengan
membuat tulisan untuk mengomentari tulisan, anda juga turut membangun budaya
yang baik dalam mengeluarkan pendapat dan berdiskusi. Menulis itu tidak mudah, jauh lebih
sulit daripada berkomentar. Untuk menulis, anda butuh bahan, butuh data, butuh
research dan segala macam. Bahkan tidak jarang anda mengeluarkan uang pribadi
untuk menulis sebuah artikel gratisan, meski hanya untuk membeli secangkir
kopi.
Menulis
akan membuat anda sadar betapa pentingnya membaca, betapa pentingnya memperoleh
dasar atas apa yang hendak anda katakan. Tidak ada yang salah dari berkomentar,
toh ini negara demokratis. Lagipula, untuk mengomentari suatu hal, anda tidak
perlu menguasai hal tersebut. Contohnya, apakah semua komentator sepak bola
sudah pasti jago bermain sepak bola? Apakah mereka harus jago bermain sepak
bola baru boleh berkomentar? Jawaban dari pertanyaan seperti ini akan sama hal
dengan jawaban apakah rakyat harus menjadi presiden untuk mengkritik presiden.
Media
online tentu memiliki alasan untuk mengaktifkan kolom komentar di setiap
tulisan yang mereka publikasikan. Komentar tentu tidak dilarang selama memiliki
dasar, beretika dan berbudaya. Tujuan mereka tentu baik, mereka ingin mendengar
opini dari para pembacanya. Namun jika opini-opini itu hanya seperti ocehan
tidak berdasar dan memecah belah, sampai kapanpun budaya berkomentar yang baik
itu tidak akan tercipta.