Spaghetti Aglio e Olio. Pic from Cucina San Savero |
Indonesian dream saya sebut
sebagai imitasi dari American dream yang tersohor itu. Glorifikasi hidup hasil
dari perjuangan tanpa kenal lelah yang telah dimulai dari bangku sekolah hingga
perguruan tinggi dilanjutkan kembali dengan bekerja keras dan berkarir dari
bawah di dunia korporasi.
Tidak ada istilah “bersakit-sakit
dahulu bersenang-senang kemudian” karena pada kenyataannya yang membedakan cara
hidup orang sukses dan orang biasa-biasa saja ada pada kerja kerasnya. Hidup adalah
kerja keras, kerja cerdas. Mau kerja keras atau kerja cerdas sama saja,
judulnya kerja. Tidak ada kehidupan penuh kesuksesan tanpa kerja. Dari kecil
sampai tua, tidak ada istilah bersenang-senang. Karena bersenang-senang yang
dimaksud disini adalah bersenang-senang sesaat setelah lelah dipaksa bertarung
dan membanting tulang. Bersenang-senang untuk menyegarkan kembali pikiran, agar
siap kembali bertarung.
Orang yang hidup di ibukota
memilih hidup yang keras ini. Bangun subuh, berangkat satu jam kemudian,
menghadapi kemacetan atau kepadatan penumpang, bekerja lembur hingga larut
malam atau sampai pagi seolah menjadi makanan sehari-hari. Apa yang didapat? Tentu
saja karir gemilang di usia muda, penghasilan besar yang berujung pada
meningkatnya kemampuan konsumsi.
Sebagai bangsa yang memang suka
dengan hal-hal kebarat-baratan, kebanyakan dari kita juga mengikuti cara barat
dalam bersenang-senang, tidak hanya cara pandang mereka terhadap suatu masalah
atau cara mereka bekerja. Berpesta, minum-minum, makan enak, mengambil cuti
beramai-ramai untuk short trip lalu memampang foto-foto setiap kegiatan di akun
instagram dan seluruh social media dengan maksud “berbagi” memang sudah menjadi
budaya kita saat ini. Work hard, play hard. Sebuah pembenaran bahwa kita berhak
melakukan apapun karena kita sudah bekerja (terlalu) keras untuk itu.
Saya coba soroti salah satu hal
yang umum menjadi bentuk dari slogan “play hard” ini, yaitu makan. Makan dalam
hal ini bukanlah makan yang biasa asal perut kenyang, tapi esensinya lebih dari
itu.
Beef Ribs. Pic from Ligagame |
Saya pertama kali mempopulerkan
fenomena ini dengan istilah “eat for fun”. Secara harafiah berarti makan untuk
bersenang-senang, bukan sekadar untuk kenyang. Rekreasi sesaat. Makanan yang
dimakan tidak hanya mengenyangkan, tapi harus memanjakan lidah. Tidak hanya
itu, secara kuantitas harus banyak. Terakhir, tempat makannya juga harus senyaman
mungkin sehingga bisa sambil mengobrol atau bergosip dengan bebas.
Aglio-olio, ribs, aneka pasta,
udon, ramen atau apapun yang asing di telinga dan tidak tercantum dalam kamus
bahasa Indonesia dan bukan makanan orang tua kita saat mereka berpacaran jaman
dulu adalah makanan kita sekarang. Tidak lupa setelah perut dihajar aneka
makanan lezat berkolesterol tinggi itu, kita “cuci” mulut kita dengan satu atau
dua scoop ice cream dengan kadar susu tinggi, dengan topping cokelat yang
manis. Anda hitung sendiri berapa kadar kalori, lemak dan gula yang ada dalam
sebuah acara eat for fun itu.
Eat for fun seolah membawa kita
ke dunia lain. Kita lupa bahwa pekerjaan masih menumpuk atau malam sudah
semakin larut. Seringkali kita juga lupa bahwa perut sudah semakin buncit dan
celana semakin sempit. Eat for fun seperti candu yang membuat kita terlena
layaknya orang mabuk.
Saat berada di restoran, kita
terbius oleh pelayanan ramah para waiter dan waitress, ambience yang
super-cozy, musik-musik pengiring yang romantis dan membuat betah, juga
pengunjung-pengunjung lain yang tidak kalah necis dandanannya dengan kita. Sebuah
bentuk eskapisme yang mungkin saja tidak berlebihan.
Ramen. Pic from Wikipedia |
Lalu, apakah eat for fun itu
baik?
Sadar atau tidak, eat for fun
sangatlah menguras kantong. Dalam sekali makan, sebuah menu main course bisa
dihargai diatas lima puluh ribu rupiah. Minum? Minimal 20 ribu untuk free flow lemon
tea. Desert? Bisa lebih mahal dari minuman untuk sebuah eskrim atau cake. Jadi,
siapkan saja kocek tebal senilai diatas 100 ribu rupiah untuk sekali makan. Ya,
anda hitung saja sendiri rasionya jika anda makan di warung nasi atau jajanan
pinggir jalan.
Tidak ada yang salah dari eat for
fun, selama kita bisa menjaga hobi itu tidak merusak badan dan tidak mengganggu
stabilitas keuangan. Lagipula, dari pembicaraan-pembicaraan remeh di acara
makan-makan itu boleh jadi timbul ide-ide segar yang tak terpikirkan
sebelumnya.
Jadi, sudah eat for fun yang
keberapa kali bulan ini? J