Senin, 11 Februari 2013

Air Radiator dan Sop Buntut

Ini bukanlah kisah nyata.

Bang Rojali sudah bertahun-tahun berprofesi sebagai sopir pribadi. Ia bekerja di sebuah keluarga kelas menengah. Layaknya sopir pribadi, tentu saja ia dikenai tanggung jawab tidak hanya mengantar tuannya, tapi juga rajin memeriksa tunggangannya, alias kondisi mobil majikannya.

Bang Rojali ini bukan tipe karyawan yang anda cari. Meski rajin masuk dan jarang sakit, ia bukanlah sosok yang penuh tanggung jawab pada pekerjaannya. Selain malas mengecek kondisi mobil, ia juga tidak bisa mengganti ban sendiri. Saat mengisi bensin, ia bahkan tidak mau turun sambil mengawasi, tapi memilih tetap duduk dibalik kemudi. 

Ia menyetir seperti majikan. Sosok tidak beruntung karena dengan jiwanya tidak menempati badan yang ia inginkan.

Suatu ketika, ia kena batunya. Lantaran kealpaan mengecek air radiator, suhu mobil yang dikendarainya tiba-tiba naik secara drastis, layaknya suhu kota Buenos Aires menjelang derby Superclassico. Memang dasar tidak mengerti atau memang tidak mau tahu, Bang Rojali tetap saja memacu mobil meski suhu meningkat tajam. Setelah asap mulai mengepul keluar dari sela-sela kap depan mobil, barulah ia panik. Air radiator yang jarang ia periksa itu ternyata sudah kosong dan akibatnya suhu mesin mobil meninggi. Sang mobil akhirnya ngambek dan tidak mau jalan.

***
Pak Slamet adalah sopir berpengalaman dan sudah lama bekerja di sebuah perusahaan. Setiap hari ia mengantar pak direktur, setelah sebelumnya menjadi sopir operasional.

Pak Slamet ini memiliki dua hobi: makan dan membaca.

Pak Slamet senang bukan main ketika suatu ketika pak direktur mengajaknya makan di sebuah restoran yang menyediakan makanan khas Indonesia. Pak direktur memang ingin memakan makanan sehat dan bergizi lantaran kolesterol dan tekanan darahnya sudah berada pada tahap mengkhawatirkan. Pengaruh stress mungkin.

Pak direktur memesan menu sayur-sayuran.

Namun apa yang dipesan Pak Slamet, yang kesehariannya sudah begah memakan makanan yang itu-itu saja? 

Sop buntut.

Ia memang suka sekali sop buntut, namun sayang karena penghasilan yang seadanya, ia hanya mampu membeli sop buntut kesukaannya tiga bulan sekali. Sisanya ia hanya memakan lauk seadanya dengan nasi porsi besar.

Pak Slamet kadang kesal karena tidak bisa memakan sop buntut. Kekesalannya ia lampiaskan pada hobi lainnya, yaitu membaca.

Apakah bacaan favorit Pak Slamet? Tentu saja koran murahan yang biasa dijajakan penjual koran berusia tanggung di lampu merah. Ia membaca koran yang kertasnya kaku dan tintanya mudah luntur itu sambil menunggu sang majikan berbelanja atau rapat. Ia tidak hanya membaca, tapi juga berkomentar. Layaknya komentator norak pembaca media online, pak Slamet juga tidak kalah noraknya. Karena tidak bisa mengetik seperti si komentator media online, ia akhirnya memakai pulpennya untuk berkomentar.

“Pendemo wedus,” begitulah tulisannya ketika melihat foto para pendemo yang membikin macet jalanan.

“Janda kembang,” begitulah komentar singkatnya setelah membaca berita tentang artis cantik muda yang baru saja bercerai dengan suaminya.

Komentar-komentar sederhana yang kemudian menjadi rangkaian lucu jika dibuat kliping.