Bang Rojali sudah bertahun-tahun berprofesi sebagai sopir pribadi. Ia bekerja di sebuah keluarga kelas menengah. Layaknya sopir pribadi, tentu saja ia dikenai tanggung jawab tidak hanya mengantar tuannya, tapi juga rajin memeriksa tunggangannya, alias kondisi mobil majikannya.
Bang Rojali ini bukan tipe karyawan yang anda cari. Meski rajin masuk
dan jarang sakit, ia bukanlah sosok yang penuh tanggung jawab pada
pekerjaannya. Selain malas mengecek kondisi mobil, ia juga tidak
bisa mengganti ban sendiri. Saat mengisi bensin, ia bahkan tidak mau turun
sambil mengawasi, tapi memilih tetap duduk dibalik kemudi.
Ia menyetir seperti majikan. Sosok tidak beruntung karena dengan jiwanya tidak menempati badan yang ia inginkan.
Ia menyetir seperti majikan. Sosok tidak beruntung karena dengan jiwanya tidak menempati badan yang ia inginkan.
Suatu ketika, ia kena batunya. Lantaran kealpaan mengecek air
radiator, suhu mobil yang dikendarainya tiba-tiba naik secara drastis, layaknya
suhu kota Buenos Aires menjelang derby Superclassico. Memang dasar tidak
mengerti atau memang tidak mau tahu, Bang Rojali tetap saja memacu mobil meski
suhu meningkat tajam. Setelah asap mulai mengepul keluar dari sela-sela kap
depan mobil, barulah ia panik. Air radiator yang jarang ia periksa itu ternyata sudah kosong
dan akibatnya suhu mesin mobil meninggi. Sang mobil akhirnya ngambek dan tidak
mau jalan.
***
Pak Slamet adalah sopir berpengalaman dan sudah lama bekerja di sebuah
perusahaan. Setiap hari ia mengantar pak direktur, setelah sebelumnya menjadi
sopir operasional.
Pak Slamet ini memiliki dua hobi: makan dan membaca.
Pak Slamet senang bukan main ketika suatu ketika pak direktur
mengajaknya makan di sebuah restoran yang menyediakan makanan khas Indonesia.
Pak direktur memang ingin memakan makanan sehat dan bergizi lantaran kolesterol
dan tekanan darahnya sudah berada pada tahap mengkhawatirkan. Pengaruh stress
mungkin.
Pak direktur memesan menu sayur-sayuran.
Namun apa yang dipesan Pak Slamet, yang kesehariannya sudah begah
memakan makanan yang itu-itu saja?
Sop buntut.
Sop buntut.
Ia memang suka sekali sop buntut, namun sayang karena penghasilan yang seadanya, ia hanya mampu membeli sop buntut kesukaannya tiga bulan sekali. Sisanya ia hanya
memakan lauk seadanya dengan nasi porsi besar.
Pak Slamet kadang kesal karena tidak bisa memakan sop buntut. Kekesalannya
ia lampiaskan pada hobi lainnya, yaitu membaca.
Apakah bacaan favorit Pak Slamet? Tentu saja koran murahan yang biasa
dijajakan penjual koran berusia tanggung di lampu merah. Ia membaca koran yang
kertasnya kaku dan tintanya mudah luntur itu sambil menunggu sang majikan
berbelanja atau rapat. Ia tidak hanya membaca, tapi juga berkomentar. Layaknya komentator
norak pembaca media online, pak Slamet juga tidak kalah noraknya. Karena tidak bisa
mengetik seperti si komentator media online, ia akhirnya memakai pulpennya
untuk berkomentar.
“Pendemo wedus,” begitulah tulisannya ketika melihat foto para pendemo
yang membikin macet jalanan.
“Janda kembang,” begitulah komentar singkatnya setelah membaca berita
tentang artis cantik muda yang baru saja bercerai dengan suaminya.
Komentar-komentar sederhana yang kemudian menjadi rangkaian lucu jika
dibuat kliping.