Minggu, 30 Juli 2017

Memangnya Jadi Traveller Pasti Bijak?

Di era digital sekarang ini, entri berupa meme, atau gambar bertuliskan kata-kata singkat yang memiliki makna, begitu menjamur. Beberapa di antaranya cukup berguna dan inspiratif, dan sisanya menjadi sampah digital yang dilupakan.

Salah satu meme yang cukup saya ingat adalah yang bertuliskan kurang lebih begini: Kalau elo masih gampang tersinggung, mungkin pengalaman lo kurang banyak, main lo kurang jauh.

Hmm.

Pembuat meme ini seperti memberi keabsahan bahwa mereka yang pengalaman hidupnya sudah banyak--ditegaskan dengan aktivitasnya yang sering bepergian--niscaya akan menjadi orang yang sabar, dewasa, dan tentunya bijak.

Sebelum adanya meme ini pun sudah banyak sekali tulisan-tulisan yang menyeru kita untuk bepergian dan melakukan perjalanan untuk mengagumi ciptaanNya, kalau dalam Islam kegiatan ini dikenal dengan sebutan tafakur alam. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk membuat kita merasa kecil di hadapanNya, dengan cara melihat lebih banyak lagi keindahan alam dan keragaman budaya di seluruh penjuru dunia.

Tapi ternyata tidak selamanya kok, orang yang pengalaman hidupnya banyak dan perginya udah jauh-jauh itu lantas menjadi bijak.

Saya sendiri mengenal banyak orang yang sudah sering bepergian ke mana-mana. Lima benua, lima samudera mungkin sudah dijelajahi. Album-album fotonya penuh dengan perjalanan dari Santorini hingga San Fransisco, dari pulau di ujung barat hingga timur Indonesia.

Tapi kok ya, orangnya begitu-begitu aja. Masih suka sensi kalau dibecandain, masih suka ribut-ribut di grup whatsapp, masih suka ngaret kalau janjian, masih buang sampah sembarangan dari mobilnya, masih suka nyerobot antrean, masih gak ngerti kalau harus memprioritaskan tempat duduk kepada orang-orang tertentu di tempat umum, masih gak ngerti untuk mendahulukan yang keluar dari lift, KRL atau bis Transjakarta. Dan sebagainya. Lalu ke mana perginya hasil pembelajaran dari pergi jauh-jauh itu?

Yang ada malahan dia malah jadi snob. Merasa dirinya lebih baik daripada orang lain. Apa bedanya mereka dengan para penikmat kopi sejati yang menghakimi para peminum kopi sachet?

Saya pun bertanya-tanya, kenapa perjalanan jauh dan pengalaman banyak yang mereka dapat tidak mengubah sosok mereka menjadi lebih baik. Dengan catatan, tentunya tidak semuanya seperti itu. 

Kemungkinan besar, mereka bisa menyesuaikan kelakuan ketika menjadi turis di negara atau daerah orang, tapi ketika kembali ke tempat asal, kebiasaan buruk dan karakternya toh kembali lagi seperti sedia kala. Atau mungkin, tujuan perjalanannya hanya sebatas foto-foto narsis di tempat yang instagram-able.

Travelling memang menyenangkan dan bermanfaat, tapi apa iya menjadi traveller menjamin seseorang jadi lebih bijak? Dan apa iya harus keliling dunia dulu untuk mengerti cara berperilaku dewasa?