Apakah bunyi-bunyi dan notifikasi yang paling menyita waktu
orang-orang jaman sekarang? Saya berani nebak bahwa bunyi-bunyian itu berasal
dari ponsel pintar milik mereka. Dari ponsel pintar itu, notifikasi yang timbul
itu kebanyakan berasal dari aplikasi percakapan yang amat umum digunakan, yaitu
Whatsapp. Lalu jika dipersempit lagi, panggilan chat itu lebih sering datang dari percakapan grup.
Ya, grup Whatsapp yang begitu fenomenal.
Fasilitas percakapan grup yang dibuat oleh aplikasi Whatsapp
sebetulnya bukanlah ide yang baru. Berhubung sedang malas meneliti dan tidak
ada signifikansi akademis atau signifikansi praktis dari postingan ini, maka
saya akan mencoba berasumsi berdasarkan ingatan saja. Sebelum grup Whatsapp, pengguna
ponsel cerdas diramaikan oleh grup Blackberry Messenger. Sebelum era ponsel
cerdas, percakapan grup dimulai dari era mailing list (milis) yang disediakan
oleh pemilik layanan email atau dengan email berantai.
Seiring pesatnya perkembangan ponsel pintar, kebiasaan
menggunakan milis praktis ditinggalkan. Kini orang beralih ke percakapan grup
lewat aplikasi chat messenger. Matinya
milis barangkali senasib dengan senjakala layanan wartel yang tergerus oleh
keberadaan telepon seluler atau ojek pangkalan yang tersapu ojek daring.
Whatsapp nampaknya masih yang terdepan dalam penyediaan
aplikasi chat ini. Lagi-lagi saya sedang malas meneliti seberapa banyak
pengguna layanan ini, tapi dari orang-orang pemilik ponsel cerdas yang saya
temui, rasanya amat jarang yang tidak memasang aplikasi berwarna dominan hijau
ini di ponsel cerdasnya, kecuali memang ia seorang agen rahasia yang identitasnya tidak boleh diketahui, atau ia seorang anti-sosial yang tidak punya teman sama sekali. Dan mereka yang punya aplikasi Whatsapp, hampir pasti
tergabung dalam grup.
Konsekuensinya, kebanyakan dari kita akan memiliki banyak sekali
grup Whatsapp. Malah kebanyakan grup yang ada di ponsel kita adalah hasil penarikan secara
paksa. Kita yang tidak tahu apa-apa, tahu-tahu sudah ada di grup itu. Ada grup
yang sifatnya serius seperti grup proyek dan grup pekerjaan, ada yang penuh
basa-basi seperti grup keluarga besar, ada grup informatif seperti grup tetangga
rumah dan grup sekolah anak.
Lalu dengan derajat formalitas yang menurun, ada
grup alumni sekolah, grup teman kantor lama, grup hobi atau grup komunitas. Ada
pula grup yang mulai tidak formal seperti grup teman nongkrong, grup teman
ngerokok, grup teman main PS, atau bahkan ada pula ‘grup di dalam grup’ alias beberapa
orang dari grup besar yang sengaja membuat grup yang lebih kecil agar ngobrol
lebih bebas, atau dengan tujuan bisa ngegosipin orang lain yang ada di grup
besar. Sampai pada tingkat tertentu, ada pula grup-grup yang dibentuk untuk
tujuan sementara seperti grup kepanitiaan atau grup acara tertentu.
Tentu semua grup ini punya tujuan masing-masing. Semua
tergantung kesepakatan di awal. Tapi sebetulnya, melihat siapa orang-orang yang
tergabung, semestinya kita sudah paham bahwa ada banyak ‘peraturan tidak
tertulis’ yang berlaku terutama di grup-grup besar. Dalam grup besar, masa iya
sih elo gak paham kalau di situ ada macam-macam orang dengan macam-macam
tingkat pendidikan, keadaan ekonomi yang berbeda-beda, pandangan politik yang
tidak seragam, bahkan preferensi merek sepeda motor yang belum tentu sama. Kita
tentu harus paham konsekuensi memposting sesuatu di grup itu. Kalau bisa sih
kita gak perlu lah posting gambar atau jokes
tidak pantas, atau berdebat tanpa ujung yang malah jadi tontonan orang.
Bagaimanapun, manusia adalah makhluk kompleks. Sekalipun dia
adalah teman lama jaman sekolahan, tidak ada yang tahu bahwa ia sudah berubah.
Jika dulu dia mau saja dicela-cela, atau dipanggil dengan nama panggilan aneh, sekarang bisa
saja dia berubah. Karena sudah jadi bos dan sehari-hari biasa dihormati orang,
belum tentu ia berlapang dada dipanggil lagi dengan nama aib itu ketika bertemu
lagi dengan teman-teman sekolahnya. Selain itu, kita mesti paham bahwa setiap
orang punya cerita hidup masing-masing, karena itu kita gak bisa menempatkan standar kita kepada orang lain. Misalnya aja, kita lempar jokes yang kemudian bikin orang tersinggung, terus kitanya malah gak terima dan bilang "Jadi orang sensi banget!", padahal yang harusnya kita kendalikan adalah omongan kita, bukannya reaksi orang lain atas omongan kita. Karena itu dalam percakapan grup, empati adalah hal yang penting.
Malahan dalam grup besar, sepertinya lebih baik menjadi silent reader dan berkomentar seperlunya.
Saya sering banget nemu beberapa orang yang gontok-gontokan
di grup Whatsapp, padahal ketemu aja jarang, dan kenal deket juga enggak.
Mending sih gontok-gontokan karena apa, lha ini berantem gara-gara salah satu
komentarin sebuah gambar yang ia rasa gak sesuai dengan pendapatnya.
Masing-masing lalu memaksakan pendapatnya dengan teorinya, dan gak ada yang mau kalah.
Bahkan ada grup yang saya ikuti (percaya atau enggak), ada yang meributkan
tentang kualitas ponsel merek A dengan kualitas ponsel merek B! Dan sejenisnya.
Grup yang awalnya bertujuan untuk menjaga silaturahmi, mengadakan reuni, yang ada malah pada sensi, baper, dan pada leave group. Reuni pun gak jadi-jadi.
Padahal seandainya aja kita mampu menahan ego dan kecenderungan untuk mengomentari segala sesuatu biar kelihatan pintar, grup Whatsapp
bisa bermanfaat banget. Selain menyambung silaturahmi, adanya grup juga
memudahkan penyebaran informasi penting, bisa juga menggalang dana bantuan dengan
lebih cepat kalau-kalau ada yang butuh. Grup Whatsapp juga pastinya bisa
membuka peluang-peluang bisnis, peluang kerja, atau apa saja yang berguna.
Yang jelas, sulit sekali bagi kita untuk keluar dari
grup Whatsapp yang sudah kadung tidak membuat nyaman itu. Seperti lirik lagu
Hotel California, “You can check out anytime you like, but you can never
leave.” Alhasil, entah berapa banyak grup berisi sampah-sampah digital tidak
berguna yang terpaksa kita aktifkan fitur silent
atau mute.