Libur panjang lebaran tidaklah membuat saya sibuk-sibuk
amat. Sepadat-padat agenda jalan-jalan ke mall demi memuaskan lidah dengan
makanan enak yang tidak terlalu berfaedah, saya biasanya sudah sampai di rumah
sebelum magrib. Pulang malam paling hanya sesekali. Karena itulah saya jadi
punya banyak waktu untuk melakukan hobi saya yang lain, yaitu berselancar di
sebuah situsweb pembagi video. Dari tautan-tautan yang tersedia, siapa sangka
terbuka banyak sekali kemungkinan.
Ketika mengikuti salah satu tautan, saya pun sampai di
sebuah video yang menampilkan sebuah testimoni dari seseorang. Testimoni ini
berupa alasan ia meninggalkan keyakinan yang selama ini ia anut untuk pindah ke
keyakinan baru. Sang pemberi
testimoni pun mengatakan dengan gamblang tentang alasannya berpindah keyakinan.
“Awalnya tidak sengaja. Saya adalah penganut taat dari agama
lama saya. Namun tiba-tiba seorang teman tidak sengaja meninggalkan kitab
sucinya di rumah saya. Saya pun membacanya, dan tiba-tiba timbul kegusaran
dalam hati. Inikah yang sebetulnya saya cari? Saya lalu berdoa pada tuhan saya
yang lama, tapi ternyata hati saya sudah tertambat ke tuhan yang baru. Dan saya
pun meminta kepada tuhan yang baru untuk memberi saya tanda jika memang Dia
adalah tuhan. Eh gak taunya tidak berapa lama kemudian, ia menampakkan wujudnya
kepada saya. Mantaplah saya untuk berpindah.” Kurang lebih begitulah
kata-katanya. Dan saya yakin, kita pernah mendengar cerita-cerita sejenis.
Well well well..
Saya tidak mau menghakimi sih,
dan setiap orang memang memiliki cara masing-masing untuk menemukan tuhan. Tapi
ingat, tuhan adalah maha pembalik hati manusia. Tuhan juga yang menentukan
siapa yang ia beri petunjuk. Dan petunjuk itu sebetulnya sudah ada di
mana-mana. Sudah tertulis di kitab suci dengan banyak ayat yang menjadi
referensi. Coba saja cari ‘tanda-tanda kekuasaan Tuhan’, maka di kitab suci,
Anda akan menemukan fenomena siang dan malam, matahari, makhluk hidup, dan
lain-lain. Petunjuk-petunjuk itu adalah hal yang amat besar, dan sudah
sepatutnya kita meyakini bahwa hal-hal sebesar dan serapi itu selayaknya memang
diatur oleh zat yang jauuuuhhh lebih besar daripada manusia.
Siapalah kita yang dengan lancang
meminta ‘tanda’ kepada tuhan, apalagi kemudian kita percaya pada mimpi atau
penampakan-penampakan surealis yang asalnya bisa saja bukan dari tuhan
langsung, tetapi dari salah satu makhlukNya yang menyamar. Sementara, sekali
lagi, tanda-tanda kekuasaan tuhan sudah ditunjukkan sejak lama, kita hanya
tinggal membaca. Matahari, bintang, bulan, tata surya. Yang diperlukan hanyalah
kita rajin membaca. Itu saja.
Mohon maaf, tapi hati saya tidak
bisa tersentuh dengan kisah perpindahan keyakinan melalui hal-hal semacam ini.
Meskipun hal ini memang kembali kepada masing-masing orang.
Lalu kemudian saya melihat kisah
kesaksian orang lain, dan ia menceritakan kisah yang sebaliknya. Ia
menceritakan bahwa ia sebelumnya dibesarkan dengan cara atheis oleh orang
tuanya. ‘Ketika kamu mati, semuanya sudah selesai. Akhirat atau apalah itu,
hanya omong kosong.’ Demikian doktrin yang diinternalisasi secara masif ke
kepalanya. Dan selama beberapa lama, hal itu berhasil.
Tapi sekali lagi, tuhan memang
memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya. Lewat sebuah kegelisahan,
ia mulai melakukan pencarian. Hampir semua agama dipelajarinya, hampir semua
ritual didatanginya. Lalu kemudian ia mulai mantap pada salah satu agama. Tapi kemudian
ia merasa membutuhkan sedikit lagi dorongan untuk makin memantapkan hati.
Lalu kemudian, ia berdoa, seperti
doa dari orang dalam cerita pertama di atas. ‘tuhan, berilah tanda kepada saya.
Jika memang Engkau memang benar tuhan, berilah tanda apa saja. Kau kan mampu
melakukan apa saja. Maka ayolah robohkan setengah rumah saya, atau bahkan
tiupkan angin. Apa saja.’ Demikian pintanya, setengah memaksa.
Adakah tuhan memberikan tanda-tanda semacam itu? Tidak. Ia mengaku, tidak ada yang terjadi sama sekali. Suasana malam
tetap hening, angin bertiup malas seperti biasa, langit pun tidak menunjukkan
meteor atau bintang jatuh, atau semacamnya. Kecewa, ia kembali berdoa. Tapi kemudian
hasilnya sama saja. Nihil. Tidak ada tanda atau penampakan. Juga tidak ada
mimpi atau bisikan atau apalah itu.
Hari-hari pun berlalu, lalu
hidayah kemudian datang dalam bentuk lain di saat iblis bisa saja mempengaruhi hatinya untuk kembali ke keadaan tak bertuhan. Ia terdorong untuk membaca lagi
kitab suci agama itu, lalu kemudian ia menemukan ayat yang berisi ‘tanda-tanda
kekuasaan’ dimaksud. Hasilnya, ia menemukan tanda-tanda tadi, berupa
siang-malam, matahari, bintang, makhluk-makhluk. Lalu ia menangis. ‘Ternyata
inilah yang saya cari. Inilah tanda-tandanya. Sudah jelas ada di sini. Di kitab
ini.’
Ya, siapalah kita yang berani
meminta tanda kecil seperti itu kepada zat yang telah menciptakan alam semesta
berisi tujuh langit, yang masing-masing langitnya terdiri dari miliaran bahkan
triliunan bintang. Bukankah Nabi Musa pernah sampai pingsan ketika di gurun
Sinai ia meminta tuhan menampakkan dirinya, tetapi yang ada kemudian malah
gunung-gunung hancur dan terjadi gempa besar, karena tuhan memang terlalu ‘besar’
untuk ditampung oleh planet bumi yang bagiNya hanya sebesar debu atau atom.
Kembali lagi ke keyakinan
masing-masing, sih. Lagi-lagi, saya cuma bisa bilang kalau tuhan memberikan
hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki. Hidayah itu mahal, man. Dan kitalah
yang butuh, bukan tuhan. Kita tidak bisa memaksa tuhan untuk menunjukkan
tanda-tanda kekuasaannya secara langsung, gamblang dan tegas seperti halnya
kisah pasukan gajah Abrahah yang diserbu burung Ababil, atau zaman-zaman nabi dan rasul dahulu ketika mukjizat tuhan memang diturunkan secara kasat mata. Kita kini hidup di zaman yang berbeda, kawan. Dan saya rasa, tidak ada tempat mencari hidayah yang lebih baik daripada rajin 'membaca'.
Bukankah perintah tuhan yang pertama adalah "Baca. Bacalah dengan nama TuhanMu."
Bukankah perintah tuhan yang pertama adalah "Baca. Bacalah dengan nama TuhanMu."